#RamadhanJourney: Ketemu Teteh di Salman

Alhamdulillah, InsyaAllah sebentar lagi kita akan bertemu bulan Ramadhan 1440 H. Tapi tulisan tentang bulan ramadhan 1439 H kemarin belum ditulis semua hehehe. Bulan Ramadhan nya selesai kapan, masih belum selesai aja nulis ramadhan journey nya, yaAllah, Shintia.. :’) 

Yah, Sebenernya mau nulis tentang ramadhan journey gak jadi-jadi karena ada kendala nya.. *ngeles
Jadi, buku catatan pembelajaran bulan ramadhan tahun kemarin itu lupa disimpen dimana, setelah nyari kesana-kemari sampai sekarang belum ketemu juga :’) . Jadi gak begitu inget secara detail apa-apa yang mau ditulis. Tapi, tulisan yang sekarang insyaAllah menjadi salah-satu pembelajaran yang paling berkesan di Bulan Ramadhan tahun lalu, Alhamdulillah lebih diingat dibanding yang lainnya.


-

-


Hari itu, hari ke sekian Ramadhan. Sekitar pukul 9 pagi, aku memesan ojek online untuk pergi ke Masjid Salman ITB. Rencana nya hari itu aku akan mendaftar untuk ikut salah satu program Ramadhan yang telah disediakan. Namun, sesampainya disana, mungkin karena terlalu pagi. Booth pendaftaran belum dibuka.

Lantas saja aku melangkahkan kaki ke lantai 2 Masjid Salman. Di sana aku melihat beberapa akhwat yang sedang mengobrol, ada yang tertidur, pun ada yang sedang tilawah. Aku duduk di barisan paling belakang, bersandar ke dinding, menunggu booth pendaftaran dibuka. Memperkirakan mungkin selepas dzuhur booth pendaftarannya akan dibuka.

Aku mengedarkan pandangan sejenak, mengamati pemandangan yang jarang kulihat. Jarang sekali aku datang ke masjid ini, karena jarak yang cukup lumayan dari tempat tinggalku. Teringat, ITB pernah menjadi salah satu perguruan tinggi impian, namun pada akhirnya aku sama-sekali nggak memasukannya ke dalam pilihan perguruan tinggi saat seleksi masuk PTN.

Asyik mengamati, tiba-tiba saja dada ku terasa sesak, ingin menangis rasanya. Seperti yang aku sudah ceritakan di beberapa tulisan sebelumnya. Tahun lalu merupakan salah satu tahun yang –bisa di bilang- berat dalam hidupku. Rasa sedih sering datang menyeruak. Ku tengok kanan dan kiri, bagaimanapun, aku malu menangis di depan banyak orang. Tapi rasa sesak kian menggeliat, meminta untuk dikeluarkan.

Ada satu ucapan yang sangat ku ingat tentang kesedihan setelah menonton salah satu video milik Teh Ghaida dan Teh Ica (anak dari Aa Gym), bisa di tonton di sini.

“Kalau lagi sedih jangan langsung curhat kemana-mana atau ke manusia. Karena khawatirnya kita lebih  banyak curhat ke manusia daripada ke Allah. Cepet aja langsung ngaji, gak apa-apa sambil nangis juga bentuk curhat. InsyaAllah, air mata nya nanti bersaksi. Semoga ini bukan air mata sia-sia.”

Secepat mungkin aku membuka tas dan mengambil Al-Qur’an sebelum air mata ku tumpah. Bukan hanya dengan harapan air mata ku gak terbuang sia-sia. Namun, juga aku ingin mendistraksi pikiran negatif dengan Al-Qur’an. Yaa..syukur-syukur aku gak jadi nangis. hehehe

“Laa Tahzan Inallaha Ma’ana”, merupakan sebuah kalimat yang ku temukan ketika mulai membaca Al-Qur’an, pas sekali ketika rasa sedih hadir. Seakan Allah yang mengatakan, “Sin, jangan sedih terus. Allah ada sama kamu kok!”  iya Sin, ada Allah, ada Allah. Dan terus melanjutkan bacaan sehingga dada terasa menjadi lebih lapang. Alhamdulillah..

“Teh Maaf” ucap sebuah suara, seorang akhwat yang tadi sedang tertidur tidak jauh dari tempatku duduk datang menyapa.

“Iya teh, kenapa?”

“Bawa Charger enggak, teh? Boleh pinjem? Hp saya low”

“Gak bawa teh, tapi saya bawa powerbank. Ini..” Jawabku sembari mengulurkan benda kotak berwarna putih itu dari dalam tas.

Hening. Terbaca ada guratan tanda tanya pada raut mukanya.

‘Eh kenapa? Masa gatau powerbank?’ aku bertanya-tanya dalam hati.

Ia lantas mengambil powerbank tersebut, lantas bertanya. “Ini cara pakenya gimana teh?”

“Oh.. Sama aja kaya charger teh kayak gini (aku mencontohkan cara pemakaiannya), Cuma bedanya 
bisa dibawa kemana-mana aja”

“Harganya berapa ya teh?”

“Macem-macem teh, kalau beli kayaknya kisaran 100ribu ke atas”

“Oh gitu. Saya pinjem dulu ya teh.”

“Oh iya..”

Hening lagi. Beberapa menit tidak ada yang memulai pembicaraan. Aku ingin memulai pembicaraan. Tapi takut salah. Aku mendapati perasaan bahwa teteh ini nggak seperti orang pada umumnya. Dari cara nya berbicara, entah mengapa, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa selama ini beliau menjalani kehidupan yang rumit dan beliau selama ini kesepian. Beliau duduk-diam disampingku, sembari melihat hp-nya yang sedang dicharge.

Karena tidak enak terus-menerus dalam keheningan. Lantas, aku kembali membuka Al-Qur’an. Ingin mengisi kekosongan jiwa sebelum diisi kembali oleh kesedihan.

“Sebenernya... saya lagi sakit teh” Ungkap teteh itu tiba-tiba saat aku baru saja membuka Al-Qur’an.

“Iya teh?” Jawabku kaget.

“Oh, maaf.. sakit apa teh?”

“Ini” ucapnya sembari menunjuk kepala.

“Saya suka pusing.” Lanjutnya.

“Emm.... teteh udah minum obat sebelumnya teh? Teteh lagi puasa?”

Beliau mengangguk pelan. “Obatnya mahal. Saya sakit ini udah lama, syaraf saya yang kena.”

Aku terdiam. Bingung menjawab apa.


“Tapi teh, alhamdulillah setelah saya ketemu islam. Semuanya jadi lancar.”

“Gimana teh?”

“Dulu saya pernah karena sakit bagian syaraf, saya sampai lumpuh di bagian x (beliau menyebutkan 
bagian tubuhnya yang lumpuh, tapi aku lupa apa, detailnya ada di catatan yang hilang T_T)”.

“Sekarang alhamdulillah enggak. Padahal obat pas-pasan karena mahal.”

“Saya pisah sama suami sama anak” lanjutnya.

Aku terkejut. “Teteh..mahasiswa ITB?”

Ia jawab dengan menggelengkan kepala.

“Alumni ITB?”

Kembali beliau menggelengkan kepala.

Hening. Menyisakan aku yang kebingungan.

“Saya bukan dari sini teh. Umur saya 43 tahun (kalau gak salah ingat)”

“Oh???” Serius. Aku kaget bukan main. Aku mengira ia hanya berumur 3-5 tahun diatasku.

“Saya juga bukan orang Bandung. Saya dari Tasik. Pertama kali ke Bandung ikut konser-konser artis”
Aku terdiam, mode pendengar sedang diaktifkan.

“kalau di konser-konser artis gitu kan banyak minuman keras ya teh. Saya juga bajunya dulu pendek-pendek. Saya hilang arah teh, gak ngerti hidup.”

“Alhamdulillah nya, saya ketemu Pak/bu x (lupa namanya T_T), beliau baik banget. Sekarang beliau dosen di ITB. Sekarang saya tinggal di asrama Salman. Saya dikasih bacaan Islam, awalnya saya gak ngerti. Makin kesini makin belajar."

"Hidup jadi enteng, walaupun kondisi saya kayak gini. Gak punya siapa-siapa”
Aku termenung sebentar. Beliau cobaannya sulit banget ya. Aku gak seberapa, tapi nangis terus.

“Teteh gak pulang ke Tasik teh?” tanyaku.

Beliau menggelengkan kepala. “Udah dua tahun enggak.”

“Rencana nya saya mau ke DT (Daarut Tauhid) teh. Sebentar lagi kan 10 hari terakhir ramadhan, ada program i’tikaf. Pengen daftar jadi Keamanannya teh. Tahun kemarin saya juga jadi keamanan. Oh ya kalau teteh darimana?”

Aku tertunduk. Malu-yaAllah, malu! Beliau yang fisiknya sakit, dengan berbagai permasalahan yang ada di belakangnya. Semangat sekali. Jadi Keamanan? Dalam kondisi sakit? MasyaAllah... Aku? Aku sudah lama bersedih hanya karena satu –let’s say- takdir yang nggak sesuai dengan keinginan. Tapi masalahku ini sedikit sekali, dibandingkan dengan beliau. Jauh..

‘Bagaimana rasa nya kalau aku ada di posisi beliau?’

‘Kehilangan suami, anak, keluarga. Ditimpa penyakit’

“Saya juga suka ada di DT teh. Mau bareng nanti kesananya? Jam berapa?”

Belum sempat beliau menjawab. Suara adzan Dzuhur berkumandang.

“Teh, Makasih ya.” Beliau mengembalikan Powerbanku lantas pergi. Aku hanya melihatnya menjauh. Beliau keliatan terburu-buru sekali.

Setelah solat Dzuhur. Aku tersadar, bahwa nggak ada yang namanya kebetulan. Aku bahkan nggak tahu siapa nama Teteh itu. Begitu juga beliau. Nama saja gak saling tahu, tapi dengan begitu mudahnya, beliau bercerita padaku—pada orang asing. Lantas tiba-tiba saja aku teringat “Laa Tahzan, Inallaha Ma’ana”. Mungkin Allah kasihan melihat aku yang terus-menerus menangis, sehingga Allah berikan kepadaku kisah berat orang lain. Dan menyadarkanku, bahwa masih sangat banyak nikmat yang Allah beri.

Dibalik Kata Hampir

Dalam hidup, ada kalanya kejadian yang disangka akan terjadi, justru malah tidak terjadi.
Ketika sedang mengalami hal seperti itu. Seringkali kata "hampir"  terucap dari mulut.

"Padahal hampir aja menang!"
"Mereka hampir menikah tapi dari pihak perempuan tiba-tiba membatalkan tanpa kejelasan"


Atau terkadang, kata "hampir" mampir ketika merasa terselamatkan atas kejadian buruk.

"Tadi hampir aja keserempet"
"(tiba-tiba hujan besar setelah sampai rumah) Alhamdulillah udah nyampe, hampir aja kejebak hujan"

Setelah dipikir-pikir. Kata 'hampir' ternyata mengandung makna yang dalam. Ia menunjukkan sifat dasar manusia: Lemah.

Kata hampir memberi kejelasan bahwa... manusia tidak punya kekuatan apa-apa atas apa yang terjadi pada dirinya.

Kalau memang takdirnya kalah, ya kalah.
Kalau memang takdir bukan jodoh, ya batal nikah.

Kalau Allah berkehendak agar seseorang terserempet, ya terserempet.
Kalau selamat, ya selamat.

Sebegitu besarnya bencana tsunami di Selat Sunda kemarin.
Setelah tenggelam dan terombang-ambing dalam air. Kalau Allah menakdirkan selamat ya selamat. Kalau Allah menakdirkan mati ya mati.

Segala hal yang terjadi di muka bumi ini. Yang menimpa kita sebagai manusia. Yang menimpa makhluk-makhluk-Nya. Terjadi atas izin-Nya, atas keridhoan-Nya.

Kalau Allah ridho, segala sesuatu yang asalnya tidak mungkin, bisa berubah. Yang asalnya mungkin, menjadi tidak mungkin.

Pemilihan Presiden Amerika kemarin. Menggegerkan banyak orang, karena menyangka Trump tidak mungkin duduk di kursi kepresidenan. Manusia bisa  saja mengakatakan "Clincton hampir jadi pemenangnya." Tapi, kalau Allah sudah menggariskan, apa yang tidak mungkin?


Kompilasi video mengenai ke-'hampir'-an dan ketidakmungkinan:




Lantas apa yang membuat kita sebagai manusia pantas untuk membanggakan diri? Padahal skenario yang dialami terjadi atas izin-Nya. Apa yang harus disombongkan? Ketika kejadian-kejadian yang menimpa hidup tidak ada satu pun yang tidak dapat terjadi selain dengan izin-Nya?