Keep On Doing Good

Siang itu, rintik hujan kian mengecil. Akhir-akhir ini rasanya hujan memang terus-menerus hadir. Aku yang sedang terduduk sembari menalikan tali-sepatu tiba-tiba disapa oleh suara lembut yang mengalihkan fokusku.

“Teteh, aku mau ngasih sesuatu buat teteh” Seorang santri menghampiriku. Sepertinya, ia baru saja kembali dari kamarnya di asrama, hal ini aku simpulkan setelah melihatnya yang masih memakai baju seragam pramuka namun sudah tidak lagi memakai sepatu sekolah melainkan sandal.

“Hm? Apa?” Tanyaku penasaran.

Hari itu, kami baru saja mengadakan sebuah acara perpisahan. Tidak terasa satu semester berlalu begitu cepat. Hampir di setiap sabtu aku datang ke pondok pesantren Al-Furqan-Lembang untuk bertemu mereka. Karena jadwal mengajar di semester ini sudah sampai di akhir, serta komunitas sosial yang aku ikuti (Garis Tawa) akan berganti kepengurusan, maka diadakanlah acara perpisahan bersama santriwan-santriwati, pengurus Garis Tawa, dan relawan pengajar.

“Tangan teteh nya sini” Jawabnya membukakan telapak tangannya ke arahku, yang segera kusambut.

“Tapi.. aku malu teh..” Raut muka-nya berubah seketika. Ada keraguan yang kubaca.

“Malu kenapa?”

“Teteh jangan liat ya” ia menggenggam erat sesuatu dibalik khimar panjangnya. Aku sebelumnya mengira ia akan memberikan sepucuk surat karena beberapa santri sebelumnya memberikan para pengurus dan relawan dari Garis Tawa surat perpisahan. Namun ketika kuperhatikan dengan baik, rasanya ia bukan memberikan surat. Surat jika digenggam sebegitu kerasnya akan menjadi tidak berbentuk dan lusuh.

“Gak apa-apa kok. Emang kenapa?”

“Aku pengen ngasih teteh sesuatu. Tapi yang aku punya cuma ini”

Aku terdiam sebentar. De Javu, rasanya.

“Gak apa-apa, makasih ya”

“Tapi malu teh..”

“Mau langsung taro di tas teteh aja?”

“Iya boleh teh sini!” jawabnya cepat sembari menyambut tas yang kuberikan.

-

Sesampainya di kosan, aku baru membuka isi tas. Lantas melihat apa yang ia beri. Wallah, ia berhasil membuatku terenyuh dan merenung panjang. Sekadar info pondok pesantren tempat kami mengajar bukan seperti pondok pesantren di perkotaan. Beberapa dari mereka yatim piatu, atau salah satunya. Dan mereka bukan dari golongan masyarakat yang bisa dikata ‘mampu’.

“Aku pengen ngasih teteh sesuatu. Tapi yang aku punya cuma ini”

She has given what she thought best to me. Ya Allah.. T_T

Teringat beberapa bulan yang lalu, aku mempertanyakan, kenapa ketika aku memberikan yang terbaik untuk seseorang, seringkali seseorang itu justru mengecewakan atau bahkan tidak menghargai nya sama sekali. Hal seperti ini mungkin bukan hanya aku yang mengalaminya.

Terkadang, ketika mendapatkan balasan yang tidak mengenakan di hati, sebagai manusia aku menyerah untuk kembali melakukan kebaikan padanya. Seakan kapok. Kok gak tau diri ya... Padahal kan... Ah dia mah gitu males ah..

Cara pandang ini, jelas salah.

Dan kejadian hari itu mengubah sudut pandangku.

“Ketika kamu melakukan kebaikan, kebaikan itu akan kembali kepadamu”

Aku selalu berpikir kebaikan balasan yang kita beri akan bersifat timbal-balik, dari orang yang diberi kebaikan, namun nyatanya tidak. 

Darinya, aku dapat memetik satu pelajaran: Ikhlas.

Tugas kita sebagai manusia hanyalah melakukan yang terbaik. Meski balasan yang didapat tidak sesuai, hal itu tidak lantas membuat kebaikan yang kita lakukan menjadi sia-sia. Semesta tidak pernah tidur. Ketika kita melakukan yang terbaik, semesta akan memberikan yang terbaik pula.

Ketika kita memberi dengan sepenuh hati. Maka akan ada orang yang memberi kepada kita dengan sepenuh hati pula. Mungkin bukan dia yang kita berikan yang terbaik yang akan membalas, tapi orang lain. Mungkin balasannya bukan versi terbaik bagi kita, tapi ia tetap melakukan yang terbaik untuk kita.


Cr: pict


Keep on doing good, everyone. Keep on doing Good, shintia. Without expecting anything. Keep doing. Keep going. Allah will take care of you.

Teknologi dan Kontemplasi Aib

Dengan cepat aku melangkahkan kaki diantara anak tangga darurat menuju kelas yang berada di lantai 6. Mampus, hari ini telat! Entah kenapa, beberapa hari ke belakang aku seringkali merasakan sakit di bagian pundak. Dan tidur-tiduran adalah obat yang -rasanya- sangat mujarab. Tapi, aku tidak sadar diri terlalu lama dalam posisi seperti itu. Mager, beginilah jadinya....


Kelas hari jum’at pagi di semester lima ini selalu menjadi kelas yang kutunggu-tunggu. Yap. Mata kuliah komunikasi online. Walaupun telat, aku lebih memilih masuk kelas dibanding bolos. Sayang kalau terlewatkan. Materi-materi yang relatable dengan kehidupan sehari-hari, tapi jarang orang yang mengetahuinya. Berasa benar-benar dididik jadi manusia cerdas bermedia. Alhamdulillah for this chance.. Givin’ you a big thanks, Pak Deni! ;’)


Ngos-ngosan, pintu kelas kubuka pelan-pelan. Ah, sudah ada dosen. Beliau sedang duduk sembari memainkan hp nya.

“Pak..” ucapku ramah sembari menganggukkan kepala.

Beliau membalas anggukan kepalaku dengan menganggukan kepala nya juga. Kulihat jajaran bangku mahasiswa, ternyata masih banyak yang belum datang. 

Tidak selang berapa lama, beberapa temanku datang, dan perkuliahan dimulai. 

Hari ini, kami belajar tentang mengidentifikasi dan memvalidasi konten dan foto yang seringkali dipelintir oleh banyak masyarakat maya. Selain itu, yang paling seru, kami belajar untuk mempreteli akun sosial media orang-orang. Bahasa ringannya, nge-kepo-in hal-hal yang tidak terungkap di permukaan. Bahasa kasarnya, merusak privasi orang lain dan menemukan aibnya!


“Kalian jangan pakai ilmu ini buat jadi pencipta hoax atau yang jelek-jelek ya. Saya ngajarin ini buat kalian pake di kebaikan.” Ujar Pak Deni di sela-sela perkuliahan.

Satu kata yang ingin ku deskripsikan setelah kelas hari ini adalah: Ngeri.

Aib seseorang ternyata semudah itu untuk di buka.

Beberapa kali aku hanya bisa geleng-geleng saat mempelajarinya. Kalau Allah berkehendak, Kun Fayakun! Dicenderungkan hati seseorang untuk kepo tentang diri. Terbukalah semua.

Preferensi politik. Grup yang diikuti. Foto yang disukai. Foto yang diminati. Jejak komentar yang tidak diketahui orang lain. Hubungan dengan orang lain. Dan sebagainya, mudah sekali... 


Sosial media diibaratkan sebagai ruang dengan sekat yang terbuat dari kaca dan sebagai pengguna kita berada didalam sekat itu. Dimana setiap orang akan memiliki ruang masing-masing, tidak berdesakkan, dan itu membuat kita nyaman. Tapi orang lain akan dengan bebas melihat apa yang kita lakukan.


Karena ini aku menjadi bertanya-tanya. 
Berapa banyak orang yang membuka aibnya sendiri di sosial media? 
Berapa banyak orang yang terbuka aibnya melalui sosial media?


Kengerian terbukanya aib ini baru aku lihat di sosial media. Di dunia nyata, betapa lebih banyak aib yang tertutupi dan bagaimana kiranya jika aib itu dibuka?

Tiba-tiba teringat aib-aib diri. Ehm. Banyak-sekali. Mungkin, beberapa orang disekitarku menganggap aku baik. Bisa jadi, salah satu nya kamu yang sedang membaca tulisan ini. Tapi sebenarnya, jujur saja, bukan merendahkan diri, aku tidak sebaik yang kamu kira. Hanya Allah saja yang hebat sekali dalam menutup aib ku. 

Kalau saja, sekarang, aib-aib ku terbuka. Aku tidak yakin, kamu akan tetap melanjutkan membaca tulisan ku ini.

Ah, kamu bisa jadi ilfil. Atau bisa jadi, untuk mengingatku saja rasanya jijik.


"Dan sungguh, Tuhanmu benar-benar memiliki karunia (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya" - An-Naml:73


“Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat” – An-Naml:22






Tersadar, masih saja banyak kenikmatan dari Allah yang jarang sekali aku ingat, salah satunya yaitu tertutupnya aib. Tertutupnya isi hati yang seringkali kotor. Tertutupnya diri dari cerminan dosa-dosa yang telah diperbuat. 


Bodohnya, aku, sebagai manusia yang hina ini seringkali merasa tinggi, seringkali merasa sombong atau bahkan ujub. Padahal, mudah, tinggal dibuka saja aib yang selama ini Allah tutupi.. Aku mungkin sudah mabuk kepayang. 


Tidak terbayangkan. Kelak, aib-aib ini mau tidak-mau akan terbuka.. saat manusia, dibangkitkan dari kubur. Kelak, manusia akan melihat bentuk sebenarnya dari dirinya bukan pemberian. Lantas, bagaimana rupamu kelak, Sin? Bagaimana baumu? 


Dan kamu, masih banyak tidak bersyukur atas nikmat yang Allah beri sampai sekarang. Kamu masih sering lupa! Kamu, masih saja melihat aib orang lain besar dibandingkan dengan dirimu sendiri. Sin, tidak malukah kamu dengan Rabbmu?


Betapa baik Allah memberikan penampilan fisik yang tetap, tidak berubah setiap melakukan dosa. Tidak berbau karena kemunafikan.

Betapa baik Allah perubahan penampilan fisik yang normal hanyalah bertambah dewasa dan bertambah tua. Dan masih saja kamu protes atas fisik yang Allah beri. Padahal, Allah sudah menciptakan kamu dengan sebaik-baiknya.


Pikiran ku semakin melayang. Beberapa minggu yang lalu, aku mendapatkan tugas untuk menulis straight news. Dalam proses mengerjakannya, aku memutuskan untuk pergi ke pengadilan umum.

Hari itu, adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pengadilan dan aku datang sendirian. Sehingga aku mengikuti persidangan dengan khusyuk, tanpa adanya teman untuk mengobrol. Aku hanya fokus mendengarkan persidangan.


Saat sidang, satu-persatu rentetan peristiwa yang mesti dipertanggungjawabkan dibacakan. Aib-aib terbuka di depan banyak orang. Bukan saja di depan orang terdekat, tapi juga orang lain yang tidak dikenal sama sekali (banyak juga mahasiwa yang datang ke persidangan untuk belajar).

Sang tersangka hanya bisa menjawab, mengiyakan, sekali-sekali tertunduk, lesu. Ada pula, tersangka yang mengelak akan rentetan peristiwa yang dibacakan, tidak terima, merasa dibohongi. Yang mana kebenarannya? Banyak yang sulit terungkap sehingga sidang harus dipending, dan dilanjutkan dalam waktu yang lain. Kelak, manusia tidak dapat berbohong. Setiap bagian tubuh yang menjawabnya. 

Bagaimanakah kiranya aku di pengadilan Allah nanti?

Rangkaian peristiwa tertulis dengan sangat rapi, semuanya terekam, dalam persidangan yang seadil-adilnya. 

Satu pertanyaan dalam kubur saja, aku kian bertanya-tanya. “Man Robbuka?”, Allah... dapatkan aku menjawab dengan menyebut namaMu?

Ketika waktu pertanggungjawaban itu datang, apa yang akan aku jawab? 

Ketika waktu pertanggungjawaban itu menghampiri, kemanakah aku akan berlabuh dengan segala amalku?

20 Tahun: Sebuah Pembuka - Dipaksa Masuk Proses Pendewasaan


Sebuah senyum dari wajah tidak asing kulihat dalam sebuah foto di timeline instagram. Dari caption, kusimpulkan sepertinya hari itu merupakan hari ulang tahun dari kakak teman masa kecilku yang ke 20. Aku yang waktu itu baru saja akan menginjak bangku SMA (15 tahun) berhenti sejenak memandangi raut wajahnya dalam foto. Menanyakan pada diri, bagaimana tampaknya raut wajahku ketika menginjak umur 20 tahun nanti? Akan menjadi seberapa tinggi tubuhku? Apa aku akan menjadi seorang mahasiswi? Dimana? Apa jurusan yang kupilih?


-

cr:acekntaufikhidayat

Sekilas kenangan masa lalu tiba-tiba datang, pada diri yang sudah berumur 20 tahun. Dulu, rasanya aku sangat menunggu-nunggu saat dimana aku akan tampak dewasa. Orang dewasa itu keren! Dasar shin, kamu korban tayangan tv :’).

Meski bisa dibilang begitu, aku menulis ini bukan karena ingin mengeluhkan apa yang terjadi di kehidupanku sekarang (yang sedikit kontras dengan tayangan tv) dengan kalimat receh seperti: “Hidup itu gak seindah FTV” atau “Kuliah di FTV itu enak, main melulu. Kenyataannya? Hadeuh”.
Aku justru bosan mendengar keluhan itu. Walaupun hanya bentuk bercanda. Rasanya, banya orang yang menggunakan jokes itu -secara tidak sadar- menjadikan tayangan tv seperti FTV, atau tayangan apapun itu menjadi ‘standar’ keindahan dan kebahagiaan hidup: cinta mulus, duit lancar, dan main-main tanpa masalah. Yah, siapa yang tidak menginginkannya?

Tapi hidup tidak berjalan seperti itu. Maka kebanyakan orang justru malah muak dengan tayangan tv yang anehnya dianggap ‘indah’ (Padahal pantas skenarionya sederhana, karena ciptaan manusia yang mengejar rating) dan malah menganggap hidup milik sendiri tidak indah (padahal Tuhan yang Maha Tahu definisi dari indah, karena Dia menciptakan skenario hidup).

Jika keindahan hanya berarti hidup dengan bunga-bunga tanpa masalah dan beban seperti FTV.  Lantas apa bedanya dunia dengan surga? Oh, Lalu omong-omong jika ‘enak’ dalam menginjak umur yang sudah masuk kepala dua ini masih dilihat sebagai main melulu dan belajar dikategorikan sebagai sesuatu yang ‘tidak enak’, lantas dimana letak keindahan dari kebodohan karena tidak belajar?

-


Kini, aku bebas memandangi raut wajahku sendiri didepan kaca. Raut wajah yang kupertanyakan akan menjadi seperti apa sudah terjawab, tinggi badanku, juga soal perkuliahan. Dan semua itu terjawab melalui waktu. 

Tapi waktu menjawab yang kunanti dengan tidak bertanggungjawab. Ia hanya menyeretku tanpa mengajariku untuk menjadi dewasa seperti bagaimana aku tampak. Ia tidak mengajariku jawaban-jawaban atas segala persoalan kehidupan. 

Sharing dengan teman-teman seumuran, nampaknya menyadarkanku bahwa diumur ini, everybody is begin to face their own serious problems. Beberapa merasa diseret dalam proses pendewasaan dan beberapa belum. Beberapa dihentak dengan masalah yang ekstrim: perceraian orangtua, minimnya keuangan, mengalami gangguan kesehatan mental, ditinggal gebetan yang disukai 8 tahun menikah, pacaran 6 tahun yang berujung berbeda visi, dan lainnya. Meski nampak baik-baik saja. Kita sebagai manusia tidak pernah tahu, benang kusut apa yang ada dalam kepalanya.

Dengan persoalan-persoalan yang mampir pada diri. Kali ini aku ingin menulis konten blog dalam bentuk lain. Walau seperti biasanya aku akan menceritakan mengenai diri, kini aku ingin menulis hasil kontemplasi dari keruwetan semenjak berganti umur menjadi kepala dua.

Aku kian bertanya soal hakikat kehidupan, yang mungkin akan terus kupertanyakan sampai mati. Beberapa aku temukan jawaban yang cocok terutama untuk diriku sendiri. Yang kuharap beberapa pembaca akan juga terjawab pertanyaannya.  Sebuah kontemplasi hidup, versiku: 20 tahun.


-




List Judul (akan berupa link jika available)

2. Membenci diri sendiri
3. Menguras Energi
4. Tentang Kebahagiaan
5. Sok Tahu
6. Teman dari Tuhan
7. (Merasa) tidak sombong
8. Gertakan
9. No Pain No Gain
10. Bodo Amat
11. Berhenti Menulis
12. Emotional Independent
13. Persepsi Hidup
14. Penantian
15. Toxic Circle
17. Mencintai Kehilangan
18. Belajar Darimu

Mengenal Homoseksual Lebih Dalam Melalui Persepsi Ilmu Psikologi

cr: evolverinc

Hidup sebagai seorang LGBT di Indonesia sering berarti hidup di dalam ketidaknyamanan. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) masyarakat dalam seri monitor dan dokumentasi 2018 yang berjudul Bahaya Akut Persekusi LGBT tercatat LGBT seringkali dibedakan dalam hak-hak yang seharusnya didapatkan sebagai seorang manusia. Mereka yang cenderung coming out atas seksualitasnya, dalam fase hidupnya mengalami persekusi hingga pembunuhan. Hal ini membuat banyak LGBT mengalami depresi akibat tidak bisa melela (mengungkapkan jati dirinya). Bahkan sebuah studi yang diterbitkan jurnal ilmiah JAMA Pediatrics mengungkapkan remaja LGBT hampir enam kali lebih mungkin melakukan percobaan bunuh diri.

Tingginya sentimen publik dan gencarnya penolakan atas LGBT dengan mengeluarkan gerakan dan berdemo untuk memperkecil jumlah LGBT justru tidak relevan dengan realitas pertumbuhan komunitas ini meski banyak dari mereka yang mengalami tekanan hingga depresi. Di Cianjur Komisi Penanggulangan Aids (KPA) mencatat jumlah gay atau lelaki suka lelaki (LSL) terus meningkat, hingga pertengahan tahun 2017 mencapai 2000 orang. Pertumbuhan ini cukup tinggi karena ditahun sebelumnya tercatat gay di Cianjur berdasarkan data jumlahnya 1.030 orang. Data-data tersebut masih dapat dipertanyakan karena diperkirakan masih banyak yang menyembunyikan diri. Beberapa waktu yang lalu juga, terungkap Grup Gay Pelajar SMP Garut di Facebook, yang menunjukkan meningkatnya jumlah LGBT. 

Mif Baihaqi M.Si, Dosen Prodi Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menerangkan ada perbedaan persepsi diantara masyarakat dan komunitas LGBT yang menyebabkan tidak adanya titik temu diantara keduanya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai apa itu LGBT dari aspek keilmuan sehingga pendekatan yang dilakukan tidak menghasilkan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
  



Apa LGBT itu penyakit?
Kalau dilihat dari kacamata psikologi, LGBT itu bukan penyakit. LGBT itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk orientasi seksual. Orientasi itu artinya arah, biasanya berawal dari rasa kagum. Kalau seseorang sering berjalan dengan temannya, secara naluriah lama-lama akan ada yang dikagumi. Entah bentuk alis, cara bicara, ataupun kebiasaan. Dan itu bisa terjadi ke jenis kelamin apapun. Rasa kagum itu seperti ada hal yang membuat tertarik dari diri seseorang. Ungkapan-ungkapan seperti: “alis kamu bagus”, “rambut kamu fresh, potong di salon mana?” sebetulnya sudah menunjukkan rasa kagum. 


Bagaimana rasa kagum tersebut bisa melebihi rasa kagum kepada lawan jenis?
Tergantung tingkat keintiman diantara keduanya. Jika sering bertemu, bercerita, kebersamaan tersebut akan menimbulkan rasa nyaman dan kecocokan. Saking besar intensitasnya, lama-lama akan melupakan rasa kagum ke lawan jenis dan akhirnya masuk ke keintiman. Maka dari itu, harus dibedakan orientasi kedekatan dan orientasi seksual.  Orientasi seksual itu bagaimana kita menyukai seseorang secara seksual. Tapi seksual disini bukan berarti berhubungan badan, perilaku seksual bisa diartikan lebih luas dari itu.


Apa saja yang bisa dikategorikan sebagai perilaku seksual?
Ada tujuh perilaku yang bisa dikategorikan sebagai perilaku seksual. Dalam keseharian, bergandengan tangan sebetulnya sudah masuk ke perilaku seksual tapi kita umumnya memandang itu sebagai hal biasa, hanya sebatas interaksi. Begitu juga dengan memeluk yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kepada teman maupun pasangan. Sampai yang biasanya dilakukan dengan orang-orang yang memang intim seperti mencium pipi dan bibir, mencium kening, meraba, berhubungan badan tanpa penetrasi, sampai berhubungan badan dengan penetrasi. Jadi ada tahap, tapi kebanyakan orang melihat perilaku seksual hanya di hubungan yang terakhir. Padahal dalam hubungan dua orang belum tentu sampai yang terakhir.


Lantas semua orang punya kemungkinan yang sama dalam menyukai sesama jenis?
Iya, karena semua orang punya kemungkinan yang sama untuk berdekatan, cocok, saling berbagi persoalan, saling percaya, hingga yang intim (dalam interaksi). Betapa banyak yang seperti itu dan hal ini wajar. Namun, orang-orang yang sampai ke intim tentunya akan semakin pribadi hubungannya. Sampai pada ke hubungan tersebut, baru ada label: L-lesbian, G-gay, dan B-biseksual. Biseksual sendiri memiliki ketertarikan kepada dua gender, yang mana biasanya bisa dikatakan sebagai biseksual bila ia telah melakukan hubungan seks dengan keduanya.


Apakah homoseksual bisa kembali menjadi heteroseksual?
Tergantung penyebabnya, ada beberapa penyebab seseorang menjadi homoseksual: Pertama, karena unsur genetik dan hormon yang dominan, sehingga sangat susah untuk ditolak. Perempuan yang hormon kelaki-lakiannya banyak akan bertingkah seperti laki-laki, dan merepresentasikan dirinya seperti laki-laki. Kita mengenalnya dengan sebutan tomboy. Laki-laki yang kurang hormon kelaki-lakiannya dikenal menjadi laki-laki yang kemayu, bertingkah kewanitaan, biasanya ia kurang terlihat kegagahannya. Kalau penyebab berasal dari genetik susah untuk menjadi heteroseksual. Karena mereka sendiri tidak menginginkannya, bahkan sebenarnya ada perang-batin dalam dirinya. Masyarakat sering menyalah-artikan hal ini, tidak semua penyebab karena pergaulan, banyak dari homoseksual yang ingin menjadi heteroseksual. 
Kedua, akibat lingkungan biasanya terpengaruh oleh teman. Ketika seseorang melihat temannya lesbian dan tidak bermasalah, bisa jadi ia akan meniru perilaku tersebut. Homoseksual karena pengaruh lingkungan bisa kembali menjadi heteroseksual. Ketika ia berpindah dari lingkungan tersebut dan kembali beradaptasi. 
Ketiga, karena trend atau mode. Ketika ia berada pada lingkungan komunitas homoseksual, semisal semuanya lesbian sedangkan dia tidak. Dia akan merasa bukan hidup di zaman yang seharusnya, karena sudah masa nya untuk menjadi homoseksual. Sama seperti trend baju, trend kerudung, yang seperti ini disebut terbawa trend pergaulan. Bisa diubah dengan merubah cara pikirnya atau trend yang berubah bisa merubah dirinya juga.


Apa sikap tomboy dan kemayu bukan lifestyle?
Sebenarnya, hal ini bukan sekedar gaya hidup yang dipilih, melainkan ada hormon yang mendorong dibelakangnya. Dalam tubuh manusia, ada hormon yang membuat otot-otot yang membuat seseorang terlihat gagah, ada hormon yang membuat seseorang bertindak ketakutan atau cemas, ada hormon yang membuat memiliki ketertarikan seksual dan lainnya. Ketika hormon seimbang maka ia akan menjadi laki-laki atau perempuan biasa yang umumnya kita lihat.

cr: liputan6.com



Kebanyakan masyarakat Indonesia, kontra dengan kehadiran LGBT. Bahkan beberapa kelompok/ormas seringkali berdemo untuk menolak LGBT, apakah ini langkah yang tepat untuk menghadapi isu ini?
Sulit untuk menilai ini. Dalam sudut pandang psikologi, ketika kita berdemo pada LGBT. Justru komunitas LGBT sendiri tidak merasa melakukan kesalahan karena hanya menyalurkan dorongan diri melalui kedekatan. Mereka merasa nyaman dengan dirinya; bertemu, menonton, makan bersama. Jikapun masyarakat berteriak-teriak untuk memisahkan mereka. Dari diri mereka sendiri mempertanyakan kesalahan yang mereka lakukan. Karena mereka tidak mengancam publik seperti tidak merusak tempat peribadatan, mencuri, ataupun membuat keonaran. Tapi berbeda dengan sudut pandang agama. Hubungan keintiman yang normal adalah heteroseksual, laki-laki dengan perempuan, hubungan diluar itu (homoseksual) dosa. Jadi ketika masyarakat berteriak-teriak bisa dimengerti. Namun, ada ketidak sejalanan antara keduanya, tidak ada titik temu karena aspek yang mendominasi seseorang bisa berbeda. Ketika masyarakat memandang dari sudut pandang agama berdemo, hal ini justru tidak berdampak kepada komunitas LGBT karena secara psikologi tidak merasa bersalah.


Apa sikap kontra seperti itu dapat mengakibatkan sikap agresif dari komunitas LGBT? 
Iya, karena yang pertama mereka merasa sudah melakukan hal yang benar. Mereka berpikir hanya hidup secara naturalis. Kedua, hak asasi. Dua orang berteman dekat, makan bersama, nonton bersama, dan sebagainya. Secara psikologis, lalu dosen sebagai orang ketiga ingin memisahkan mereka berdua, hal ini tidak bisa. Lagipula, tahap keintiman (dalam interaksi) seseorang tidak terlihat secara kasat mata. Kita bisa melihat homoseksual hanya sebatas teman atau hanya dengan mengira-ngira, padahal belum tentu mereka sama-sama memiliki orientasi seksual yang sama, bisa jadi mereka hanya memiliki orientasi kedekatan. 


Apa mereka yang tidak berani coming out atas orientasi seksualnya karena lingkungan yang tidak mendukung akan merasakan tekanan dan berakhir depresi?
Depresi itu terjadi karena tumpukan stres-stres kecil untuk memenuhi kebutuhan. Stres kecil bukan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terasa. Misalnya, jika seseorang hanya memiliki uang dengan nominal Rp.20.000, uang tersebut harus dipakai untuk ongkos pulang dan makan, namun tiba-tiba ada keharusan untuk fotocopy tugas dadakan hari itu juga. Dia harus memilih merelakan salah satu karena uangnya tidak cukup. Hal seperti ini bisa disebut stres kecil dan semua orang mengalaminya. Ketika seseorang tertekan karena banyaknya stres kecil ini bisa mengakibatkan depresi. Seseorang homoseksual akan mengidentifikasi perbedaan yang ada dalam dirinya seringkali merasakan keanehan dan membutuhkan kenyamanan, lantas ada keinginan untuk bercerita dengan seseorang. Dengan tumpukan-tumpukan stres yang dialaminya ditambah tekanan kebutuhan kenyamanan bisa jadi menyebabkannya menjadi depresi. 


Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) di Cianjur jumlah gay atau lelaki suka lelaki (LSL) terus meningkat dari 1.030 di tahun 2016 hingga mencapai 2000 orang di pertengahan tahun 2017. Beberapa waktu yang lalu, viral pemberitaan adanya Grup gay pelajar di Garut. Jumlah Homoseksual terus meningkat, kenapa hal ini bisa terjadi?
Berangkat dari dorongan secara seksual yang dirasakan manusia saat menginjak remaja. Pertama, banyak yang ingin berpacaran namun tidak memiliki keberanian. Bisa jadi karena ketampanan, kekayaan, kepintaran yang menyebabkan seseorang tidak berani mengutarakan dorongan nya ini, ada pula yang minder karena takut diolok-olok. Jadi jalan pintas untuk mengatasi hal ini adalah dengan berkumpul bersama laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Dengan cara ini dorongannya tersalurkan, tanpa merasa minder ataupun olok-olok.
Yang kedua, ia mengetahui konsep pacaran didalamnya terdapat dorongan menggebu-gebu. Hubungan diluar nikah, ada resiko besar yaitu hamil. Masalah akan ditambah lagi dengan keluarga pasangan, keluarga sendiri dan lainnya. Mereka yang menginjak usia remaja, kalau sampai memiliki anak, mesti dibesarkan. Namun di sisi lain, umur sendiri masih terlalu muda, hal ini menyebabkan kebingungan. Hal seperti ini muncul dalam pemikiran kelompok-kelompok tersebut. Ketika ingin menyalurkan dorongan tapi tidak berani menanggung resiko. Salah satu jalan keluarnya yaitu dengan berhubungan sesama jenis.
Yang ketiga, adanya media sosial. Kalau dulu, ingin mengetahui sesuatu selalu berjenjang ada tahapan-tahapannya. A diketahui setelah lulus SD, B saat SMP, dan C setelah SMA. Namun sekarang semuanya terpampang didepan mata. Tanpa orangtua tahu, tanpa guru tahu. Dan  pemikiran mereka yang belum kritis, belum tahu resiko mengonsumsi konten media sosial begitu saja. Yang menyebabkan mereka meniru begitu saja apa yang dilihatnya.


cr: nadia_bormotova/iStock



Apa dorongan yang biasa ada pada lawan jenis bisa disalurkan begitu saja kepada sesama jenis?
Seorang laki-laki bertemu dengan perempuan cantik dan mengakui kecantikannya sebetulnya hal itu sudah bisa dibilang dorongan. Dan walaupun seorang laki-laki tidak bertemu dengan perempuan, dorongan hasrat itu setiap hari ada. Tergantung ingin menyalurkan dorongan tersebut atau tidak.


Apa perilaku yang berawal dari dorongan seperti itu bisa menjadi homoseksual berkelanjutan?
Ada orang-orang yang karena rekam jejak di masa lalu, ketika kecil berhubungan, dicabuli, dan sudah merasa adiktif bisa berkelanjutan menjadi homoseksual. Tapi bisa berbeda juga ketika dorongan seperti kasus pelajar SMP di Garut karena masih mencari jati diri, meniru-niru, istilahnya angin-anginan.


Bagaimana harus menyikapi isu tersebut?
Sebaiknya KOMINFO dengan tegas memblokir situs-situs porno, situs film yang mengandung unsur-unsur yang bisa memunculkan dorongan sedari awal internet menjamur. Meski telat, hal ini tetap harus dilakukan. Dibantu dengan diawasinya remaja oleh guru dan orangtua, pemberian penyuluhan terus-menerus, dan dikawalnya oleh agama, saya kira tidak akan memunculkan jumlah homoseksual dengan jumlah yang besar. Karena banyak yang belajar untuk menjadi homoseksual dari media sosial dan lingkungan dibanding homoseksual yang genetik. Dan akan sulit untuk kembali ketika sudah kecanduan bertahun-tahun. Homoseksual dengan motif trend seperti ini yang harus dicegah sedini mungkin. Namun, bila berbicara mengenai homoseksual genetik memang sampai sekarang penanganannya masih sulit, meski bukan berarti tidak mungkin ia menjadi heteroseksual. 

Pendiam Tapi Masuk Ilmu Komunikasi UPI


Waktu bergulir begitu cepat, tahun ini aku sudah memasuki tingkat 3 perkuliahan. Masih teringat, hari dimana aku menangis tidak lama setelah membuka pengumuman SNMPTN. Tulisan Selamat berwarna biru yang ditunggu-tunggu oleh mayoritas murid kelas 12 SMA terpampang di depan mata. Hari itu, perasaanku membuncah. Bersyukur tapi menangis bukan karena rasa syukur itu sendiri, melainkan karena begitu takut menghadapi kenyataan bahwa aku lulus di jurusan Ilmu Komunikasi UPI. Jurusan pilihan ke dua yang dipilih dengan ragu. Aku (dulu, sangaaaat!) pendiam, bagaimana bisa aku masuk jurusan yang harus memakai kemampuan berbicara sebagai yang utama?

cr: edunews.id

 
Dari tiga pilihan jurusan di SNMPTN, aku memasukkan: 1) Sastra Inggris UPI 2) Ilmu Komunikasi UPI dan 3) Bahasa Inggris UIN. Beberapa kali aku mengganti pilihan jurusan, pilihan ke-1 dengan FSRD ITB dan Arsitektur Lansekap IPB (Aku suka menggambar sedari kecil, tapi selalu ditentang oleh orangtua dan oleh karena itu aku hiatus bertahun-tahun, masuk SMA aku baru menggelutinya lagi). Tapi entah kenapa hatiku selalu terbolak-balik. Dan sampai pada akhirnya, orangtua angkat bicara kalau mereka berdua lebih ridho, aku berkuliah di Bandung dengan jurusan Bahasa Inggris. Orangtua yakin aku bisa lebih survive di jurusan ini karena sedari SD aku memang sering mengikuti lomba storytelling dan bahasa Inggris, karena dasar itu akhirnya pilihan ke-1 jatuh pada Sastra Inggris UPI.

Lalu bagaimana dengan pilihan ke-2, Ilmu Komunikasi UPI? Awalnya, berasal dari kemiripan antara aku dan saudara sepupu yang sama-sama begitu menyukai buku. Sepupuku ini diasuh oleh mamaku saat kecil, mungkin itulah kenapa kami berdua mirip dalam hal ini.  Lah terus apa hubungannya? Saudara sepupuku ini bisa dibilang sukses, hehehe. Seringkali ia pergi-pergian ke beberapa negara---gratis! Ia juga lulusan Ilmu Komunikasi, yah meski bukan dari UPI sih. Ilmu Komunikasi UPI sendiri baru berdiri lima tahun saat aku masuk, sedangkan umur ku dan sepupu ku terbentang jarak 12 tahun. Jadi UPI belum punya jurusan Komunikasi saat itu. Nah, menurutnya, salah satu skill yang dibutuhkan dalam jurusan ini adalah membaca dan ia sangat mendukungku masuk ke Ilmu Komunikasi UPI. Tapi ada satu hal yang terlupakan, dia humble sedangkan aku pendiam. :’)

Selain itu, aku menaruh Ilmu Komunikasi UPI di pilihan karena aku senang berbicara di depan umum, aku senang bisa berbagi apa yang ku ketahui dengan banyak orang, Mungkin karena dari SD aku sudah terbiasa untuk tampil storytelling. Tapi berbeda untuk masalah berbicara dengan orang lain secara tatap muka, atau kelompok aku seringkali diam membisu, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Bahkan aku lebih memilih untuk tersesat di jalan saat berkendara daripada harus menanyakan kepada orang lain. Payah kan~



Beberapa pengumuman seleksi perguruan tinggi negeri lantas keluar. Alhamdulillah, aku lulus di Ilmu Komunikasi UPI dan Ilmu Komunikasi IPB (D3). Jurusan yang sama dan hanya universitas yang berbeda. Akhirnya orangtua lantas mendorongku untuk mengambil Ilmu Komunikasi UPI.

Hari-hari di Ilmu Komunikasi UPI, hmm, awal-awal aku begitu kerepotan. Semua orang dengan lancarnya berbicara sedangkan aku? Tersendat-sendat. Aku sempat menangis beberapa kali karena merasa berada bukan di lingkungan yang seharusnya. Memang berat, wahai introvert, I know how hard it is. Bahkan ada ketakutan terkucilkan karena aku begitu pendiam. Setiap hari, -mungkin karena khawatir- orangtua menelponku, menanyakan: “Teh, gimana udah banyak ngomong hari ini?”.  :’)

Sebagai seorang introvert, INFJ-T, dengan high social anxiety. Banyak kata-kata yang ingin ku keluarkan dalam sebuah percakapan tapi hanya berputar-putar di kepala. Entah kenapa, tapi aku begitu takut berbicara. Beberapa teman SMA ku bahkan mengolok-ngolok: pendiem kok jurusannya.....

Hey.
Tapi itu dulu.
Sekarang? Jauuuuh lebih baik, Alhamdulillaaah! :'')

Teman-teman SMA yang mengolok-olok malah sekarang  seringkali mengungkapkan bahwa aku yang dulu bukanlah yang sekarang~ (jeng-jeng!)
Teman-teman kuliah juga lho (bukan hanya yang satu jurusan di Ilmu Komunikasi UPI, tapi juga jurusan lain)  ^^

Meski, kalau disamakan dengan banyak anak komunikasi atau orang yang extrovert, aku tetap tidak terlalu banyak omong, setidaknya julukanku yang asalnya pendiam berubah menjadi… kalem. :p (eaa~)

Penerimaan mahasiswa baru Ilmu Komunikasi UPI

Untuk teman-teman yang juga pendiam, introvert, atau punya high social anxiety tapi merasa punya kecocokan dengan jurusan ilmu komunikasi, dengan sepenuh jiwa dan raga (lebay dah) kutulis ini: 

Jangan kalah dengan ketakutan dan kekhawatiranmu! Selama kamu mau berubah dengan berusaha. Kamu bakal berubah kok. Meski sulit dan tidak instant, tapi justru karena itu aku menjadi orang yang lebih menghargai setiap proses yang kulalui--yang mana tidak semua orang bisa melakukannya. Pendiam bukan berarti tidak bisa sukses. Bahkan kakak tingkatku yang juga dulunya (sebelum masuk Ilmu Komunikasi UPI) sangat pendiam berhasil menjadi lulusan terbaik. (Selanjutnya aku, hehe, aamiin).

Aku dapat cerita, banyak yang mengurungkan niatnya untuk masuk ke jurusan Ilmu Komunikasi karena pendiam dan introvert. Percaya deh, meski tidak seperti mereka. Kamu bisa bertahan kok. Di jurusan ini, kita bersama belajar dari nol cara berkomunikasi yang baik baik secara tatap muka maupun media. 

Dan yang paling penting yang harus diingat; itu hanya kekhawatiran belaka. Yang pintar berbicara tatap muka belum tentu mahir berbicara di publik. Yang mahir berbicara di publik belum tentu punya skill menulis. Yang mahir menulis belum tentu mahir berbicara di depan kamera. Yang mahir berbicara didepan kamera belum tentu bisa mendengarkan. Semua punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dan kita sama-sama belajar. Masuk ke ilmu komunikasi UPI sempat membuatku menangis karena harus keluar dari zona nyaman, tapi sekarang? Aku begitu bersyukur menjadi bagian dari Ilmu Komunikasi bahkan bangga. Bukan berarti sekarang aku menjadi cerewet, aku masih pendiam dan introvert. Aku bisa dibilang masih berproses, tapi sejauh ini, aku jadi lebih bisa menempatkan diri. Introvert bukan berarti anti-sosial kok! Aku sudah membuktikannya. :) *kok malah jadi kayak iklan.

Semangaaat!
Di tunggu menjadi bagian komunikasi ya!













-

Oh ya, mungkin beberapa orang masih sering bertanya-tanya. Ilmu komunikasi UPI? Memangnya ada? Ada! UPI sekarang punya jurusan yang bukan hanya untuk pendidikan namun juga non-pendidikan. Ilmu Komunikasi UPI ini juga walaupun masih tergolong jurusan yang muda, selalu menjadi jurusan favorit lho tiap tahunnya teman-teman, baik di SNMPTN, SBMPTN, maupun SM. Terdiri dari tiga konsentrasi: Jurnalistik, Public Relation (PR) dan Broadcasting. 

Media Literasi: Adikku Terpapar Pornografi

“A A A A Aisyah Jatuh Cinta pa papa pada Jamilah”


Siapa yang tidak pernah mendengar lirik lagu diatas? Salah satu lagu yang viral di Indonesia menjelang Bulan Ramadhan beberapa waktu lalu. 

Dipadu dengan goyang dua jari oleh para pengguna aplikasi Tik-Tok, lagu yang berjudul Aisyah Jatuh Cinta pada Jamilah ini langsung menjadi konsumsi publik---Entah yang sekedar kepo, sampai yang ingin mengikuti trend video goyang dua jari. Karena adanya lagu dan goyang dua jari ini, aplikasi Tik-tok menjadi makin digemari dan menjadi salah satu aplikasi yang banyak dipakai oleh generasi muda Indonesia.

Cr: Asumsi.co

Kebetulan saat Tik-Tok Viral, aku sedang menjalani akhir dari semester empat. Di semester ini, aku mengontrak mata kuliah media literasi. Sebuah mata kuliah, yang hanya ada di jurusan Ilmu Komunikasi di beberapa Universitas di Indonesia (sombong, eh bangga x’p).


Dalam Final project mata kuliah media literasi ini, kami diminta turun ke masyarakat untuk mengadakan sebuah event media literasi yang sasarannya disesuaikan dengan keputusan masing-masing kelompok. Hal ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat yang masih asing dengan media literasi. Karena berbeda dengan negara Eropa dan Amerika yang sudah memiliki perhatian besar untuk mengantisipasi media baru dengan memasukan pendidikan media literasi ke dalam kurikulum sekolah sejak tahun 1970-an. Indonesia, hingga kini media baru hadir masih belum menerapkan pendidikan media literasi dalam kurikulum sekolah.


Sekolah-sekolah di Indonesia sekarang sedang berusaha menerapkan gerakan literasi karena minimnya budaya baca. Namun belum sampai pada media literasi. Maka dari itu, dengan bermodalkan sedikit ilmu tentang media literasi, kami turun dengan harapan dapat membawa perubahan di masyarakat.


Kelompokku sepakat untuk menyasar murid-murid kelas 4, 5 dan 6 di salah satu Sekolah Dasar di Bandung. Kami menyasar murid Sekolah Dasar, karena menyadari dewasa ini banyak orangtua yang memberikan Handphone kepada anaknya begitu saja, yang seringkali penggunaannya sulit bahkan tidak dikontrol. Selain itu maraknya video Tik-Tok yang beredar di Sosial Media dengan goyangan tidak patut, banyak menampilkan anak-anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.

cr: istock

Sebelum mengadakan Event, kami melakukan observasi dengan quisioner media literasi yang dibuat semenarik mungkin dan mengobrol singkat dengan guru yang mengajar di sana. Banyak fakta-fakta yang kami temukan. Selain memang banyak pegguna Tik-Tok di SD tersebut.
 Ternyata terpaparnya adik-adik ini lebih dari apa yang kami perkirakan.


Banyak anak yang sudah terpapar pornografi. Berdasarkan keterangan guru -yang sangat menyetujui kami melakukan event media literasi seperti ini-, beberapa anak diketahui sudah menonton video porno dan beliau sangat khawatir atasnya.


Ia menerangkan, ada murid yang sudah terbiasa menonton video porno sejak kecil, karena sudah diberi kebebasan oleh orangtuanya menggunakan handphone agar ia tidak rewel. Efeknya, kini ia akan meraung-raung bila tidak diberi tontonan video porno.


Ada pula anak yang menemukan film porno di handphone orangtuanya (kebetulan orangtua PSK). Guru itu sendiri pernah mendapati murid yang (maaf) menggesek-gesekkan kemaluannya ke meja di jam sekolah.  


Selain itu, beliau mendapat laporan (Wallahualam) dari tetangga salah satu murid di sekolah itu. Ketika pelapor ini bertamu, ia mendapati murid tersebut (maaf) sedang menciumi kaki ibu nya yang sedang tidur menggunakan daster. Ketika sang pelapor mencoba memberitahukan sang ibu mengenai hal ini, Ibu tersebut malah marah-marah dan tidak percaya.


Mendengar ini, aku hanya bisa geleng-geleng. Antara percaya dan tidak percaya. Adik-adikku terpapar pornografi karena keteledoran orangtua. Lahir sebagai salah satu dari generasi Z yang tidak asing dengan kecanggihan teknologi, sudah sepatutnya aku bersyukur. Perubahan sosial yang terjadi akibat adanya smartphone yang marak di generasi ini, banyak membuat banyak hal menjadi begitu mudah, bukan hanya akses informasi dan komunikasi, tapi juga berbagai kegiatan sehari-hari: transportasi, perbelanjaan, dsb. Namun, teknologi tanpa ilmu, media literasi sendiri seolah menjadi pisau bermata dua, kecanggihan justru merusak para penerus bangsa.


Di hari kami mengadakan event, aku menyusuri satu-per-satu wajah mungil mereka. Ingin rasanya kembali menjadi mereka, terlihat bebas tanpa beban. Tapi mengingat apa yang dikatakan oleh guru mereka membuatku merasa tidak rela. Mesti nya mereka masih jernih. Bukan dewasa sebelum waktunya.




Dalam pelaksanaannya, alhamdulillah, aku tidak mendapati banyak kendala. Sesi mentoring berjalan menyenangkan dengan siswa-siswi yang antusias. Bernyanyi bersama dengan yel-yel media literasi. Aku berharap mereka mengerti dan menerapkan sepenuhnya hal-hal mengenai media literasi yang sudah diajarkan.

Event selesai, kami beristirahat sejenak, rasa haus tidak tertahankan, kami harus teriak-teriak  walaupun sedang berpuasa karena kelas yang gaduh (namanya juga anak SD, buk). Dua orang temanku (perempuan) tiba-tiba datang menghampiriku, ketakutan, bercerita bahwa mereka berdua dipeluk oleh seorang anak laki-laki. Mereka merasa ia meraba bagian tubuh mereka. Sontak aku terkejut. Berani sekali. Sudah masuk ranah pelecehan seksual. YaAllah, sudah sebobrok ini kah?


Selama ini, media literasi banyak dinilai tidak penting. Karena kecanggihan media dapat dipelajari secara otodidak. Mengenyampingkan konten media yang dibuat untuk mempengaruhi dan memiliki tujuan tertentu. Media hadir datang sebelum masyarakat memiliki ilmu media literasi.


Media literasi bukan hanya keahlian sekedar tentang mengakses media. Karena tanpa buku panduan pun masyarakat dapat mengakses hanya dengan coba-coba. Media literasi berarti mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan memproduksi konten mediaSebagai orangtua hendaknya sebelum memberikan handphone, ia ikut andil dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi aplikasi dan apa-apa yang bisa diakses oleh anaknya. Karena jika orangtua sebagai stakeholder dalam kehidupan anak saja tidak mementingkan media literasi. Bagaimana ia dapat mengerti (membimbing) betapa (dan bagaimana) media dapat mempengaruhi psikologi anaknya?


cr: Aswida's article

Membumikan dan belajar media literasi menjadi PR penting bagi para penggiat media sosial,  (calon) orangtua, dan (calon) guru. Alih-alih mengolok-olok generasi ini dengan sebutan generasi micin. Aware media literasi merupakan langkah besar yang sangat penting untuk berkontribusi dalam pendidikan generasi penerus bangsa. Karena media baru seperti handphone bersifat bebas, tidak lagi dapat direm, kecuali dengan kesadaran diri.

Menikmati yang Biasa atau Mengacuhkan yang Biasa

Dalam seminggu, setiap harinya, aktivitas saya tidak lebih dari sebuah pengulangan. Sebagai mahasiswi, kalau bukan belajar, ya urusan organisasi. Meski hari demi hari dijalani berbeda, tapi entah kenapa tanpa disengaja semua tergeneralisir menjadi ‘biasa’. Mengulang dari hari sebelumnya atau dari minggu sebelumnya. Karena biasa, sebuah kesempatan bisa membuka mata di keesokan hari, rasanya seringkali terlupakan kenikmatannya.

Saya membayangkan, jika hari ini hidup saya normal--sehat wal-afiat. Namun keesokan harinya, kedua mata saya menjadi buta atau kedua kaki saya tidak lagi bisa digunakan (lumpuh). Saya pasti akan bersedih, bertanya-tanya mengapa, dan ingin kembali menjadi sehat. Lantas, sebuah pertanyaan muncul dalam benak. Apa sesuatu yang biasa ada harus terdistraksi terlebih dahulu, agar saya lebih banyak paham dan bersyukur?

Selain itu, rasanya, Yang dilakukan pertama kali, selalu mendapatkan apresiasi lebih, berbeda dengan pengulangan. Untuk pertama kali nya saya menginjakkan kaki di kampus sebagai mahasiswi, saya lebih aware terhadap tugas-tugas yang diberikan pun apa yang disampaikan oleh dosen. Namun semakin biasa saya pergi ke kampus, saya justru terjangkit penyakit malas bin mager. Dosen yang kehadirannya ditunggu-tunggu saat menjadi mahasiswa baru, menjadi ditunggu-tunggu ketidakhadirannya. Sedang, di sisi lain, banyak teman-teman yang terkendala oleh biaya sedang ingin masuk kuliah seperti ‘biasa’. Kembali muncul pertanyaan. Apa kebiasaan saya yang mendapatkan kenikmatan dan kemudahan dalam berkuliah ini harus terdistraksi terlebih dahulu (tersendat-sendat, kesulitan ini-itu) agar saya lebih menjalani keseharian dengan penuh syukur dan apresiasi?

Apa.. saya manusia itu--yang sangat kurang bersyukur?

Lantas, sampai kapan menjadi seperti ini terus?

Menengok ke Belakang


“Tengoklah ke belakang, Apa-apa yang membuatmu meminta dan tangisi sehingga kamu sampai di titik ini”


Kalimat di atas muncul dalam sebuah foto di timeline instagram saya, kemarin sore. Seperti sebuah kebetulan. Beberapa waktu ke belakang ini saya menyadari bahwa banyak hal yang berubah dalam hidup. Saking banyaknya, rasanya seperti sebuah keajaiban. Well, walaupun memang semua di kehidupan ini ajaib. Tapi saya benar-benar baru menyadari nya.

Beberapa orang yang asalnya jauh tiba-tiba didekatkan. Orang-orang yang sebelumnya tidak saya kenal sama sekali tiba-tiba datang. Aktivitas yang sebelumnya saya tidak pernah terpikirkan akan dilakoni, menjadi aktivitas harian. Tempat yang begitu asing menjadi sangat akrab.

Semua hal berubah. Begitu cepat.

source: in pict

Beberapa teman dekat mengomentari cerita saya ini dengan: memang udah jalannya.

Saya sebelumnya tidak pernah menyadari ini, bahwa.. Masing-masing dari kita saling terhubung satu sama lain. Tanpa disadari. Dan itu adalah takdir.

Selama ini, pikiran saya ketika membicarakan takdir, tidak lebih dari “orang-orang yang menetap dalam jangka waktu yang lama”. Ternyata, tidak se-simpel itu.

Kenapa dari sekian banyak orang di muka bumi ini. Saya harus dipertemukan dengan A, B, C? Kenapa bukan yang lain?

Orang-orang yang berlalu-lalang. Orang yang saya temui di suatu tempat. Orang yang sekarang berada di sekitar saya. Orang-orang yang memenuhi perasaan saya. Orang-orang datang dan pergi.  Semua terkait.

Salah satu tutor Bahasa Inggris ketika saya belajar di Pare pernah berujar: Kalian bertemu dan berpisah disini adalah karena takdir. Yang disatukan oleh dorongan hati yaitu cita-cita.

Setiap dorongan hati itu awalnya dari mana?

Stimulus yang ditangkap untuk menguatkan dorongan hati itu siapa  yang memberi?

Ya. Allah.

Takdir, ketentuan Allah.

Bukan hanya dorongan hati mengenai cita-cita. Ketika saya berpapasan dengan seseorang dijalan. Rasanya itu pun bukan hanya sebuah kebetulan belaka. Siapa yang menggerakan hati saya dan dia untuk pergi ke tempat yang dituju? Meski pun, tempat yang dituju oleh kami berbeda, siapa yang bisa menyocokkan waktu kami agar dapat berpapasan?

Kalau begitu saja diatur oleh Allah. Apalagi orang-orang yang berada dikeseharian... Memangnya ada yang dapat mengatur itu semua kecuali Allah?

Pikiran lantas melayang ke hari-hari dimana saya begitu meminta. Meminta yang terbaik sembari sesenggukan. Bulan-bulan yang dilalui dengan berat. Melepaskan banyak hal dalam satu waktu.

Yet now, Everything’s gettin’ better. And I don’t know how to explain it. I’m just...grateful.

Waktu itu, rasanya, saya adalah orang yang sangat miskin. Bukan dari harta. Tapi aspek lain yang tidak bisa dibeli menggunakan uang. Banyak hal yang jauh sekali dari keinginan. Banyak hal yang mengusik kedamaian hati.

Tapi ternyata, konsep miskin itu tidak ada. Selama yakin dan meminta pada Dzat yang Maha Kaya.

Apa saya bisa membeli teman-teman yang baik untuk tetap berada di sekitar saya?

Apa saya bisa membeli suatu momen atau situasi yang datang pada hidup saya?

“dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu menginfakkan (semua) kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana” [8:63]

Banyak sekali hal menentramkan yang datang pada saya akhir-akhir ini. Bukan karena saya baik. Saya tau jelas, betapa saya sudah banyak mengecewakan Allah. Betapa bobroknya hidup yang saya pilh untuk jalani. Hanya saja, Allah tidak memperlihatkan aib saya yang begitu banyak itu ke manusia lain. Padahal, Allah bisa aja menyingkap itu semua. Bisa saja Allah meninggalkan saya. Allah bisa aja menelantarkan saya. Tapi karena Allah Maha Baik. Allah masih saja berikan kenikmatan...

Dari sini, saya memahami bahwa konsep miskin yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak memiliki Allah. Karena sebagai manusia, pada akhirnya, yang bisa dilakukan hanyalah meminta yang terbaik. Meminta untuk dimudahkan dalam segala urusan. Karena jika bukan karena Allah, saya tidak akan sampai pada titik dimana saya berada sekarang ini.

Meski tidak instan. Justru rentetan proses denial, menyabarkan, menerima, dan mengikhlaskan menjadi terasa begitu indah, ketika pada akhirnya.. setelah luka kian mengering Allah berikan kejutan indah. Alhamdulillah.


“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau dan tidak membencimu;
dan sungguh yang kemudian itu lebih baik daripada yang sekarang;
Dan sungguh, kelak TuhanMu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas” [93:3-5]