Kebiasaan

“Teh mau nyumbang untuk bencana gunung sinabungnya?” Tanya seorang perempuan yang membawa kardus besar berisi donasi warga kampus dipelukannya, tersenyum.

Saya yang kala itu sedang mengobrol cantik di selasar Mesjid Al-Furqon sambil menikmati semilir angin lembut dengan teman dekat saya terhenyak karena kedatangan si teteh yang begitu tiba-tiba, kemudian mengangguk pelan bersama.

‘ah kapan lagi bisa bantu orang’ pikir saya kala itu. Kami berdua segera membuka tas masing-masing dan merogoh isi dompet. 

Ketika saya membuka isi dompet, saya syok sendiri.
Bukan karena saya kere (walaupun memang kere sih :’)). Tapi karena dompet isinya hanyalah uang ratusan ribu rupiah dan yang paling kecil lima puluh ribu rupiah. Saya menelan ludah. Ini mau akhir bulan loh. Kemana larinya uang ribuan kecil yang biasa berada di sana? 

Saya memang gak berpikir panjang sebelum mengangguk, hanya ada rasa ingin membantu, dan merasa kebetulan memiliki rezeki lebih, tapi gak terpikir nominalnya akan diantara uang lima puluh atau seratus ribu rupiah. Gak inget bentuk uang apa yang masih tersimpan di dompet.

Setelah mengangguk, sambil membuka tas, yang ada dipikiran saya hanyalah memberi antara uang dua puluh atau sepuluh ribu rupiah (karena saya sadar, saya gak sering memberi, jadi ingin memberi yang agak besar tapi masih dalam kategori mampu hidup di akhir bulan).

Akhirnya, dengan berat hati saya ambil si biru. 

Bukan. Bukan karena saya masih punya banyak duit, wong uang saya pas-pasan. Bukan juga karena sebenarnya saya ini anak orang kaya jadi bisa minta dan hidup dengan tenang sampai akhir bulan---saya dari keluarga sederhana. Apalagi karena saya dermawan.

Bukan.

Tapi. Karena saya terpaksa. 

Sejujurnya, gak pernah ada di benak saya untuk memberikan uang lima puluh ribu rupiah, apalagi seratus ribu untuk sekarang ini. Pasalnya, saya masih sangat bergantung sama orangtua, belum punya penghasilan sendiri. Ditambah kalau dihitung-hitung uangnya pas-pasan sampai ke akhir bulan, kalau nyumbang kebesaran, gimana hidup saya nanti.

Tapi,

Masa saya yang udah ngangguk tiba-tiba bilang gajadi setelah liat dompet, malu.
Masa saya minta kembalian ke tetehnya----emangnya di warung, malu.
Maka dengan berat hati -untuk menyelamatkan muka- si biru keluar dari sarangnya.
Memang bagi beberapa orang nominal uang si biru termasuk kecil, ada juga yang menganggap nominal itu besar (termasuk saya).  

Hari itu, saya bersedekah. Sedekah yang didasari dengan (secara gak langsung) keterpaksaan----untuk menyelamatkan muka. Bukan untuk di tiru. Jangan sampai ditiru.

Hari-hari selanjutnya, saya lebih mengirit pengeluaran saya. Takut gak cukup sampai di akhir bulan. Kebetulan bulan itu lagi banyak-banyaknya pengeluaran. Malu, jangan sampai minta lagi ke orangtua.

Kadang, masih terbayang, andaikan waktu itu ada uang dua puluh atau sepuluh ribu. Andaikan. Saya mungkin akan lebih leluasa dalam membeli sesuatu.

-
Sampai ke hari dimana saya harus menginap di kosan teman untuk mengerjakan tugas. Kebetulan di kosan teman saya ini, ada TV. Tiba-tiba channel yang sedang ditonton memberitakan pemberitaan mengenai kemiskinan.

Saya yang menonton berbisik dalam hati ‘Ah andai saya bisa bantu’. Beberapa detik kemudian langsung teringat, menyadari bahwa saya pernah membisikkan kalimat yang sama saat mengikuti kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (P2M) yang diadakan Himpunan Jurusan saya. 

-

Saat itu, untuk pertama kalinya saya melihat dengan mata kepala saya sendiri apa itu kemiskinan. Bahkan merasakan. Bagaimana rasanya tinggal di mana kamar mandi yang hanya memiliki pintu dengan tinggi setengah dari seharusnya atau kamar mandi yang hanya tertutup dengan dikelilingi terpal biru tua---yang ketika ada angin berhembus kencang terpal itu akan melambai cantik. Melihat sendiri bagaimana anak-anak disana hanya sibuk bermain karena orangtua gak sanggup membiayai sekolah, mendengar sendiri keluhan warga disana yang satu bulan hanya memiliki gaji paling besar hanya 350 ribu rupiah, merasakan bagaimana rasanya datang ke rumah yang lantai nya sudah reyot, dsb.

‘Ah andai saya bisa bantu’ 

‘Kalau udah punya uang sendiri, kepingin deh bantu’ 

-

Mengingatnya timbul pertanyaan bagi saya, apa kalimat yang saya bisikkan pada diri saya sendiri itu akan saya realisasikan ketika saya sudah bekerja nanti? Berapa? Atau saya kelak pun akan terus mengelak dengan menunda? “kalau udah..” - dan - “kalau udah...” lainnya?

Di titik ini, saya merasa sangat malu dengan sendiri. Yang bisa dibilang beberapa hari sangat perhitungan hanya karena uang biru dikeluarkan untuk berdonasi---Keinginan aja tinggi. Mengapa bisa saya merasa seberat itu?

Lima puluh ribu bisa di pakai buat beli ini, ini, atau itu...

Hhhhh.

Berbicara masalah uang, sepertinya sebagai manusia, saya gak akan pernah merasa cukup dengan itu. Masalah uang akan terus-menerus saya rasakan. Karena semakin besar penghasilan atau uang yang saya pegang, maka semakin besar pula pengeluaran karena meningkatnya gaya hidup baik disadari maupun nggak. Balik ke masalah bagaimana diri mengatur dan memprioritaskan keuangan.

Sama seperti melaksanakan Sholat atau mengaji, kita akan terus-menerus merasakan gak punya waktu kalau gak menyempatkan diri untuk melaksanakannya. Balik ke bagaimana kita mengatur dan memprioritaskan waktu.

Kita bukannya gak punya, hanya gak memprioritaskan sesuatu dalam kehidupan kita.

Kalau dipikir-pikir, Gimana bisa ada orang yang bisa menyumbang sampai 50 juta rupiah?

50 Juta kan bisa di pakai buat beli ini, ini, atau itu.... Uuuh sayang... Kalau hanya dipakai untuk berdonasi, sekali ludes.

YaAllah..

Kebiasaan.

Kebiasaan menyempatkan di kala susah.

Kebiasaan memprioritaskan walau terlihat masih bisa di lain waktu.

Gimana bisa orang menyumbang 50 juta rupiah, kalau Lima puluh ribu aja gak terbiasa?
Yang dipikirin pasti gak jauh-jauh dari sayang uangnya...

“Sedikit-sedikit dari sekarang, Sin. Gimana kita bisa bantu pakai uang yang memang gede kalau punya nanti, kalau gak biasa?” Ucap Lisa, salah satu teman dekat saya ketika saya bercerita kekesalan pada diri.

Bukan pada nominal sebenernya, tapi kebiasaan.
Bukan nanti "kalau udah.." tapi lakukan aja yang sekiranya sekarang bisa dilakukan.

Kalau keinginan saya menolong mereka yang kurang mampu, maka keinginan itu harus didasari dari kebiasaan.

Biasa ikhlas..

Merasa tertampar, malu sama diri-sendiri, malu sama Allah.
Sebegitunya kamu gak ikhlas, Tia.
Sebegitu egoisnya kamu berpikir bisa beli ini itu dengan uang segitu, padahal buat main, nonton, makan, uang segitu gak berasa besarnya.

Yang saya punya (saat itu dan) sekarang ini bahkan lebih dari cukup, tapi sering merasa kurang: mungkin karena kurang bersyukurnya,kurang sedekahnya.

Saya baru sadar, besarnya uang pun bagaimana kita mempersepsikannya.

Kalau gak biasa, bisa-bisa mungkin ke orangtua pun kita akan menjadi perhitungan.

Naudzubillahimindzalik.. YaAllah..


“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dengan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas Karunianya lagi maha mengetahui.” 2:268

Tujuan

Was written 24 Sep 17 on tumblr 

“Memang apa bedanya teh kuliah sama gak kuliah? Toh sama aja, banyak sarjana nganggur” 

Sebetulnya ini pertanyaan lama, diajukan oleh seorang siswa SMA 1 Kalijati saat kegiatan Formas Goes To School bulan januari lalu.
Saya yang kala itu adalah mahasiswa (yang akan menginjak) semester 2, menjawab, menimpali dengan hal-hal juga yang berbau materil. Sama seperti yang ditanyakannya, materil.
Tapi, hari ini saya menyesali jawaban saya.

Jika saya mempunyai kesempatan mengulang waktu-yang jelas tidak mungkin- atau bertemu dengan dirinya lagi-yang sayangnya saya sudah lupa wajahnya-, saya ingin meralat jawaban saya.
Pertanyaan ini muncul lagi dikepala saya semenjak beberapa hari yang lalu setelah saya mendengar seorang bapak yang berbicara kepada anaknya,

“kalau kamu belajar gak bener, mau jadi apa? mau jadi tukang kuli? kalau bapak nanti gaada, mau gimana?”

Mendengar itu, hati saya teriris. Sedih, menyadari bahwa yang dikatakan bapak itu benar. Tapi disisi lain juga sedih, menyadari penanaman niat belajar ternyata tidak lain hanyalah untuk sebuah tujuan: profesi, yang tidak lain adalah bahasa halusnya dari uang.

Saya tidak memungkiri bahwa hidup ini butuh uang, hidup ini sangat bergantung pada uang. Tapi menanamkan niat belajar untuk sebuah profesi tinggi, untuk uang. Sepertinya, juga bukan merupakan hal yang bisa dibilang betul-betul benar.

Saya jadi merasa disadarkan,
Ah, ternyata ini toh jawaban kenapa orang sukses berarti adalah orang yang ber-uang banyak.
ternyata ini toh jawaban kenapa korupsi merajalela.

Tentunya, bapak ini tidak berniat mengajarkan keburukan. Beliau berbicara mengenai kebenaran. Hanya saja tidak sadar, bahwa perkataannya akan menggiring anak memiliki goals yang tidak lain adalah banyak uang.

Saya juga berpikiran begitu sebelumnya, belajar agar bisa kerja enak.
dan sepertinya memang banyak orang, yang sedari kecil sudah di (ehm, kasarnya) doktrin secara tidak langsung. Bahwa belajar adalah demi uang, maka bekerja adalah demi uang. Bukan untuk ibadah, bukan untuk menjadi pintar.

Maka, terjadilah praktik penipuan sedari dini yang kian menjamur; Kegiatan contek-menyontek di sekolah. Tidak penting kita tidak mengerti materi—yang penting nilai kita bagus, yang penting masa depan kita terjamin.

Yang banyak dari kita khawatirkan bukanlah “bagaimana kalau di masa depan kita tidak mengerti materi ini? apakah konsekuensinya?”, yang kita khawatirkan adalah “bagaimana kalau nilai kita jelek? apa kita akan bisa mendapatkan uang banyak? nilai jelek berarti masa depan suram.

Sedihnya. banyak yang tidak menyadari perilaku menipu ini bisa terus berkembang untuk mencapai tujuan tadi: uang (tidak tau di tidak taunya atau tidak tau di taunya). Yakni praktek suap-menyuap, korupsi, yang mana di elu-elukan sebagai tindakan yang sangat kita benci.

Kalau dipikir-pikir lagi, kita ternyata umumnya lebih takut pada masa depan suram, dibanding takut pada dosa yang dicatat. Kita lebih takut tidak punya uang dibanding kepada Tuhan.
Padahal kita semua tau, rejeki sudah diatur, kita hanya harus berusaha keras (di jalan yang benar) dan berdo’a untuk menjemputnya. Sedangkan surga, tidak ada jaminannya, kita bukan nabi ataupun rasul, tapi dengan gagahnya tidak takut melakukan penipuan-penipuan dengan dalih “masa depan” atau “Allah maha pengampun”.

Di titik ini, saya menyadari. Sepertinya, kita (saya) ternyata memang belum benar-benar percaya pada Tuhan. Kita masih meragukan apa yang telah ia jamin.




Dek, jika suatu hari nanti kita bertemu, walau saya yakin saya tidak tahu kalau itu kamu. Saya harap ada topik yang menggiring saya menjawab ini di depan kamu. Atau mungkin semoga saja kamu membaca tulisan saya, entah itu by accident atau jalan apapun.

Memang, tidak ada perbedaan secara mutlak yang bisa saya sampaikan antara yang kuliah dan yang tidak kuliah. Karena yang tidak kuliah pun sama-sama bisa belajar seperti yang kuliah. Banyak bahkan diluar sana yang tidak kuliah tapi bisa dibilang ‘sukses’ dalam arti kebanyakan orang.

Hanya saja, bagi saya sendiri. Setelah menjalani perkuliahan. Saya menyadari saya kuliah untuk belajar, agar lebih bisa memanusiakan manusia sesuai dari sudut pandang ilmu yang saya minati. Saya kuliah untuk mencapai kesuksesan utama dalam sudut pandang saya: menjadi bermanfaat untuk sekitar saya. Saya tidak banyak uang sekarang, di masa depan pun saya tidak tau nasib saya akan seperti apa dalam perekonomian. Tapi setidaknya, saya bisa menyampaikan ilmu–apa-apa yang saya pelajari sekarang ini, saya ingin dalam akhir kehidupan saya nanti, saya akan diingat dan didoakan terus karena memberikan manfaat. Karena hakikat hidup, tujuan hidup sebenarnya adalah menjadi khalifah, untuk beribadah bukan untuk uang.

Dan untuk menjadi bermanfaat pun tidak selalu harus kuliah, tidak kuliah pun banyak jalan untuk bisa menjadi bermanfaat.

Kuliah atau tidak, itu adalah pilihanmu. itu adalah jalan hidupmu.

Pengangguran, baik itu yang sudah lulus kuliah atau pun tidak kuliah. Bukan berarti hidupnya tidak berguna. Dan bukan berarti tujuan utama dari seseorang adalah uang. Mari kita belajar untuk tidak merendahkan dan memandang orang lain hanya berdasarkan profesi yuk, dek.

Thought: Merendah Untuk Meroket?

Was written on tumblr,


Saya liat CNN News hari ini, pemberitaannya tentang pengemis yang kaya.

Pengemis yang diberitakan di CNN ini punya kekurangan secara fisik alias cacat. Mereka ada yang udah punya uang 16 juta rupiah, ada juga yang punya motor, mobil, bahkan rumah mewah.
Saya cuma bisa geleng-geleng.

Kayaknya memang mengemis udah jadi lapangan pekerjaan baru di Indonesia. Gak usah punya skill apapun, yang penting bisa berdandan dan ber-acting menyedihkan biar bikin orang lain simpati (eh itu skill deng). Bahkan baru-baru ini tertangkap pengemis yang pura-pura menjadi cacat oleh pak @ridwankamil, dan ternyata penemuan pengemis yang berpura-pura cacat ini bukan cuma sekali.

Anehnya, yang menjadi pengemis itu mampu buat bekerja tapi memilih untuk menjadi pengemis.
Hal ini membuat saya berpikir, waktu TK, SD, SMP, SMA seringkali kita ditekankan untuk menjadi rendah hati bukan rendah diri karena gak baik. Tapi realitanya, ternyata merendahkan diri malah berbuah kekayaan. Jadi orang kaya itu baik atau engga?

Merendah untuk meroket ternyata bukan berlaku cuma di conversation aja.

Beberapa hari yang lalu saya baru aja selesai baca bukunya Pak Dahlan Iskan yang judulnya Ganti Hati Tantangan Menjadi Menteri. Buku ini bagus banget, saya nyesel baru baca di tahun 2017 padahal udah terbit dari tahun 2012.

Bukunya Pak Dahlan ini menceritakan bagaimana perjalanan beliau transplantasi hati (liver) di Tiongkok. Ada banyak hal menarik, salah satunya berkaitan tentang ngemis-mengemis di Tiongkok, yang beberapa informasinya saya akan tulis di post ini:

Kita pastinya udah tau kalo Tiongkok mengalami kemajuan akhir-akhir ini. Bank Dunia menyebutkan salah satu sumber kemajuan dari Tiongkok ini adalah faktor social capital (modal sosial) disamping modal finansialnya. Modal sosial disini maksudnya di Tiongkok banyak yang miskin bahkan lebih miskin dari masyarakat Indonesia tapi mereka punya harga diri yang lebih baik. Mereka ini gak rendah diri (malu) gitu karena memiliki status sosialnya yang rendah.

Maksudnya harga diri lebih baik, mereka malunya kalo jadi pengemis. Mereka pikir walaupun mereka berstatus rendah, mereka derajatnya sama dengan orang kaya. Sama-sama bekerja dan uniknya pemikiran disana itu: selama mereka kerja, apapun pekerjaannya, meski pekerjaan yang dilakoninya “rendahan” mereka gak ogah-ogahan. Karena intinya mereka ingin dianggap sama dengan yang kaya. Miskin bukan berarti harga dirinya rendah.

Kalo dipikir-pikir kok pola pikir society di Indonesia umumya jahat banget yah.
Misal ada seorang anak yang ibunya kerja jadi TKI, secara gak sadar lingkungan akan merendahkan dia. Saya sendiri ngeliat dengan mata kepala saya sendiri, bagaimana orang yang berpakaiannya sederhana, gak bermake up, gak punya gadget bagus, direndahkan. Seakan berbeda dunia. Seakan gak level…

Padahal ibunya dia punya harga diri, dia bekerja bukan dengan meminta-minta atau korupsi. Kenapa harus dianggap rendah? Justru menurut saya, orang yang rendah itu orang yang merendahkan usaha orang lain padahal belum tentu sendirinya mampu.

Maka dari itu sering dari kita yang melihat sosok social climber. Dimana seseorang ingin diakui secara sosial. Biasanya anak muda, dengan memaksakan budget yang dimiliki orangtuanya untuk beli ini-itu. Untuk terlihat lebih high level, lebih kekinian. Sedangkan orangtuanya banting-tulang setiap hari demi membahagiakan anak mereka.

Kita gak bisa pura-pura nutup mata atas fenomena ini. Apalagi dengan adanya instagram, rasanya gengsi manusia semakin tinggi aja. Yang kaya akan terkenal. Yah, benar-benar karakteristik budaya popular media: meretas dari atas.

Pola pikir dari masyarakat itu bisa membentuk kepribadian seseorang, bisa mendorong seseorang berbuat yang enggak-enggak..

Lucu nya ya,

Hal itu terjadi dari bagaimana manusia hanya memandang manusia lain hanya dari ‘uang’-nya.
Mungkin terkesan sinetron abis sih, ya, adanya perbedaan level atas kekayaan ini. Tapi sebenernya ini terjadi di sekitar kita, dalam bentuk yang lebih halus.

Yang betul-betul miskin malu bila berhadapan dengan yang kaya. Karena adanya kelas sosial. Padahal harga dirinya mah sama aja, atau bisa jadi lebih tinggi. Orang kaya pun banyak yang memiliki harga diri rendah; kaya tapi korupsi, kaya tapi nyogok, kaya tapi ngemis, kaya tapi bunuh orang dan kaya beserta tapi-tapi lainnya.

Semangat bekerja karena adanya keinginan menjunjung harga diri merupakan salah satu faktor terbesar membuat Tiongkok lebih maju..

Pak Dahlan  menyebut orang-orang Tiongkok yang seperti saya tulis di atas itu dengan istilah “Kaya Bermanfaat dan Miskin Bermartabat”.

Dan hal ini menurut Pak Dahlan (dan saya sangat setuju) belum menjadi budaya di Indonesia.
Jadi di buku tersebut Pak Dahlan bercerita.

Waktu Pak Dahlan Iskan mulai membenahi Jawa Pos di tahun 1982. Beliau liat pegawai percetakannya kurus-kurus, pucet, loyo. Karena memang gajinya kecil. Mereka bahkan biasa minum air keran karena Jawa Pos gak menyediakan air minum padahal bekerja sepanjang malam.

Nah karena ingin membenahi akhirnya beliau mengadakan program “susunisasi”. Jadi, tiap malam, Akan ada jatah uang untuk karyawan-karyawan dibelikan satu kaleng besar susu untuk mereka minum bersama sambil bekerja. Agar sehat-sehat, agar kuat, dan semangat bekerja.

Suatu hari, setelah program susuniasai berjalan, di tengah malam, Pak Dahlan datang ke percetakan. Beliau gak liat ada gelas bekas minum susu. Kemudian beliau tanya: dimana susunya? Sambil takut, salah satu dari mereka menjawab. Susunya dijual. Setiap hari. Dijual secara bergilir. Hari ini karyawan A, besok B, lusa si C. Begitu seterusnya.

Padahal beliau sebagai bos, sebagai orang kaya tidak merendahkan orang miskin, beliau malah memandang mereka sebagai manusia yang memiliki semangat bekerja dan sedang memperjuangkan harga dirinya. Tapi malah berakhir seperti itu. Yang miskin, malah melunjak. Malah merendahkan harga dirinya sendiri. Tapi berakhir seperti itu.

Terakhir, saya kadang bertanya-tanya, apa yang salah dari kita warga Indonesia? Kita belajar tentang rendah hati dan rendah diri sedari kecil dan diulang terus-menerus.

Tapi kenapa kita gak bisa membedakan mana yang “rendah hati” dan yang mana yang “rendah diri”. Apa pembelajaran moral kita sebegini gagalnya?

Kenapa di kepala masyarakat kita tertanam untuk menghilangkan harga diri demi uang? sedang yang di Tiongkok banyak yang lebih miskin pun memiliki semangat juang? Apa yang salah dalam tataran sosial bermasyarakat ini?

Random Thought

Seharian kemarin saya di kosan, gak beraktifitas kayak biasanya.
Jadi punya banyaaak banget waktu buat me-time.
Mikirin apa aja gitu, ngalor-ngidul.

Termasuk mikirin kejadian jatoh kemarin yang sukses berhasil buat kaki keseleo.
Padahal jatohnya gitu aja, gak parah, gak ada bunyi "gedebuk", pokoknya kayak jatoh becandaan.
Malah posisi jatohnya duduk, kayak orang siap nari saman. Temen juga sampe ngakak ngeliatnya. πŸ˜‚

Kejadiannya: Lagi jalan, tiba-tiba jatoh. Padahal lagi ngobrol, gak ngelamun. Suasana hati juga lagi sangat baik, enggak galau, gak mikirin macem-macem, apalagi baru aja beli es krim (dan otw mau di makan: sangaat bahagia).

Saya aja heran, kok bisa? Yah mungkin memang karena saya nya aja yang ceroboh, gak liat-liat, dasar suka kurang hati-hati.

Nah, Setelah mikir kesana-kemari,

Saya yang asalnya agak kesel karena lagi seneng-senengnya beraktifitas di luar tiba-tiba jatoh dan sekarang jadi terhambat karena kaki susah di ajak jalan. Malah jadi bersyukur. Bersyukur banget. Menyadari bahwa kemarin itu saya beruntung. Saya cuma tiba-tiba jatoh, bukan tiba-tiba meninggal.

Jadi inget, kakek saya juga, lagi duduk, ngobrol sama tamu, tiba-tiba jatoh---meninggal.
Beberapa kali juga denger macem-macem tentang ketiba-tibaan. Orang yang lagi ketawa tiba-tiba kena serangan jantung, yang lagi ngobrol tiba-tiba pingsan, yang lagi tidur tiba-tiba meninggal.

Banyak ketiba-tibaan yang lebih buruk.. Saya? Toh cuma sekedar jatoh, keseleo. Toh langsung di pijit. Toh, sakitnya juga paling lama InsyaAllah cuma seminggu. Dan toh gak parah-parah amat. Alhamdulillah..

-

Mungkin Allah cuma mau menghapus dosa saya dengan sakit yang gak seberapa ini, barangkali sudah terlalu menggunung.

Mungkin Allah cuma pengen saya istirahat, barangkali kasian liat saya yang terkadang maksain, pergi pagi pulang malem terus.

Mungkin Allah cuma pengen saya punya waktu sendiri, buat lebih banyak ber-me-time-ria. Karena memang beberapa waktu kebelakang ini sejujurnya saya menghindari punya waktu dengan pikiran sendiri, karena selalu bertemu dengan pikiran negatif. Barangkali Allah, pengen saya menghadapi pikiran itu, bukan menghindari nya.

Dan  masih banyak kemungkinan-kemungkinan untuk kebaikan saya lainnya.

Merubah perspektif ternyata se-melegakan ini..

-

Yang jelas, saya bersyukur cuma jatoh. Karena saya masih belum siap meninggal---Gak tau juga sih kapan siapnya.

Yang jelas, saya jadi inget juga, kalo saya sering lupa kalo manusia itu deket sama yang namanya surprise, si ketiba-tibaan. Entah baik atau buruk---tentunya tergantung si persepsi manusia itu.

Dan yang paling jelas, saya suka lupa kalo kematian itu deket. Satu detik dari sekarang pun sebenernya gaada yang jamin saya masih bisa hidup. Tapi kadang saya suka lupa kalau janjian suka gak pakai InsyaAllah, kayak hidup ini milik sendiri aja bukan milik Allah. Kadang saya juga suka lupa kalau buat dosa, masih lalai-lalai, gak langsung taubat, sholat juga suka ditunda, seakan-akan tau bakal masih punya waktu, percaya diri sekali saya ini.

Dalam pikiran random ini. Saya berharap,

Semoga di segala ketiba-tibaan yang saya dapatkan kedepannya. Saya akan bisa selalu melihat dari sudut pandang lain yang lebih positif. Dan kalau dari ketiba-tibaan yang datang nanti adalah kematian. Semoga saya sedang dalam keadaan yang baik.
Aamiin, Al-Fatihah.



 P.s. Saya gak begitu tau di video ini benar-benar meninggal atau sekedar pingsan, tapi yang jelas ketiba-tibaan nya semoga bisa menjadi pembelanajaran

20 tahun 🎁




Bismillahirahmanirahim.
Akhir-akhir ini gateeel banget pengen nulis. Eh si tumblr (platform yang berisi tulisan-tulisan saya) malah diblokir.  :')
Jadi saya memutuskan untuk buat blog lain, dan mungkin tulisan-tulisan di tumblr bakal saya pindahin. Hmm.

Jadi,
alhamdulillahirabilalamin..
Kurang lebih seminggu yang lalu, 20 tahun sudah saya ada di bumi ini.
Buka mata, cek hp, chat pertama kali yang masuk, alhamdulillah.. dari orang yang berharga---Mamah.
Lagi-lagi setiap ulang tahun, selalu berhasil dibuat nangis. Saya ini tipe sensitif bed emang, gampang tersentuh..
Teringat, kata mamah, saya dulu ini bandel---sedari sebelum lahir. Umur kandungan belum nyampe 9 bulan. Tapi udah pengen keluar. Kebayang gimana sakitnya lahiran, ditambah ini malah sebelum waktunya. :"
Terpikir pula, makin besar, tuntutan harus makin dewasa, tapi di sisi lain saya masih pengen manja-manja kayak anak kecil. Paradoks sekali saya ini.


Di hari ke-20 kemarin rasanya beda. Gak kayak biasanya. Gak cuma ngerasain seneng aja,  tapi sedih juga, campur aduk. 


Ada nangis karena seneng dan ada juga nangis karena sedih. 
Senengnya, Alhamdulillah karena masih dikasih umur, masih dikasih banyak rezeki sama Allah, masih dikasih kesempatan berkomunikasi, bertemu orang-orang berharga dan masih banyak nikmat lainnya yang saya bisa rasakan. Sedihnya, umur makin sedikit, kesempatan makin menyempit, tanggungjawab semakin banyak dan karena adanya masalah (hati) :p wkwk

Hah.. Baru permulaan di umur ini. Mungkin hidup saya akan lebih berat kedepannya, di hari-hari berikutnya makin banyak yang harus saya pertanggungjawabkan--entah dari sudut pandang dunia pun dari sudut pandang akhirat. 
Semoga apapun itu kedepannya. InsyaAllah akan bisa saya hadapi dengan sebaik-baiknya.


What I really love from having a birthday is I have loyal close friends. Walaupun teman dekat saya sedikit, tanpa memberitahu, mengumumkan di sosial media bahwa saya sedang berulang tahun. Teman-teman dekat saya akan datang. Membawa segala rupa ucapan. Dari teman dekat SD, SMP, pun SMA. Membuat planning untuk berjumpa di kemudian hari.

Nah, Saya pun, mendapati ucapan seperti ini dari salah satu temen dekat saya. Dengan candaanya yang selalu menyamakan saya dengan icha soebandono (padahal muke kita jauh). Ia berhasil mengingatkan bahwa mungkin, insyaAllah, kelak, kalau saya masih di beri umur, nantinya saya akan menjadi seorang ibu.
Mungkin apa yang mamah rasakan ketika 20 tahun lalu, ketika saya lahir ke dunia, pun saya akan merasakannya---Entah dalam kurun waktu berapa tahun lagi. Rasanya waktu bergulir terlalu cepat. 
Padahal, Dude kw-nya juga belum ketemu. Eh tapi udah kepikiran ke Malik dan Rendra kw aja wkwk :")

Di dalam rasa campur aduk yang saya (masih) rasakan sampai sekarang ini. 
Saya hanya bisa berharap, karena semakin besar saya, kemungkinan berbagai masalah hidup pun mulai semakin banyak menggerayangi.

Saya berharap, ingin, kapan pun itu, kedepannya, ketika rencana-rencana dan harapan hidup saya tidak tercapai, tidak terlaksana, tidak berjalan mulus (karena kehidupan yang akan terasa semakin kompleks). Saya bisa untuk tidak mem-blaming siapapun, pun pada diri sendiri. Saya harap akan cepat sadar untuk bersandar, percaya, dan yakin bahwa ada rencana Allah yang paling baik yang telah disiapkan untuk saya, husnudzon---alih-alih tenggelam dalam kekecewaan. 

Kedepannya harapan untuk diri saya sendiri adalah menjadi ikhlas, dalam setiap kegiatan, perlakuan yang didapat, dan apa-apa yang datang ke dalam hidup. Dan semakin yakin pada Allah SWT.
Aamiin yaAllah yaRabalalamin.

-
-
-

N.b. SC chat mamah memang pukul 13.00 tapi sudah dibaca dari pukul 2 Dini hari.