Kok Dia Bisa Gitu Ya? Munafik atau..


Pernah gak melihat seseorang yang kamu anggap sebagai “orang yang baik”, melakukan hal-yang-sangat-burukyang gak pernah terpikirkan bahwa orang seperti dia akan melakukannya? Misalnya, seorang ustadz di suatu daerah yang ku tahu, mengadakan pengajian untuk anak-anak agar lebih mendalami Al-Qur’an, eh, tapi malah.…menghamili salah satu muridnya. Atau kejadian serupa di Boston Amerika, yang diangkat menjadi film berjudul Spotlight (harus nonton), bahwa di tahun 2002 terungkap bahwa ratusan -bahkan berbentuk jaringan- pastor di AS melecehkan anak-anak.

Atau kamu pernah mendengar hal yang lebih mengagetkan lainnya?

Maka hari ini, ingin menulis mengenai.. Kok dia bisa gitu ya? Padahal kan….

Dari sini jelas bisa disimpulkan, bahwa dunia ini nggak cuma terdiri dari warna hitam dan putih. Semua manusia memiliki warna nya sendiri. Kita kerap kali merasa bisa menilai seseorang dengan baik, tapi sering kali penilaian itu gagal.

Hal ini dijelaskan oleh Prof. Deddy Mulyana dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi. Beliau menuliskan bahwa kesalahan persepsi terhadap seseorang ini disebut sebagai Halo Effect. Merujuk kepada fakta bahwa kita membentuk kesan menyeluruh karena sifat-sifat yang menonjol dari pribadi seseorang. Bila sifat negatif yang menonjol, kita sulit mengakui bahwa ia memiliki beberapa sifat positif. Pun, sebaliknya. Dengan kata lain, kita mengelompokkan sifat-sifat seseorang secara kaku.

Maksudnya, aku beri contoh seorang-yang-sepertinya-semua-orang-kenal: Awkarin. Dengan akun Instagramnya, ia menampilkan bahwa ia adalah seorang bad girl. Banyak hujatan mendatangi nya di kolom komentar. Bahkan seringkali ia di cap sebagai bad influencer.  Nah. Sekarang pertanyaannya.. apa dia benar-benar seburuk yang dipikirkan?

Beberapa waktu yang lalu, sosok Awkarin ini pergi ke Palu membantu korban gempa. Yang kemudian, menggetarkan (yaila?) jagat internet :p. Salah satu komentar yang ku baca (dan masih teringat) dari sebuah postingan, seperti ini: Awkarin udah berubah ya. Yups! Bisa jadi dia berubah, atau bisa jadi kita yang mengelompokkan dan menggeneralisir sifatnya secara kaku. Kalau yang kita lihat bernilai buruk, maka kita mempersepsikan ia orang yang seperti itu. Padahal belum tentu. Semua orang selalu punya sisi kebaikan dan keburukan. Dan kita nggak pernah tau, sebenarnya keburukan atau kebaikan yang mendominasi dalam diri seseorang itu.

Selain menggeneralisir seseorang melalui sikap nya yang kita lihat, Prof. Deddy Mulyana juga menyatakan bahwa kita mempunyai ekpektasi sifat seseorang melalui penampilannya. Yang ganteng dan cantik mah…dinilai punya kebaikan lebih.

Contoh nya, beberapa waktu yang lalu (bahkan sampai sekarang), dunia per-kpop-an heboh dengan kasus Burning Sun. Buat yang enggak tahu apa itu Burning Sun… Burning Sun ini nama sebuah club malam di Korea Selatan. Kasus ini rame banget karena yang punya club malam ini adalah salah-satu anggota Boyband terkenal Korea, Bigbang. Kasus ini menarik.. karena ternyata di dalamnya terdapat kasus penyuapan petinggi polisi Korea, pengedaran narkoba, penjualan perempuan dengan membiusnya, bahkan merekam hubungan seksual dengan diam-diam dan menyebarkannya! Makin gila nya lagi, setelah kasus semakin didalami, yang termasuk di dalam kasus ini bukan hanya pemilik club malam Burning Sun, tapi banyak nama idol lain yang terseret dalam kasus pelecehan seksual. Ah, panjang banget kalau diceritain, bisa klik di sini aja buat penjelasan lebih lengkapnya.

Yang bikin kagetnya, yah itu idol kan mukanya ganteng-ganteng.. bukan muka kriminal lah, siapa sangka. Nah, salah satu hal yang sering kita lupa adalah semua orang ingin menunjukkan sisi terbaiknya. Selain para idol yang secara manusiawi ingin menunjukkan sisi baik dirinya, dalam dunia entertainment, pasti seseorang dibuat sedemikian rupa agar ia terlihat memiliki sikap yang baik. Yah.. bak perfect. Bahkan salah satu idol yang terlibat kasus ini yang ku tahu, suka memberi donasi uang untuk yang membutuhkan (diluar variety shows). Ketika kasus ini pertama kali muncul, banyak orang yang nggak percaya idolnya melakukan hal buruk seeprti itu. Bahkan sempat masih mensupport idolnya.

Padahal kembali lagi manusia tetaplah manusia. Dia baik, tapi pasti selalu ada keburukan didalamnya. Dia buruk, tapi pasti selalu ada kebaikan didalamnya. Karena kita manusia, bukan setan pun malaikat. Dia cantik, pasti dia punya kebaikan dan keburukan. Dia ganteng, sama! Dia punya kebaikan dan keburukan. Karena kita semua manusia, bukan iblis pun bukan malaikat.

Manusia pasti melakukan salah dan pasti melakukan kebaikan. Soal derajat siapa yang lebih baik, kita tidak pernah tau. Karena kita bukan lah penilai yang baik---yang kita nilai baik ternyata buruk, yang buruk pun sebaliknya.  Dan tugas kita di dunia ini pun bukan untuk menjadi penilai. Hihi, kita adalah makhluk yang nggak tau apa-apa, tapi sering sok tau T__T.

Manusia dengan keunikannya membawa banyak kejutan. Seorang yang terlihat ahli di bidang agama, bisa jadi menipu banyak orang. Seorang yang periang, bisa jadi melakukan tindakan bunuh diri. Seorang pencuri, bisa saja melakukan tindak pencurian karena ingin membahagiakan anaknya. Seorang yang berpenampilan sederhana, bisa jadi adalah seorang miliyader. Seorang yang pemarah, bisa jadi adalah seorang yang penyayang. Singkat kata, karena keunikan yang terdapat pada masing-masing individu kita seyogyanya berhati-hati dalam mempersepsikan seseorang, karena Halo Effect ini dapat menipu setiap orang.

Pada akhirnya, aku ingin mengutip kalimat yang sangat terngiang dari Yasmin Mogahed, bahwa manusia yang baik bukanlah manusia yang nggak pernah melakukan kesalahan (keburukan). Tapi manusia yang melakukan kesalahan, namun menyesalinya dan bertaubat, serta terus-menerus berusaha memperbaiki dirinya. 

Dan karena kita tidak pernah tahu siapa itu orangnya, sudah sepantasnya kita tidak menilai orang lain. Karena kita -sebagai manusia- tidak memiliki kapasitas dalam melihat itu.


Tentang Memantaskan Diri

Kata ‘memantaskan diri’ erat dikaitkan dengan......jodoh. Yup, memang, pernikahan itu bukanlah sebuah jenjang yang bisa dilalui dengan mudah. Akan banyak tanggung jawab besar yang dihadapi ke depannya, maka banyak yang harus dipersiapkan dan prosesnya bisa disebut sebagai proses ‘memantaskan diri’.

Aku sangat setuju dengan pemaknaan di atas. Tapi, mungkin, aku memiliki pemaknaan lain dalam memaknai kata ‘memantaskan diri’.

Menurutku, memantaskan diri dapat dimaknai secara luas. Memantaskan diri adalah proses yang harus (karena mau-tidak-mau) dilakukan oleh semua manusia dalam segala aspek kehidupan.

Ketika aku mengajar, maka aku akan mencari bahan yang akan ku sampaikan. Aku tidak bisa datang ke kelas sekedarnya tanpa adanya persiapan. Jika aku datang tanpa belajar terlebih dahulu, bisa-bisa aku salah memberikan informasi. Bisa-bisa aku menyesatkan.. aku harus memantaskan diri menjadi soerang guru dalam versi terbaik. 

Ketika aku dihadapkan dengan seorang dosen. Maka aku harus mengerti bagaimana cara nya ia mengajar, agar aku dapat dengan maksimal menyerap materi yang beliau disampaikan. Aku juga harus mempelajari karakteristik dosen tersebut, bagaimana aku dapat memiliki hubungan yang baik dengannya. Bagaimana aku bisa berkonsultasi dengannya.. aku harus memantaskan diri menjadi mahasiswa yang baik.

Ketika aku menginginkan diri untuk lulus dengan nilai baik dan dalam tempo waktu yang cepat. Maka aku harus banyak belajar..banyak membaca. Aku mesti mendisiplinkan diri.. aku memantaskan diri untuk menjadi seorang sarjana.

Ketika aku menginginkan diri untuk bekerja disuatu tempat. Maka aku harus mengikuti segala rangkaian proses penerimaan. Aku harus mempersiapkan diri terlebih dahulu.. aku memantaskan diri agar 'pantas' diterima oleh tempat dimana aku ingin bekerja.

cr: islampos.com/7291-7291/

Segala proses yang dilalui dalam hidup ini adalah proses memantaskan-diri, memantaskan diri menurutku adalah segala proses yang dilalui dalam mencapai apa yang diinginkan.

Bahkan sedari kecil sebagai manusia, kita terbiasa memantaskan diri kita untuk mencapai sesuatu.

Misalnya, ketika dulu aku ingin sama seperti orang lain, bisa bermain sepeda, maka aku harus melalui proses jatuh, menabrak dan tidak menyerah dalam melatih diri.

Dari sudut pandang ini, aku menyadari semangat memantaskan diri sebenarnya sudah ditanamkan sejak lahir dalam diri setiap insan. Konteks memantaskan-diri menurutku bukanlah hanya terbatas dalam konteks pernikahan. Tetapi dalam segala konteks-kehidupan. Sesudah menikah pun, tetap harus memantaskan diri untuk menjadi pasangan yang baik, menjadi menantu yang baik, menjadi tetangga yang baik, menjadi orangtua yang baik dan terus berlanjut dalam segala detailnya sampai kematian menjemput.

Pada akhirnya, konsep memantaskan-diri adalah konsep besar dalam kehidupan. Sebuah konsep yang dihadirkan oleh Tuhan (pasti) dengan tidak sia-sia. Menurutmu apa maksud utama dalam memantaskan-diri? Menurutku, konsep memantaskan-diri dihadirkan agar kita terus-menerus berproses menjadi pribadi yang baik agar kelak dapat kembali menemui-Nya dalam keadaan yang sebaik-baiknya.