Keep On Doing Good

Siang itu, rintik hujan kian mengecil. Akhir-akhir ini rasanya hujan memang terus-menerus hadir. Aku yang sedang terduduk sembari menalikan tali-sepatu tiba-tiba disapa oleh suara lembut yang mengalihkan fokusku.

“Teteh, aku mau ngasih sesuatu buat teteh” Seorang santri menghampiriku. Sepertinya, ia baru saja kembali dari kamarnya di asrama, hal ini aku simpulkan setelah melihatnya yang masih memakai baju seragam pramuka namun sudah tidak lagi memakai sepatu sekolah melainkan sandal.

“Hm? Apa?” Tanyaku penasaran.

Hari itu, kami baru saja mengadakan sebuah acara perpisahan. Tidak terasa satu semester berlalu begitu cepat. Hampir di setiap sabtu aku datang ke pondok pesantren Al-Furqan-Lembang untuk bertemu mereka. Karena jadwal mengajar di semester ini sudah sampai di akhir, serta komunitas sosial yang aku ikuti (Garis Tawa) akan berganti kepengurusan, maka diadakanlah acara perpisahan bersama santriwan-santriwati, pengurus Garis Tawa, dan relawan pengajar.

“Tangan teteh nya sini” Jawabnya membukakan telapak tangannya ke arahku, yang segera kusambut.

“Tapi.. aku malu teh..” Raut muka-nya berubah seketika. Ada keraguan yang kubaca.

“Malu kenapa?”

“Teteh jangan liat ya” ia menggenggam erat sesuatu dibalik khimar panjangnya. Aku sebelumnya mengira ia akan memberikan sepucuk surat karena beberapa santri sebelumnya memberikan para pengurus dan relawan dari Garis Tawa surat perpisahan. Namun ketika kuperhatikan dengan baik, rasanya ia bukan memberikan surat. Surat jika digenggam sebegitu kerasnya akan menjadi tidak berbentuk dan lusuh.

“Gak apa-apa kok. Emang kenapa?”

“Aku pengen ngasih teteh sesuatu. Tapi yang aku punya cuma ini”

Aku terdiam sebentar. De Javu, rasanya.

“Gak apa-apa, makasih ya”

“Tapi malu teh..”

“Mau langsung taro di tas teteh aja?”

“Iya boleh teh sini!” jawabnya cepat sembari menyambut tas yang kuberikan.

-

Sesampainya di kosan, aku baru membuka isi tas. Lantas melihat apa yang ia beri. Wallah, ia berhasil membuatku terenyuh dan merenung panjang. Sekadar info pondok pesantren tempat kami mengajar bukan seperti pondok pesantren di perkotaan. Beberapa dari mereka yatim piatu, atau salah satunya. Dan mereka bukan dari golongan masyarakat yang bisa dikata ‘mampu’.

“Aku pengen ngasih teteh sesuatu. Tapi yang aku punya cuma ini”

She has given what she thought best to me. Ya Allah.. T_T

Teringat beberapa bulan yang lalu, aku mempertanyakan, kenapa ketika aku memberikan yang terbaik untuk seseorang, seringkali seseorang itu justru mengecewakan atau bahkan tidak menghargai nya sama sekali. Hal seperti ini mungkin bukan hanya aku yang mengalaminya.

Terkadang, ketika mendapatkan balasan yang tidak mengenakan di hati, sebagai manusia aku menyerah untuk kembali melakukan kebaikan padanya. Seakan kapok. Kok gak tau diri ya... Padahal kan... Ah dia mah gitu males ah..

Cara pandang ini, jelas salah.

Dan kejadian hari itu mengubah sudut pandangku.

“Ketika kamu melakukan kebaikan, kebaikan itu akan kembali kepadamu”

Aku selalu berpikir kebaikan balasan yang kita beri akan bersifat timbal-balik, dari orang yang diberi kebaikan, namun nyatanya tidak. 

Darinya, aku dapat memetik satu pelajaran: Ikhlas.

Tugas kita sebagai manusia hanyalah melakukan yang terbaik. Meski balasan yang didapat tidak sesuai, hal itu tidak lantas membuat kebaikan yang kita lakukan menjadi sia-sia. Semesta tidak pernah tidur. Ketika kita melakukan yang terbaik, semesta akan memberikan yang terbaik pula.

Ketika kita memberi dengan sepenuh hati. Maka akan ada orang yang memberi kepada kita dengan sepenuh hati pula. Mungkin bukan dia yang kita berikan yang terbaik yang akan membalas, tapi orang lain. Mungkin balasannya bukan versi terbaik bagi kita, tapi ia tetap melakukan yang terbaik untuk kita.


Cr: pict


Keep on doing good, everyone. Keep on doing Good, shintia. Without expecting anything. Keep doing. Keep going. Allah will take care of you.

Teknologi dan Kontemplasi Aib

Dengan cepat aku melangkahkan kaki diantara anak tangga darurat menuju kelas yang berada di lantai 6. Mampus, hari ini telat! Entah kenapa, beberapa hari ke belakang aku seringkali merasakan sakit di bagian pundak. Dan tidur-tiduran adalah obat yang -rasanya- sangat mujarab. Tapi, aku tidak sadar diri terlalu lama dalam posisi seperti itu. Mager, beginilah jadinya....


Kelas hari jum’at pagi di semester lima ini selalu menjadi kelas yang kutunggu-tunggu. Yap. Mata kuliah komunikasi online. Walaupun telat, aku lebih memilih masuk kelas dibanding bolos. Sayang kalau terlewatkan. Materi-materi yang relatable dengan kehidupan sehari-hari, tapi jarang orang yang mengetahuinya. Berasa benar-benar dididik jadi manusia cerdas bermedia. Alhamdulillah for this chance.. Givin’ you a big thanks, Pak Deni! ;’)


Ngos-ngosan, pintu kelas kubuka pelan-pelan. Ah, sudah ada dosen. Beliau sedang duduk sembari memainkan hp nya.

“Pak..” ucapku ramah sembari menganggukkan kepala.

Beliau membalas anggukan kepalaku dengan menganggukan kepala nya juga. Kulihat jajaran bangku mahasiswa, ternyata masih banyak yang belum datang. 

Tidak selang berapa lama, beberapa temanku datang, dan perkuliahan dimulai. 

Hari ini, kami belajar tentang mengidentifikasi dan memvalidasi konten dan foto yang seringkali dipelintir oleh banyak masyarakat maya. Selain itu, yang paling seru, kami belajar untuk mempreteli akun sosial media orang-orang. Bahasa ringannya, nge-kepo-in hal-hal yang tidak terungkap di permukaan. Bahasa kasarnya, merusak privasi orang lain dan menemukan aibnya!


“Kalian jangan pakai ilmu ini buat jadi pencipta hoax atau yang jelek-jelek ya. Saya ngajarin ini buat kalian pake di kebaikan.” Ujar Pak Deni di sela-sela perkuliahan.

Satu kata yang ingin ku deskripsikan setelah kelas hari ini adalah: Ngeri.

Aib seseorang ternyata semudah itu untuk di buka.

Beberapa kali aku hanya bisa geleng-geleng saat mempelajarinya. Kalau Allah berkehendak, Kun Fayakun! Dicenderungkan hati seseorang untuk kepo tentang diri. Terbukalah semua.

Preferensi politik. Grup yang diikuti. Foto yang disukai. Foto yang diminati. Jejak komentar yang tidak diketahui orang lain. Hubungan dengan orang lain. Dan sebagainya, mudah sekali... 


Sosial media diibaratkan sebagai ruang dengan sekat yang terbuat dari kaca dan sebagai pengguna kita berada didalam sekat itu. Dimana setiap orang akan memiliki ruang masing-masing, tidak berdesakkan, dan itu membuat kita nyaman. Tapi orang lain akan dengan bebas melihat apa yang kita lakukan.


Karena ini aku menjadi bertanya-tanya. 
Berapa banyak orang yang membuka aibnya sendiri di sosial media? 
Berapa banyak orang yang terbuka aibnya melalui sosial media?


Kengerian terbukanya aib ini baru aku lihat di sosial media. Di dunia nyata, betapa lebih banyak aib yang tertutupi dan bagaimana kiranya jika aib itu dibuka?

Tiba-tiba teringat aib-aib diri. Ehm. Banyak-sekali. Mungkin, beberapa orang disekitarku menganggap aku baik. Bisa jadi, salah satu nya kamu yang sedang membaca tulisan ini. Tapi sebenarnya, jujur saja, bukan merendahkan diri, aku tidak sebaik yang kamu kira. Hanya Allah saja yang hebat sekali dalam menutup aib ku. 

Kalau saja, sekarang, aib-aib ku terbuka. Aku tidak yakin, kamu akan tetap melanjutkan membaca tulisan ku ini.

Ah, kamu bisa jadi ilfil. Atau bisa jadi, untuk mengingatku saja rasanya jijik.


"Dan sungguh, Tuhanmu benar-benar memiliki karunia (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya" - An-Naml:73


“Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat” – An-Naml:22






Tersadar, masih saja banyak kenikmatan dari Allah yang jarang sekali aku ingat, salah satunya yaitu tertutupnya aib. Tertutupnya isi hati yang seringkali kotor. Tertutupnya diri dari cerminan dosa-dosa yang telah diperbuat. 


Bodohnya, aku, sebagai manusia yang hina ini seringkali merasa tinggi, seringkali merasa sombong atau bahkan ujub. Padahal, mudah, tinggal dibuka saja aib yang selama ini Allah tutupi.. Aku mungkin sudah mabuk kepayang. 


Tidak terbayangkan. Kelak, aib-aib ini mau tidak-mau akan terbuka.. saat manusia, dibangkitkan dari kubur. Kelak, manusia akan melihat bentuk sebenarnya dari dirinya bukan pemberian. Lantas, bagaimana rupamu kelak, Sin? Bagaimana baumu? 


Dan kamu, masih banyak tidak bersyukur atas nikmat yang Allah beri sampai sekarang. Kamu masih sering lupa! Kamu, masih saja melihat aib orang lain besar dibandingkan dengan dirimu sendiri. Sin, tidak malukah kamu dengan Rabbmu?


Betapa baik Allah memberikan penampilan fisik yang tetap, tidak berubah setiap melakukan dosa. Tidak berbau karena kemunafikan.

Betapa baik Allah perubahan penampilan fisik yang normal hanyalah bertambah dewasa dan bertambah tua. Dan masih saja kamu protes atas fisik yang Allah beri. Padahal, Allah sudah menciptakan kamu dengan sebaik-baiknya.


Pikiran ku semakin melayang. Beberapa minggu yang lalu, aku mendapatkan tugas untuk menulis straight news. Dalam proses mengerjakannya, aku memutuskan untuk pergi ke pengadilan umum.

Hari itu, adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pengadilan dan aku datang sendirian. Sehingga aku mengikuti persidangan dengan khusyuk, tanpa adanya teman untuk mengobrol. Aku hanya fokus mendengarkan persidangan.


Saat sidang, satu-persatu rentetan peristiwa yang mesti dipertanggungjawabkan dibacakan. Aib-aib terbuka di depan banyak orang. Bukan saja di depan orang terdekat, tapi juga orang lain yang tidak dikenal sama sekali (banyak juga mahasiwa yang datang ke persidangan untuk belajar).

Sang tersangka hanya bisa menjawab, mengiyakan, sekali-sekali tertunduk, lesu. Ada pula, tersangka yang mengelak akan rentetan peristiwa yang dibacakan, tidak terima, merasa dibohongi. Yang mana kebenarannya? Banyak yang sulit terungkap sehingga sidang harus dipending, dan dilanjutkan dalam waktu yang lain. Kelak, manusia tidak dapat berbohong. Setiap bagian tubuh yang menjawabnya. 

Bagaimanakah kiranya aku di pengadilan Allah nanti?

Rangkaian peristiwa tertulis dengan sangat rapi, semuanya terekam, dalam persidangan yang seadil-adilnya. 

Satu pertanyaan dalam kubur saja, aku kian bertanya-tanya. “Man Robbuka?”, Allah... dapatkan aku menjawab dengan menyebut namaMu?

Ketika waktu pertanggungjawaban itu datang, apa yang akan aku jawab? 

Ketika waktu pertanggungjawaban itu menghampiri, kemanakah aku akan berlabuh dengan segala amalku?