20 Tahun: Sebuah Pembuka - Dipaksa Masuk Proses Pendewasaan


Sebuah senyum dari wajah tidak asing kulihat dalam sebuah foto di timeline instagram. Dari caption, kusimpulkan sepertinya hari itu merupakan hari ulang tahun dari kakak teman masa kecilku yang ke 20. Aku yang waktu itu baru saja akan menginjak bangku SMA (15 tahun) berhenti sejenak memandangi raut wajahnya dalam foto. Menanyakan pada diri, bagaimana tampaknya raut wajahku ketika menginjak umur 20 tahun nanti? Akan menjadi seberapa tinggi tubuhku? Apa aku akan menjadi seorang mahasiswi? Dimana? Apa jurusan yang kupilih?


-

cr:acekntaufikhidayat

Sekilas kenangan masa lalu tiba-tiba datang, pada diri yang sudah berumur 20 tahun. Dulu, rasanya aku sangat menunggu-nunggu saat dimana aku akan tampak dewasa. Orang dewasa itu keren! Dasar shin, kamu korban tayangan tv :’).

Meski bisa dibilang begitu, aku menulis ini bukan karena ingin mengeluhkan apa yang terjadi di kehidupanku sekarang (yang sedikit kontras dengan tayangan tv) dengan kalimat receh seperti: “Hidup itu gak seindah FTV” atau “Kuliah di FTV itu enak, main melulu. Kenyataannya? Hadeuh”.
Aku justru bosan mendengar keluhan itu. Walaupun hanya bentuk bercanda. Rasanya, banya orang yang menggunakan jokes itu -secara tidak sadar- menjadikan tayangan tv seperti FTV, atau tayangan apapun itu menjadi ‘standar’ keindahan dan kebahagiaan hidup: cinta mulus, duit lancar, dan main-main tanpa masalah. Yah, siapa yang tidak menginginkannya?

Tapi hidup tidak berjalan seperti itu. Maka kebanyakan orang justru malah muak dengan tayangan tv yang anehnya dianggap ‘indah’ (Padahal pantas skenarionya sederhana, karena ciptaan manusia yang mengejar rating) dan malah menganggap hidup milik sendiri tidak indah (padahal Tuhan yang Maha Tahu definisi dari indah, karena Dia menciptakan skenario hidup).

Jika keindahan hanya berarti hidup dengan bunga-bunga tanpa masalah dan beban seperti FTV.  Lantas apa bedanya dunia dengan surga? Oh, Lalu omong-omong jika ‘enak’ dalam menginjak umur yang sudah masuk kepala dua ini masih dilihat sebagai main melulu dan belajar dikategorikan sebagai sesuatu yang ‘tidak enak’, lantas dimana letak keindahan dari kebodohan karena tidak belajar?

-


Kini, aku bebas memandangi raut wajahku sendiri didepan kaca. Raut wajah yang kupertanyakan akan menjadi seperti apa sudah terjawab, tinggi badanku, juga soal perkuliahan. Dan semua itu terjawab melalui waktu. 

Tapi waktu menjawab yang kunanti dengan tidak bertanggungjawab. Ia hanya menyeretku tanpa mengajariku untuk menjadi dewasa seperti bagaimana aku tampak. Ia tidak mengajariku jawaban-jawaban atas segala persoalan kehidupan. 

Sharing dengan teman-teman seumuran, nampaknya menyadarkanku bahwa diumur ini, everybody is begin to face their own serious problems. Beberapa merasa diseret dalam proses pendewasaan dan beberapa belum. Beberapa dihentak dengan masalah yang ekstrim: perceraian orangtua, minimnya keuangan, mengalami gangguan kesehatan mental, ditinggal gebetan yang disukai 8 tahun menikah, pacaran 6 tahun yang berujung berbeda visi, dan lainnya. Meski nampak baik-baik saja. Kita sebagai manusia tidak pernah tahu, benang kusut apa yang ada dalam kepalanya.

Dengan persoalan-persoalan yang mampir pada diri. Kali ini aku ingin menulis konten blog dalam bentuk lain. Walau seperti biasanya aku akan menceritakan mengenai diri, kini aku ingin menulis hasil kontemplasi dari keruwetan semenjak berganti umur menjadi kepala dua.

Aku kian bertanya soal hakikat kehidupan, yang mungkin akan terus kupertanyakan sampai mati. Beberapa aku temukan jawaban yang cocok terutama untuk diriku sendiri. Yang kuharap beberapa pembaca akan juga terjawab pertanyaannya.  Sebuah kontemplasi hidup, versiku: 20 tahun.


-




List Judul (akan berupa link jika available)

2. Membenci diri sendiri
3. Menguras Energi
4. Tentang Kebahagiaan
5. Sok Tahu
6. Teman dari Tuhan
7. (Merasa) tidak sombong
8. Gertakan
9. No Pain No Gain
10. Bodo Amat
11. Berhenti Menulis
12. Emotional Independent
13. Persepsi Hidup
14. Penantian
15. Toxic Circle
17. Mencintai Kehilangan
18. Belajar Darimu

Mengenal Homoseksual Lebih Dalam Melalui Persepsi Ilmu Psikologi

cr: evolverinc

Hidup sebagai seorang LGBT di Indonesia sering berarti hidup di dalam ketidaknyamanan. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) masyarakat dalam seri monitor dan dokumentasi 2018 yang berjudul Bahaya Akut Persekusi LGBT tercatat LGBT seringkali dibedakan dalam hak-hak yang seharusnya didapatkan sebagai seorang manusia. Mereka yang cenderung coming out atas seksualitasnya, dalam fase hidupnya mengalami persekusi hingga pembunuhan. Hal ini membuat banyak LGBT mengalami depresi akibat tidak bisa melela (mengungkapkan jati dirinya). Bahkan sebuah studi yang diterbitkan jurnal ilmiah JAMA Pediatrics mengungkapkan remaja LGBT hampir enam kali lebih mungkin melakukan percobaan bunuh diri.

Tingginya sentimen publik dan gencarnya penolakan atas LGBT dengan mengeluarkan gerakan dan berdemo untuk memperkecil jumlah LGBT justru tidak relevan dengan realitas pertumbuhan komunitas ini meski banyak dari mereka yang mengalami tekanan hingga depresi. Di Cianjur Komisi Penanggulangan Aids (KPA) mencatat jumlah gay atau lelaki suka lelaki (LSL) terus meningkat, hingga pertengahan tahun 2017 mencapai 2000 orang. Pertumbuhan ini cukup tinggi karena ditahun sebelumnya tercatat gay di Cianjur berdasarkan data jumlahnya 1.030 orang. Data-data tersebut masih dapat dipertanyakan karena diperkirakan masih banyak yang menyembunyikan diri. Beberapa waktu yang lalu juga, terungkap Grup Gay Pelajar SMP Garut di Facebook, yang menunjukkan meningkatnya jumlah LGBT. 

Mif Baihaqi M.Si, Dosen Prodi Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menerangkan ada perbedaan persepsi diantara masyarakat dan komunitas LGBT yang menyebabkan tidak adanya titik temu diantara keduanya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai apa itu LGBT dari aspek keilmuan sehingga pendekatan yang dilakukan tidak menghasilkan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
  



Apa LGBT itu penyakit?
Kalau dilihat dari kacamata psikologi, LGBT itu bukan penyakit. LGBT itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk orientasi seksual. Orientasi itu artinya arah, biasanya berawal dari rasa kagum. Kalau seseorang sering berjalan dengan temannya, secara naluriah lama-lama akan ada yang dikagumi. Entah bentuk alis, cara bicara, ataupun kebiasaan. Dan itu bisa terjadi ke jenis kelamin apapun. Rasa kagum itu seperti ada hal yang membuat tertarik dari diri seseorang. Ungkapan-ungkapan seperti: “alis kamu bagus”, “rambut kamu fresh, potong di salon mana?” sebetulnya sudah menunjukkan rasa kagum. 


Bagaimana rasa kagum tersebut bisa melebihi rasa kagum kepada lawan jenis?
Tergantung tingkat keintiman diantara keduanya. Jika sering bertemu, bercerita, kebersamaan tersebut akan menimbulkan rasa nyaman dan kecocokan. Saking besar intensitasnya, lama-lama akan melupakan rasa kagum ke lawan jenis dan akhirnya masuk ke keintiman. Maka dari itu, harus dibedakan orientasi kedekatan dan orientasi seksual.  Orientasi seksual itu bagaimana kita menyukai seseorang secara seksual. Tapi seksual disini bukan berarti berhubungan badan, perilaku seksual bisa diartikan lebih luas dari itu.


Apa saja yang bisa dikategorikan sebagai perilaku seksual?
Ada tujuh perilaku yang bisa dikategorikan sebagai perilaku seksual. Dalam keseharian, bergandengan tangan sebetulnya sudah masuk ke perilaku seksual tapi kita umumnya memandang itu sebagai hal biasa, hanya sebatas interaksi. Begitu juga dengan memeluk yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kepada teman maupun pasangan. Sampai yang biasanya dilakukan dengan orang-orang yang memang intim seperti mencium pipi dan bibir, mencium kening, meraba, berhubungan badan tanpa penetrasi, sampai berhubungan badan dengan penetrasi. Jadi ada tahap, tapi kebanyakan orang melihat perilaku seksual hanya di hubungan yang terakhir. Padahal dalam hubungan dua orang belum tentu sampai yang terakhir.


Lantas semua orang punya kemungkinan yang sama dalam menyukai sesama jenis?
Iya, karena semua orang punya kemungkinan yang sama untuk berdekatan, cocok, saling berbagi persoalan, saling percaya, hingga yang intim (dalam interaksi). Betapa banyak yang seperti itu dan hal ini wajar. Namun, orang-orang yang sampai ke intim tentunya akan semakin pribadi hubungannya. Sampai pada ke hubungan tersebut, baru ada label: L-lesbian, G-gay, dan B-biseksual. Biseksual sendiri memiliki ketertarikan kepada dua gender, yang mana biasanya bisa dikatakan sebagai biseksual bila ia telah melakukan hubungan seks dengan keduanya.


Apakah homoseksual bisa kembali menjadi heteroseksual?
Tergantung penyebabnya, ada beberapa penyebab seseorang menjadi homoseksual: Pertama, karena unsur genetik dan hormon yang dominan, sehingga sangat susah untuk ditolak. Perempuan yang hormon kelaki-lakiannya banyak akan bertingkah seperti laki-laki, dan merepresentasikan dirinya seperti laki-laki. Kita mengenalnya dengan sebutan tomboy. Laki-laki yang kurang hormon kelaki-lakiannya dikenal menjadi laki-laki yang kemayu, bertingkah kewanitaan, biasanya ia kurang terlihat kegagahannya. Kalau penyebab berasal dari genetik susah untuk menjadi heteroseksual. Karena mereka sendiri tidak menginginkannya, bahkan sebenarnya ada perang-batin dalam dirinya. Masyarakat sering menyalah-artikan hal ini, tidak semua penyebab karena pergaulan, banyak dari homoseksual yang ingin menjadi heteroseksual. 
Kedua, akibat lingkungan biasanya terpengaruh oleh teman. Ketika seseorang melihat temannya lesbian dan tidak bermasalah, bisa jadi ia akan meniru perilaku tersebut. Homoseksual karena pengaruh lingkungan bisa kembali menjadi heteroseksual. Ketika ia berpindah dari lingkungan tersebut dan kembali beradaptasi. 
Ketiga, karena trend atau mode. Ketika ia berada pada lingkungan komunitas homoseksual, semisal semuanya lesbian sedangkan dia tidak. Dia akan merasa bukan hidup di zaman yang seharusnya, karena sudah masa nya untuk menjadi homoseksual. Sama seperti trend baju, trend kerudung, yang seperti ini disebut terbawa trend pergaulan. Bisa diubah dengan merubah cara pikirnya atau trend yang berubah bisa merubah dirinya juga.


Apa sikap tomboy dan kemayu bukan lifestyle?
Sebenarnya, hal ini bukan sekedar gaya hidup yang dipilih, melainkan ada hormon yang mendorong dibelakangnya. Dalam tubuh manusia, ada hormon yang membuat otot-otot yang membuat seseorang terlihat gagah, ada hormon yang membuat seseorang bertindak ketakutan atau cemas, ada hormon yang membuat memiliki ketertarikan seksual dan lainnya. Ketika hormon seimbang maka ia akan menjadi laki-laki atau perempuan biasa yang umumnya kita lihat.

cr: liputan6.com



Kebanyakan masyarakat Indonesia, kontra dengan kehadiran LGBT. Bahkan beberapa kelompok/ormas seringkali berdemo untuk menolak LGBT, apakah ini langkah yang tepat untuk menghadapi isu ini?
Sulit untuk menilai ini. Dalam sudut pandang psikologi, ketika kita berdemo pada LGBT. Justru komunitas LGBT sendiri tidak merasa melakukan kesalahan karena hanya menyalurkan dorongan diri melalui kedekatan. Mereka merasa nyaman dengan dirinya; bertemu, menonton, makan bersama. Jikapun masyarakat berteriak-teriak untuk memisahkan mereka. Dari diri mereka sendiri mempertanyakan kesalahan yang mereka lakukan. Karena mereka tidak mengancam publik seperti tidak merusak tempat peribadatan, mencuri, ataupun membuat keonaran. Tapi berbeda dengan sudut pandang agama. Hubungan keintiman yang normal adalah heteroseksual, laki-laki dengan perempuan, hubungan diluar itu (homoseksual) dosa. Jadi ketika masyarakat berteriak-teriak bisa dimengerti. Namun, ada ketidak sejalanan antara keduanya, tidak ada titik temu karena aspek yang mendominasi seseorang bisa berbeda. Ketika masyarakat memandang dari sudut pandang agama berdemo, hal ini justru tidak berdampak kepada komunitas LGBT karena secara psikologi tidak merasa bersalah.


Apa sikap kontra seperti itu dapat mengakibatkan sikap agresif dari komunitas LGBT? 
Iya, karena yang pertama mereka merasa sudah melakukan hal yang benar. Mereka berpikir hanya hidup secara naturalis. Kedua, hak asasi. Dua orang berteman dekat, makan bersama, nonton bersama, dan sebagainya. Secara psikologis, lalu dosen sebagai orang ketiga ingin memisahkan mereka berdua, hal ini tidak bisa. Lagipula, tahap keintiman (dalam interaksi) seseorang tidak terlihat secara kasat mata. Kita bisa melihat homoseksual hanya sebatas teman atau hanya dengan mengira-ngira, padahal belum tentu mereka sama-sama memiliki orientasi seksual yang sama, bisa jadi mereka hanya memiliki orientasi kedekatan. 


Apa mereka yang tidak berani coming out atas orientasi seksualnya karena lingkungan yang tidak mendukung akan merasakan tekanan dan berakhir depresi?
Depresi itu terjadi karena tumpukan stres-stres kecil untuk memenuhi kebutuhan. Stres kecil bukan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terasa. Misalnya, jika seseorang hanya memiliki uang dengan nominal Rp.20.000, uang tersebut harus dipakai untuk ongkos pulang dan makan, namun tiba-tiba ada keharusan untuk fotocopy tugas dadakan hari itu juga. Dia harus memilih merelakan salah satu karena uangnya tidak cukup. Hal seperti ini bisa disebut stres kecil dan semua orang mengalaminya. Ketika seseorang tertekan karena banyaknya stres kecil ini bisa mengakibatkan depresi. Seseorang homoseksual akan mengidentifikasi perbedaan yang ada dalam dirinya seringkali merasakan keanehan dan membutuhkan kenyamanan, lantas ada keinginan untuk bercerita dengan seseorang. Dengan tumpukan-tumpukan stres yang dialaminya ditambah tekanan kebutuhan kenyamanan bisa jadi menyebabkannya menjadi depresi. 


Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) di Cianjur jumlah gay atau lelaki suka lelaki (LSL) terus meningkat dari 1.030 di tahun 2016 hingga mencapai 2000 orang di pertengahan tahun 2017. Beberapa waktu yang lalu, viral pemberitaan adanya Grup gay pelajar di Garut. Jumlah Homoseksual terus meningkat, kenapa hal ini bisa terjadi?
Berangkat dari dorongan secara seksual yang dirasakan manusia saat menginjak remaja. Pertama, banyak yang ingin berpacaran namun tidak memiliki keberanian. Bisa jadi karena ketampanan, kekayaan, kepintaran yang menyebabkan seseorang tidak berani mengutarakan dorongan nya ini, ada pula yang minder karena takut diolok-olok. Jadi jalan pintas untuk mengatasi hal ini adalah dengan berkumpul bersama laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Dengan cara ini dorongannya tersalurkan, tanpa merasa minder ataupun olok-olok.
Yang kedua, ia mengetahui konsep pacaran didalamnya terdapat dorongan menggebu-gebu. Hubungan diluar nikah, ada resiko besar yaitu hamil. Masalah akan ditambah lagi dengan keluarga pasangan, keluarga sendiri dan lainnya. Mereka yang menginjak usia remaja, kalau sampai memiliki anak, mesti dibesarkan. Namun di sisi lain, umur sendiri masih terlalu muda, hal ini menyebabkan kebingungan. Hal seperti ini muncul dalam pemikiran kelompok-kelompok tersebut. Ketika ingin menyalurkan dorongan tapi tidak berani menanggung resiko. Salah satu jalan keluarnya yaitu dengan berhubungan sesama jenis.
Yang ketiga, adanya media sosial. Kalau dulu, ingin mengetahui sesuatu selalu berjenjang ada tahapan-tahapannya. A diketahui setelah lulus SD, B saat SMP, dan C setelah SMA. Namun sekarang semuanya terpampang didepan mata. Tanpa orangtua tahu, tanpa guru tahu. Dan  pemikiran mereka yang belum kritis, belum tahu resiko mengonsumsi konten media sosial begitu saja. Yang menyebabkan mereka meniru begitu saja apa yang dilihatnya.


cr: nadia_bormotova/iStock



Apa dorongan yang biasa ada pada lawan jenis bisa disalurkan begitu saja kepada sesama jenis?
Seorang laki-laki bertemu dengan perempuan cantik dan mengakui kecantikannya sebetulnya hal itu sudah bisa dibilang dorongan. Dan walaupun seorang laki-laki tidak bertemu dengan perempuan, dorongan hasrat itu setiap hari ada. Tergantung ingin menyalurkan dorongan tersebut atau tidak.


Apa perilaku yang berawal dari dorongan seperti itu bisa menjadi homoseksual berkelanjutan?
Ada orang-orang yang karena rekam jejak di masa lalu, ketika kecil berhubungan, dicabuli, dan sudah merasa adiktif bisa berkelanjutan menjadi homoseksual. Tapi bisa berbeda juga ketika dorongan seperti kasus pelajar SMP di Garut karena masih mencari jati diri, meniru-niru, istilahnya angin-anginan.


Bagaimana harus menyikapi isu tersebut?
Sebaiknya KOMINFO dengan tegas memblokir situs-situs porno, situs film yang mengandung unsur-unsur yang bisa memunculkan dorongan sedari awal internet menjamur. Meski telat, hal ini tetap harus dilakukan. Dibantu dengan diawasinya remaja oleh guru dan orangtua, pemberian penyuluhan terus-menerus, dan dikawalnya oleh agama, saya kira tidak akan memunculkan jumlah homoseksual dengan jumlah yang besar. Karena banyak yang belajar untuk menjadi homoseksual dari media sosial dan lingkungan dibanding homoseksual yang genetik. Dan akan sulit untuk kembali ketika sudah kecanduan bertahun-tahun. Homoseksual dengan motif trend seperti ini yang harus dicegah sedini mungkin. Namun, bila berbicara mengenai homoseksual genetik memang sampai sekarang penanganannya masih sulit, meski bukan berarti tidak mungkin ia menjadi heteroseksual. 

Pendiam Tapi Masuk Ilmu Komunikasi UPI


Waktu bergulir begitu cepat, tahun ini aku sudah memasuki tingkat 3 perkuliahan. Masih teringat, hari dimana aku menangis tidak lama setelah membuka pengumuman SNMPTN. Tulisan Selamat berwarna biru yang ditunggu-tunggu oleh mayoritas murid kelas 12 SMA terpampang di depan mata. Hari itu, perasaanku membuncah. Bersyukur tapi menangis bukan karena rasa syukur itu sendiri, melainkan karena begitu takut menghadapi kenyataan bahwa aku lulus di jurusan Ilmu Komunikasi UPI. Jurusan pilihan ke dua yang dipilih dengan ragu. Aku (dulu, sangaaaat!) pendiam, bagaimana bisa aku masuk jurusan yang harus memakai kemampuan berbicara sebagai yang utama?

cr: edunews.id

 
Dari tiga pilihan jurusan di SNMPTN, aku memasukkan: 1) Sastra Inggris UPI 2) Ilmu Komunikasi UPI dan 3) Bahasa Inggris UIN. Beberapa kali aku mengganti pilihan jurusan, pilihan ke-1 dengan FSRD ITB dan Arsitektur Lansekap IPB (Aku suka menggambar sedari kecil, tapi selalu ditentang oleh orangtua dan oleh karena itu aku hiatus bertahun-tahun, masuk SMA aku baru menggelutinya lagi). Tapi entah kenapa hatiku selalu terbolak-balik. Dan sampai pada akhirnya, orangtua angkat bicara kalau mereka berdua lebih ridho, aku berkuliah di Bandung dengan jurusan Bahasa Inggris. Orangtua yakin aku bisa lebih survive di jurusan ini karena sedari SD aku memang sering mengikuti lomba storytelling dan bahasa Inggris, karena dasar itu akhirnya pilihan ke-1 jatuh pada Sastra Inggris UPI.

Lalu bagaimana dengan pilihan ke-2, Ilmu Komunikasi UPI? Awalnya, berasal dari kemiripan antara aku dan saudara sepupu yang sama-sama begitu menyukai buku. Sepupuku ini diasuh oleh mamaku saat kecil, mungkin itulah kenapa kami berdua mirip dalam hal ini.  Lah terus apa hubungannya? Saudara sepupuku ini bisa dibilang sukses, hehehe. Seringkali ia pergi-pergian ke beberapa negara---gratis! Ia juga lulusan Ilmu Komunikasi, yah meski bukan dari UPI sih. Ilmu Komunikasi UPI sendiri baru berdiri lima tahun saat aku masuk, sedangkan umur ku dan sepupu ku terbentang jarak 12 tahun. Jadi UPI belum punya jurusan Komunikasi saat itu. Nah, menurutnya, salah satu skill yang dibutuhkan dalam jurusan ini adalah membaca dan ia sangat mendukungku masuk ke Ilmu Komunikasi UPI. Tapi ada satu hal yang terlupakan, dia humble sedangkan aku pendiam. :’)

Selain itu, aku menaruh Ilmu Komunikasi UPI di pilihan karena aku senang berbicara di depan umum, aku senang bisa berbagi apa yang ku ketahui dengan banyak orang, Mungkin karena dari SD aku sudah terbiasa untuk tampil storytelling. Tapi berbeda untuk masalah berbicara dengan orang lain secara tatap muka, atau kelompok aku seringkali diam membisu, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Bahkan aku lebih memilih untuk tersesat di jalan saat berkendara daripada harus menanyakan kepada orang lain. Payah kan~



Beberapa pengumuman seleksi perguruan tinggi negeri lantas keluar. Alhamdulillah, aku lulus di Ilmu Komunikasi UPI dan Ilmu Komunikasi IPB (D3). Jurusan yang sama dan hanya universitas yang berbeda. Akhirnya orangtua lantas mendorongku untuk mengambil Ilmu Komunikasi UPI.

Hari-hari di Ilmu Komunikasi UPI, hmm, awal-awal aku begitu kerepotan. Semua orang dengan lancarnya berbicara sedangkan aku? Tersendat-sendat. Aku sempat menangis beberapa kali karena merasa berada bukan di lingkungan yang seharusnya. Memang berat, wahai introvert, I know how hard it is. Bahkan ada ketakutan terkucilkan karena aku begitu pendiam. Setiap hari, -mungkin karena khawatir- orangtua menelponku, menanyakan: “Teh, gimana udah banyak ngomong hari ini?”.  :’)

Sebagai seorang introvert, INFJ-T, dengan high social anxiety. Banyak kata-kata yang ingin ku keluarkan dalam sebuah percakapan tapi hanya berputar-putar di kepala. Entah kenapa, tapi aku begitu takut berbicara. Beberapa teman SMA ku bahkan mengolok-ngolok: pendiem kok jurusannya.....

Hey.
Tapi itu dulu.
Sekarang? Jauuuuh lebih baik, Alhamdulillaaah! :'')

Teman-teman SMA yang mengolok-olok malah sekarang  seringkali mengungkapkan bahwa aku yang dulu bukanlah yang sekarang~ (jeng-jeng!)
Teman-teman kuliah juga lho (bukan hanya yang satu jurusan di Ilmu Komunikasi UPI, tapi juga jurusan lain)  ^^

Meski, kalau disamakan dengan banyak anak komunikasi atau orang yang extrovert, aku tetap tidak terlalu banyak omong, setidaknya julukanku yang asalnya pendiam berubah menjadi… kalem. :p (eaa~)

Penerimaan mahasiswa baru Ilmu Komunikasi UPI

Untuk teman-teman yang juga pendiam, introvert, atau punya high social anxiety tapi merasa punya kecocokan dengan jurusan ilmu komunikasi, dengan sepenuh jiwa dan raga (lebay dah) kutulis ini: 

Jangan kalah dengan ketakutan dan kekhawatiranmu! Selama kamu mau berubah dengan berusaha. Kamu bakal berubah kok. Meski sulit dan tidak instant, tapi justru karena itu aku menjadi orang yang lebih menghargai setiap proses yang kulalui--yang mana tidak semua orang bisa melakukannya. Pendiam bukan berarti tidak bisa sukses. Bahkan kakak tingkatku yang juga dulunya (sebelum masuk Ilmu Komunikasi UPI) sangat pendiam berhasil menjadi lulusan terbaik. (Selanjutnya aku, hehe, aamiin).

Aku dapat cerita, banyak yang mengurungkan niatnya untuk masuk ke jurusan Ilmu Komunikasi karena pendiam dan introvert. Percaya deh, meski tidak seperti mereka. Kamu bisa bertahan kok. Di jurusan ini, kita bersama belajar dari nol cara berkomunikasi yang baik baik secara tatap muka maupun media. 

Dan yang paling penting yang harus diingat; itu hanya kekhawatiran belaka. Yang pintar berbicara tatap muka belum tentu mahir berbicara di publik. Yang mahir berbicara di publik belum tentu punya skill menulis. Yang mahir menulis belum tentu mahir berbicara di depan kamera. Yang mahir berbicara didepan kamera belum tentu bisa mendengarkan. Semua punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Dan kita sama-sama belajar. Masuk ke ilmu komunikasi UPI sempat membuatku menangis karena harus keluar dari zona nyaman, tapi sekarang? Aku begitu bersyukur menjadi bagian dari Ilmu Komunikasi bahkan bangga. Bukan berarti sekarang aku menjadi cerewet, aku masih pendiam dan introvert. Aku bisa dibilang masih berproses, tapi sejauh ini, aku jadi lebih bisa menempatkan diri. Introvert bukan berarti anti-sosial kok! Aku sudah membuktikannya. :) *kok malah jadi kayak iklan.

Semangaaat!
Di tunggu menjadi bagian komunikasi ya!













-

Oh ya, mungkin beberapa orang masih sering bertanya-tanya. Ilmu komunikasi UPI? Memangnya ada? Ada! UPI sekarang punya jurusan yang bukan hanya untuk pendidikan namun juga non-pendidikan. Ilmu Komunikasi UPI ini juga walaupun masih tergolong jurusan yang muda, selalu menjadi jurusan favorit lho tiap tahunnya teman-teman, baik di SNMPTN, SBMPTN, maupun SM. Terdiri dari tiga konsentrasi: Jurnalistik, Public Relation (PR) dan Broadcasting.