Balada Pergi ke Psikolog

Pernah nggak sih merasa diri sendiri itu aneh? Aneh disini maksudnya merasa berbeda sendiri dibanding orang lain. Aneh banget sampai kepikiran nggak akan ada orang yang akan (bahkan mau) menerima walaupun itu orangtua sendiri. At the end, karena pikiran-pikiran bahwa orang lain nggak akan menerima, lantas diri sendirilah yang paling nggak menerima keanehan tersebut. Insecure, membenci bagian dalam diri tersebut, ingin menghapusnya tapi nggak bisa. Dan karena nggak mau kelihatan aneh. Karena ingin diterima (oleh orang lain dan diri sendiri), memalsukan diri alias menyembunyikan bagian diri itu menjadi solusi. Berlagak semua baik-baik aja.

 

Aku adalah salah satu orang yang merasa demikian. Aku introvert yang kebetulan juga pendiam. Aku seringkali menarik diri dari lingkungan karena merasa pusing dengan keramaian yang terus-menerus hadir. Aku juga bosan karena sering diprotes karena lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Padahal aku sudah sangat berusaha untuk berbicara banyak. Katanya, orang sepertiku nggak asik. Aku juga merasa punya sudut pandang yang seringkali bertabrakan dengan standar sosial. Aku punya kepribadian yang nggak seperti kata orang: dewasa, religius, bisa ini-itu. Disini, aku nggak lagi humble brag. Ini beneran. Aku juga punya trauma di masa lalu, yang sewaktu-waktu mencuat ke otak. Aku aneh, dan memang aneh.


cr: kompasiana


Kalau aku yang dulu, aku nggak bakal berani buat nulis kayak gini. Karena aku paling nggak mau terlihat lemah dan rasanya hal itu wajar (bahkan harus) di society kita. Entah kenapa, seringkali kelemahan orang dijadikan bahan gunjingan, kalau nggak digunjing society merasa berhak mengasihani orang yang nggak sempurna tersebut. Manusia rasanya sulit sekali memandang orang lain sebagai manusia yang memang serba kurang. 

 

Mungkin hal ini seperti rantai racun yang sulit putus. Karena seseorang dipaksa menjadi sempurna, ia pun memaksa orang lain untuk menjadi sempurna (dalam versi penilainya). Dan hal itu sering terpatri pada banyak orang, termasuk aku. Tapi aku yang sekarang, menerima diri yang seperti ini. Iya. Aku nggak sempurna, aku nggak hitam, dan nggak putih. Warna ku macam-macam. And that's it. People who don't know me, tell it otherwise.

 

Beberapa orang mungkin akan merespon tulisanku di atas dengan "seharusnya, manusia memang nggak memperlihatkan kelemahannya kepada manusia lain". Yas. I did that all along. Yang tahu apa yang aku alami dan bagaimana sebenarnya diri ini adalah aku dan Allah saja. Lantas, aku berpura-pura baik sepanjang jalan. Aku yang dulu nggak pernah kelihatan kacau bahkan di depan orang-orang terdekat. Aku terlihat sangat kuat dan sangat baik-baik saja. 

 

Tapi aku semakin tahu, bahwa aku menjadi toxic kepada diri ku sendiri. Toxic Positivity. Aku rapuh tapi nggak mengakui bahwa diri rapuh. Aku nggak sempurna tapi nggak mau menjadi nggak sempurna. Aku butuh Tuhanku, itu yang utama. Tapi, menjadi orang yang seakan nggak butuh orang lain, itu juga salah. Berbagi bisa menjadi salah satu hal yang meringankan beban. Tuhan ku, memberikanku teman salah satunya sebagai rahmat meringankan beban.

 

Toxic Positivity, lama-lama menjadikanku kehilangan diri. Aku menjadi orang yang nggak menerima diri sendiri apapun kondisinya. Positive vibes only itu bukan milik manusia, dear. Karena, mau mengusahakan diri untuk menjadi sesempurna apapun, orang lain akan selalu menemukan kecacatan diri. Mau nggak memperlihatkan bahkan menceritakan pun, meski nggak kelihatan di hal yang disembunyikan, kenyataannya kecacatan lainnya akan terlihat. Memang manusia makhluk bukan Tuhan yang sempurna kok. Memang manusia diciptakan banyak kurang dan lemah, nggak ada yang salah kok untuk mengakuinya. 

 

Begitu memang tuntutan banyak orang, menjadi baik-baik saja, menjadi sesuai standar yang masyarakat patok, menjadi sempurna. Padahal nggak sempurna adalah hal yang wajar. Dan hal ini lah yang ingin aku garis bawahi. Terlihat kurang itu sangat wajar, karena manusia memang makhluk yang serba kurang. It's okay not to be okay. 

 

   cr: thepsychologygroup
                                                        

Di awal tahun 2020, aku pergi ke psikolog. Karena merasa perlu bantuan. Sebelumnya, aku berpikir panjang tentang ini. Bagaimana aku akan dilihat oleh orang lain (terutama orang-orang terdekat)? Apa aku akan dilihat sebagai orang yang lemah agama, cacat mental, orang yang bermasalah dan lain-lain? Stigmatisasi yang ada ketika seseorang pergi ke psikolog lainnya pun menghantui ku. 

 

Sampai aku berada di titik berani untuk nggak memedulikan stigma. Aku nggak ngerti kenapa orang lain terus-terusan mendikte aku harus seperti apa. Aku mendengar orang lain, tapi nggak mendengarkan suara diriku sendiri. Rasanya, lelah. Yang tahu diriku, ya aku. Bukan orang lain. Aku bukan yang kalian ekspektasikan.

 

Karena memang benar. Agamaku memang belum baik. Aku juga nggak baik-baik saja secara mental. Aku juga memang bermasalah, memangnya siapa di muka bumi ini manusia yang nggak bermasalah?

 

Aku jadi teringat kalimat ini: Manusia yang menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk orang lain sering lupa bahwa empat jari lainnya menunjuk ke arahnya. 

 

Setelah melewati proses penerimaan, melabeli bahwa diri ini aneh karena segala kurang yang ku punya. Akhirnya aku mengganti label "aneh", menjadi unik. Setelah melakukan banyak sharing dengan teman-teman yang terbuka dalam permasalahan mental, akhirnya aku menjadi tahu bahwa memang manusia itu nggak ada yang sama. Sebenarnya aneh itu apa sih? Memangnya manusia sama semua? Yang kembar saja berbeda. Manusia unik dengan segala lebih dan kurangnya. 

 

Pergi ke psikolog sangat membantuku untuk berpikir lebih jernih. Satu persatu benang yang kusut, ketakutan yang tiada henti, mulai terurai. Aku nggak bisa bilang kalau aku adalah manusia yang beres secara psikologis. Tapi satu hal yang aku sangat sadari adalah aku bersyukur menyadari bahwa seperti sebaik-baiknya menjaga kesehatan fisik, kesehatan mental nggak kalah pentingnya. Dan nggak semua orang mau mengusahakan kesehatan keduanya, apalagi psikis. 


Orang lain nggak tahu apa saja yang telah aku lalui dalam hidup. Sebagaimana, aku nggak tahu apa yang orang lain lalui dalam hidup. Apa yang membuat dirinya menjadi seperti sekarang. Apa yang membuat dirinya merasa terasing. Aku nggak tahu. Tapi aku tahu rasanya, kesulitan untuk menerima diri sendiri. 

 

Tiba-tiba, aku teringat sosok artis tanah air yang terkenal salah satunya karena stigmatisasi masyarakat. Mungkin, sudah banyak yang tahu orangnya siapa. Sosok yang dikenal sebagai orang yang bermasalah, karena katanya memiliki penyakit bipolar. Aku berusaha menempatkan diri pada posisinya, dihadapkan dengan penyakit yang nggak terlihat. Untuk menerima dirinya saja, ku pikir perlu tenaga dan waktu yang ekstra. Belum berhenti di situ, ia juga harus bertahan menerima segala cacian yang dihadapkan kepadanya. 

 

Kurangnya kesadaran mengenai kesehatan mental. Menyebabkan banyak orang nggak mempunyai rasa kemanusiaan. Bukannya membantu untuk orang lain merasa lebih baik. Nampaknya, membantu melihat orang lain agar semakin jatuh lebih diminati. Sebenarnya, disini, bukannya orang-orang yang melabeli juga terlihat sebagai orang yang bermasalah?


Ah, aku juga jadi teringat sosok Sulli. Ia mengalami depresi, bunuh diri karena terdampak cyber bullying. Salah satu kalimatnya sebelum meninggal yang membuatku meringis adalah permintaannya untuk berhenti melemparkan label-label kepadanya: "Aku bukan orang jahat. Mengapa kalian berbicara buruk pada ku?". Lucunya, setelah Sulli meninggal, banyak ucapan bela sungkawa yang muncul di lini masa instagramnya. Tapi, munculnya berita Sulli meninggal karena depresi ini, nggak menyebabkan orang-orang berhenti menstigmatisasi orang lain, di dunia maya pun di dunia nyata. 

 

Yah, sosok artis tanah air dan Sulli menjadi contoh betapa pentingnya kesehatan mental. Meskipun, dalam konteks ini keduanya sudah divonis mengalami penyakit mental. Bukan berarti kita, yang nggak mendapatkan vonis tersebut lantas bebas saja tanpa adanya gangguan psikologis. Insecurity akan mampir pada kehidupan masing-masing manusia. Merasa terasing. Bahkan merasa aneh, seperti yang aku dan beberapa teman alami. Segala hal yang kita rasakan memang semestinya dirasakan dan dihadapi. Nggak apa-apa kok untuk pergi ke psikolog atau ke psikiater. Bukankah artinya kita baik karena mengusahakan diri yang terbaik? Semoga sudut pandang masyarakat perlahan-lahan berubah dalam melihat kesehatan mental. Semoga saja orang-orang yang berada di sekeliling kita juga adalah yang sadar untuk mendukung kesehatan mental tersebut. Aamiin.

Kita dan Kebiasaan Nyinyir

"Pantes aja dia lulusnya cepet, kan deket sama dosennya"

"Yaiyalah, dia kan pinter. Pantes sidang duluan"

"Dia mah ambil topiknya gampang, jadi sidang duluan"

 

 

 

Pernah mendengar kalimat-kalimat itu nggak? Um... untuk teman-teman yang mungkin belum sampai di semester akhir perkuliahan atau nggak kuliah, mungkin pernah mendengar kalimat serupa dengan konteks yang berbeda? Kalimat yang menonjolkan privilege (hak istimewa) yang dipunyai seseorang, sehingga secara nggak langsung merendahkan orang yang bersangkutan. Bahwa dia (yang punya privilege tersebut), mendapatkan pencapaian tersebut karena keberuntungannya.

 -



Hai. Selamat sore dari seorang mahasiswi semester akhir! ✋. Lumayan lama ternyata, aku nggak nulis di blog. Selama satu tahun terakhir ini, aku memang lebih fokus buat nulis di instastory. Karena di sana aku dapet banyak feedback secara langsung, biasanya via direct message. Beda sama di blog, kalau mau komentar harus log in dulu ke google. Repot kan ya?

 

 

Tapi sekarang aku nulis lagi di sini, dan inshaAllah ada keinginan untuk menulis blog secara konsisten. Karena kadang capek juga, nulis panjang di instagram. Karena harus edit fotonya, tulisannya, posisinya biar lebih enak untuk dibaca. Dan kalau tulisannya banyak, fotonya gak satu. Pegel juga, untuk nulis satu topik bisa memakan waktu lumayan lama. (sekian sesi curhatnya).

-



Jadi, aku ini kan sekarang lagi di semester akhir. Dan alhamdulillah sudah ada beberapa temenku yang lulus. Kalau aku? mohon bantu doanya ya.. InshaAllah sedang mengusahakan.

 

 

Kalimat-kalimat yang aku tulis di awal tulisan ini, rasanya bukan sebuah kalimat asing yang mampir ke telinga. Bukan setelah ada teman yang sudah sidang aja. Tbh, aku juga dulu sempat berpikiran gitu. Misalnya: 

 

 

"Pantes ya, orangtuanya kaya. Jadi sekolah di luar negeri juga gak masalah", 

"Yang dipilih yang cantik ya. Asal ada muka jadi lebih gampang ya".

 

 

Lately, aku merasa malu dengan diri sendiri yang pernah ngomong kayak gitu. I mean, bukankah ketika ada seseorang berbicara seperti itu dia hanya nggak mengakui bahwa dirinya iri karena nggak mendapatkan privilege yang sama?



Mengakui bahwa diri lagi merasakan iri itu memang nggak mudah. Tapi bisa dilatih. Bagiku, dengan lebih memperbanyak ngobrol sama diri sendiri. Mungkin bagi kamu yang lagi baca tulisan ini, beda lagi. Dan kamu harus menemukannya, cara mengontrol diri.

 


Suatu waktu, aku pernah membaca tulisan tentang emosi (kalau ketemu tulisannya akan aku screenshot/taro link di sini). Intinya, ketika kita ingin melepas sesuatu yang ada dalam diri kita: perasaan sedih, marah, iri, dsb). Jangan menolak emosi tersebut. Tapi terima dan akui. Akui pada diri sendiri perasaan itu ada. "Aku lagi iri sekarang, aku pengen berada di posisi dia. tapi aku gak bisa."

 


Setelah mengakuinya, maka lepaskan emosi tersebut. "Aku iri sekarang. Tapi iri ini bersifat sementara kok. Iri, kamu aku lepas ya.. Kamu gak baik buat aku. Bismillah". It may sounds funny, but it works on me. Memang iri, dan berbagai macam perasaan yang ada dalam hati kita itu manusiawi. Wajar dirasakan. Tapi bukan berarti karena wajar, lantas kita memeliharanya. Bukannya kita tahu bahwa perasaan itu nggak akan membuat kenyataan berubah, tapi akan terus membuat hati kita menjadi nggak damai. Mungkin, kamu bisa mencobanya? Siapa tahu, cara ini bekerja juga.

 

 

By the way, beberapa hari yang lalu aku chatting sama salah satu teman dekat ku di SMA. Kami beda universitas. Dia juga sama-sama mahasiswa akhir. Kami saling curhat mengenai permasalahan yang kami rasakan saat ini (penyusunan skripsi). Dia juga bercerita tentang temannya yang sudah sidang duluan. Ini sedikit screenshot yang ku ambil (sudah izin):



(Barangkali ada yang nggak ngerti bahasa sunda karena teks campuran)
 
 
 
Dia :Temen aku ada yang udah sidang dari juni apa juli gitu lupa. Terus beberapa mikirnya, yaiya da dia mah pinter, deket sama banyak dosen blablabla. 
Dan taunya apa coba? Dia tuh lagi sakit kan dan memang suka bolak-balik RS. 
Nah abis beres revisian, dia udah dijadwal operasi ternyata. Terus... koma seminggu. Terus pas sadar kena amnesia gitu bener-bener ilang sebagian memorinya. Cuma orang terdekat doang yang dia inget :'))))) Coba dia belum sidang terus harus operasi, atau udah sidang tapi belum revisian gimana coba.
 
 
 


Aku: Oh wow seperti sinetrooon (kaget banget baca cerita ini.....).

Dia: Aku baru percaya, oh ternyata amnesia di sinetron tuh beneran bisa terjadi yak :(

 

 


Aku: Sakit apa sih?
Dia: Katanya mah operasi kelenjar gitu, tapi gak pernah dikasih tahu detailnya apaan.
 
 
 
Dari sini kita bisa belajar. Hidup orang yang kita rasa penuh privilege. Yang membuat kita iri. Yang membuat kalimat julid terlontar dari mulut kita. Belum tentu sebaik yang kita pikirkan. Kita cuma nggak tahu, masalah apa yang dialami. Kalau nih, kita punya masalah dalam menyelesaikan skripsi. Bisa jadi seseorang yang lancar penyusunan skripsinya, (sudah, sedang, akan) punya masalah kesehatan, keluarga, finansial, atau yang lainnya yang kita nggak tahu seberapa berat masalahnya.
 
 
 

Membaca cerita ini membuatku semakin meringis. YaAllah, semoga aku bisa memperbaiki diri untuk terhindar dari rasa iri (apalagi membandingkan) privilege yang ada pada orang lain dan cenderung merasakan rasa senang jika seseorang itu punya capaian tertentu.
 
 
 
Di sini, aku nggak berbicara mengenai kita yang hidup enak sedangkan orang lain nggak. Tapi coba untuk merasa cukup dengan privilege sendiri. 



Aku tiba-tiba teringat seorang teman yang juga mengalami masalah keluarga. Aku sudah pernah menulis ini di instagram, but lemme wrote this down (again). Ibunya sakit, harus dioperasi, dengan kondisi finansial yang bisa dibilang nggak baik karena terimbas pandemi. Dia yang mendapatkan kalimat julid dari teman-temannya (enak ya kamu dosennya dapet yang baik, enak ya... enak ya...), nyatanya harus bergelut melalui kepahitan hidup yang nggak sama sekali mereka tahu.



Ketika ada satu aspek yang menurut kita lancar dalam hidup orang lain, bukan berarti nggak punya masalah dalam aspek lain. Kita sama-sama berjuang, hanya saja perjuangan kita berbeda.



Kondisi teman kuliah ku ini, mengingatkan pada sosok teman lain waktu duduk di bangku sekolah yang juga punya kondisi yang sama . Ia bergelut merawat ibu dan nenek nya yang sakit, ia juga berasal dari keluarga yang bercerai, kondisi finansial keluarganya nggak baik. Tapi, dia selalu ranking 1 di sekolah. Hebat ya? Bisa terpikirkan bagaimana ia mengatur waktunya? Oh, nggak lupa. Dia juga sering mendapatkan nyinyiran. Bagaimana ia disebut sebagai orang yang caper ke guru, dan lainnya. Padahal dia hanya berusaha memperbaiki kehidupannya agar lebih baik di masa depan.






source: https://www.hipwee.com/hiburan/meme-iri-bilang-bos/


Kenyataannya, meski dalam keadaan sulit seperti itu yang mungkin nggak terbesit di benak kita. Mereka adalah sosok-sosok yang menanamkan kebaikan dalam kesulitannya. Bukankah mengurus orangtua adalah bentuk bakti yang luar biasa. Kebaikan yang mereka tanam, dituai dari aspek kehidupan lainnya.



Memangnya kebaikan apa yang kita tanam sehingga kita bisa menuainya?
Atau jangan-jangan kita adalah manusia egois yang hanya ingin hidup enak. 
Yang memenuhi diri dengan emosi negatif, ketika orang lain sedang menanam kebaikan dalam hidupnya.


Perihal Cinta

Kita seringkali menyederhanakan perihal cinta, menjadi sekedar hubungan dengan pasangan.

Kenyataannya cinta lebih dari itu.
Cinta adalah apa yang membuat banyak orang bisa hidup. Cinta itu kuat. Membuat hal yang tidak masuk akal bagi sebagian orang menjadi masuk akal.

Ketika melihat seseorang yang mengidolakan artis, merelakan waktu-waktunya menatap ponsel untuk mendukung idolanya. Beberapa orang berpikir hal itu tidak masuk akal. Ia dianggap membuang2 waktu. Baginya, waktu itu berharga karena disalurkan pada apa yg berharga.

Ketika mendengar cerita sahabat yang rela mengorbankan nyawa demi agama. Beberapa menganggap itu kesia-siaan. Namun rasa cinta yang ada dalam hati mereka, membuat pengorbanan mereka terasa berharga.

Ketika mendengar berita mengenai penangkapam koruptor. Banyak dari kita yang mencaci maki, tidak habis pikir dengan kelakuan mereka merugikan banyak orang. Kenyataannya, Rasa cinta kepada uang, membuat mereka lupa memakan uang yang bukan haknya.

Para orang tua yang melarang anak-anaknya. Bahkan yang berlebihan. Hal itu tidak lain, karena rasa cinta kepada anaknya.

Rasa cinta erat kaitannya dengan ketakutan akan perasaan kehilangan. Kehilangan seseorang, kehilangan waktu, kehilangan uang, dan kehilangan-kehilangan lainnya.
Ketakutan akan apa yang terjadi jika merasakan kehilangan.

Cinta bisa menjelma menjadi kekuatan tertentu.
Yang terkadang menguatkan.
Terkadang melemahkan.

Kita sebagai manusia, terkadang lupa.
Bahwa apa-apa yang ada di hidup kita terkadang hanya menjadi yang sekedar lewat.
Bisa lewat dengan cepat atau lambat.

menjadi rahmat atau menjadi ujian.
terserah tergantung pengelolaan pada rasa cinta yang kita punya.

Rasa cinta adalah fitrah.
Namun juga bisa menjadi ujian terbesar yang bisa menghancurkan.

Bagian Diri



Pernah tidak bertanya pada diri sendiri tentang hal apa yang membuat diri kita merasa tidak hidup kalau sehari saja tanpa hal tersebut? Hal-hal lain selain kebutuhan dasar sebagai manusia seperti makan, minum, olahraga dan lainnya. Kebutuhan akan sesuatu yang tidak semua orang sama kebutuhannya.

Di hari karantina ke sekian pandemi covid-19 ini.
Aku menyadari ada satu kegiatan yang membuatku hidup: Menulis dengan jari sendiri. Aku tidak bisa hidup tanpa buku catatan.

Sebenarnya hal ini sudah ku sadari di bulan Juli tahun lalu tapi diingatkan lagi di karantina ini.

Saat mengontrak mata kuliah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kala itu, aku hanya berbekal baju dan buku untuk dibaca dalam kebutuhan satu bulan. Di minggu pertama mengikuti KKN merupakan waktu-waktu adaptasi dengan lingkungan dan teman baru. Aku tidak merasakan ada keanehan dalam diri yang tidak menulis. Masuk minggu ke-dua, aku tiba-tiba merasa hampa. Aku merasa malas menjalani hari. Aku bertanya-tanya apa yang hilang dalam diri tapi tidak kutemukan. Sampai akhirnya,

"Ada yang mau nitip? Aku mau ke alfamart." Tawar seorang teman satu hari.

Mendengar tawaran itu, aku lantas memintanya membeli buku catatan kecil beserta pulpen. Aku tidak tahu kenapa, yang terpikirkan di otakku adalah aku ingin menulis.

Uniknya, setelah menulis. Rasa hampa itu hilang, lebaynya, aku merasa hidup kembali.
Hal ini juga terjadi beberapa waktu yg lalu.
Ceritanya, aku mencoba melepaskan diri dari aktivitas menulis. Mumpung sedang dalam karantina. Lagipula, buku catatanku tertinggal di kosan, sedangkan aku sudah di rumah.

Hasilnya, berantakan. Hidup jadi tidak terarah. Meski sudah meniatkan dalam hati, kegiatan-kegiatan yang direncanakan tidak terlaksana kalau tidak ditulis di buku catatan. Aku sudah mencoba menulis di catatan yang ada di hp, bahkan saling berkoordinasi mengirimkan list kegiatan dengan seorang teman. Tapi ternyata tidak berhasil. Selain itu, isi otak juga terasa penuh, karena tidak dicurahkan lewat tulisan (aku biasanya menumpahkan apa isi hatiku dengan menulis).

Sebenarnya ketika aku menyebut menulis, bukan berarti aku menulis cerpen atau hal-hal yang 'wah'.
Aku menulis apapun: curhat, kontemplasi, rencana kegiatan, ide, bahkan dulu waktu sekolah selalu menulis rangkuman, kalau tidak, biasanya aku menulis ulang apa yang dipelajari di hari itu. Kalau tidak menulis, aku tidak akan paham. Kalau menulis, aku akan lebih paham.

Aku baru menyadari ternyata sudah sebegitu dalamnya bersandar dalam aktivitas menulis. Aku mulai rajin menulis sedari SD, menulis cerpen dan curhatan dengan awalan seperti anak perempuan pada umumnya "dear diary". Hanya saja dulu, aku tidak seberani ini untuk mempublish beberapa tulisanku. 

Jangan salah sangka. Aku tidak pintar nulis. Well, aku harap bukan tidak tapi belum.
Hanya, dengan melakukannya aku menjadi lebih terarah.

Tulisan yang ku buat sering sekali terdapat banyak salah tulis, banyak salah diksi, dsb.
Banyak sekali orang-orang di luar sana, yang bisa menulis lebih baik.

Sejujurnya, sekilas, sebelum menulis catatan ini aku terpikir "wah shin kamu sombong banget bilang gak bisa hidup tanpa menulis" hahaha. 
Rasanya malu, ada yg lebih pantas untuk berkata seperti itu. Orang-orang yang memang dikenal sebagai penulis. Yang biasa berbagi tulisannya.

Tapi, kini aku tahu, aku tidak perlu menjadi "siapa" dulu, untuk melakukan sesuatu.
Meski banyak di luar sana orang yang lebih pantas untuk mengatakannya, tapi ini juga fakta dari diriku sendiri. Bagian dari diriku yang baru kutemukan dalam usaha mengenal diri sendiri.

Karena pada akhirnya, aku tidak butuh orang lain menerima tulisanku, meski aku akan sangat bersyukur jika ia membaca bahkan menerimanya. Lebih dari itu, menulis membantuku untuk hidup. Ia menyembuhkanku. Ia menyemangatiku. Hanya itu.

Lantas, bagaimana denganmu? hal apa yang membuatmu menjadi hidup?

Perempuan

Perempuan suka pujian.

Perempuan suka dicintai.

Tapi hal itu yang membuat perempuan sering lupa, ia dilahirkan di dunia ini bukan untuk kesia-siaan.

Ia dilahirkan ke dunia untuk memilih perannya.

Menjadi fitnah.

Atau menjadi fitrah

Puisi-Puisi Choi, Jun:Eloknya Bumi Pertiwi

Oleh: Ayip Sepudin



Pukul empat sore, danau di pusat kota
mulai gelap oleh bayangan pohon
Sebelum matahari terbenam
pohon-pohon terlebih dulu menunjukkan
bayangan matahari
(Choi, Jun, “Tato di Udara”)

Penggambaran suasana yang detail akan suatu tempat berhasil ditulisakan oleh salah satu penyair ternama Korea masa kini, Choi, Jun. Dalam bukunya yang berjudul “Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa” yang diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah ini berhasil menciptakan gambaran bumi pertiwi yang elok. Banyak penyair-penyair tanah air yang tidak menggunakan diksi seperti pisang, papaya, orang utan, bahkan nama-nama kota dalam setiap judul puisinya. Akan tetapi, bagi Choi, Jun diksi tersebut menjadi sangat indah jika dituangkan ke dalam puisi. Dalam 61 sajaknya ini, penyair sangat apik menceritakan dengan sangat detail peristiwa yang diamati serta dijalaninya selama lima tahun berada di Indonesia.

Buku kumpulan sajak Orang Suci, Pohon Kelapa ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2019 ini mempunyai sampul yang sejuk dipandang. Dengan dominasi warna putih sebagai warna utamanya ditambah nuansa daun berwarna hijau tua dan hijau muda menjadikan buku tersebut menjadi lebih elok jika berlama-lama dipandang. Burung disamping judul pada buku tersebut memberikan simbol bahwa cuitan yang ditulis oleh penyair tetang pengalaman selama berada di Indonesia semuanya tertuang di dalam buku tersebut.

Penyair kelahiran 1963  kota Jeongseon, Provinsi Gangwon, Korea ini banyak menyoroti alam Indonesia, baik flora dan fauna, aktivitas masyarakat, dan lain-lain. Berikut ini akan dipaparkan beberapa puisi Choi, Jun yang menggambarkan keelokan Bumi Pertiwi. Salah satunya adalah pada puisi berjudul Sketsa Terakhir Tentang Pisang. Puisi tersebut menggambarkan tentang ciri fisik pohon pisang beserta kehidupannya. Penyair memilih pohon pisang sebagai objek tulisannya mungkin dikarenakan di Negara asalnya (Korea) tidak ada pohon pisang. Oleh karena itu penyair dengan sangat rinci berhasil menuliskan sketsa tentang pisang. Seperti dalam kutipan berikut: 

Dia bukan pohon
Seumur hidup hanya mekar sekali
Dia adalah rumput tanpa tulang dan otot
Hidupnya tidak berulang
Saat angina bertiup, saat itu tubuhnya berguncang

Dalam penggalan puisi di atas terasa bahwa penyair kagum dan terpesona kepada pohon pisang. Beliau berimajinasi jika pohon pisang tersebut adalah orang yang jarang dipandang atau dikagumi banyak orang, akan tetapi mempunyai peran penting dalam kehidupan. 

Pohon pisang yang dianggap bukan pohon tersebut terkesan diremehkan karena tidak mempunyai batang kayu layaknya pohon pada umumnya. Dianggap lemah karena tak bertulang dan berotot, sehingga lebih menyerupai rumput daripada pohon. Akan tetapi, meski pohon pisang hidupnya tidak berulang dan hanya sekali setelah berbuah, bisa menghasilkan buah yang manis serta tunas yang banyak. Mati satu tumbuh seribu.

Selain pohon pisang, hal lain yang dituliskan oleh Choi, Jun yang hanya bisa beliau temui di Indonesia adalah Bali dan Borobudur, Keduanya berjudul Cara Bertamasya di Bali dengan Sedap dan Candi Borobudur. Sajak pertama menceritakan tentang kisah pertemuannya dengan bali. Banyak rencana yang sebenarnya tidak perlu repot-repot kita susun ketika hendak berlibur ke Bali, hanya cukup berimajinasi. Karena di Bali semua yang dibutuhkan ada, sekali pun baru pertama kali mengunjunginya. Penyair dengan sangat detail menggambarkan kehidupan dan kondisi alam di pulau Bali. Salah satunya adalah pada kutipan “tidak usah khawatir, orang-orang yang akan kau temui di jalan senasib denganmu, begitu turun dari pesawat, kau akan menemukan Denpasar, hotel, dan sewalah sepeda motor”.

Selain Bali, candi Borobudur juga termasuk dalam salah satu dari 61 sajak yang penyair tulis selama berada di Indonesia selama lima tahun (2000-2005). Puisi tersebut menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh patung Budha selama erupsi gunung merapi. Banyak kisah pilu dalam sejarah keberadaan candi Borobudur tersebut. Turis yang berkunjung hanya menyuarakan kegembiraannya karena berada di salah satu keajaiban dunia tanpa memperdulikan betapa ajaibnya patung Budha tersebut yang masih hidup meski tanpa memiliki kepala.

Sajak-sajak di atas pada umumnya merupakan sajak lirik, namun bukan hanya untuk mengungkapkan perasaan, tapi juga kritik yang memberi penyadaran kepada setiap aspek yang ada pada negeri ini. Seperti halnya keindahan Bali yang banyak diceritakan orang-orang kepada dunia, tetap saja Bali adalah Indonesia, dan tetap mempunyai kriminalitas, polisi, serta pegawainegeri yang suka korupsi. Kemudian tentang Candi Borobudur yang jika tidak bisa sama-sama kita jaga maka keagungannya lambat laun akan hilang, seperti mencoret-coret dinding candi, berswafoto pada candi yang sedang dalam tahap renovasi, atau yang sering dilakukan orang-orang pada umumnya yaitu membuang sampah sembrangan.

Buku puisi yang ditulis oleh Choi, Jun sangat membuka wawasan bagi seseorang yang gemar menulis. Bagaimana tidak, banyak puisi-puisi yang beliau tuliskan dengan  mencampurkan dua budaya yang berbeda Korea dan Indonesia. Konsistensi penyair dalam menulis ini yang patut untuk diapresiasi. Karena seperti penyair pada umumnya tidak mungkin membiarkan segala sesuatunya berlalu tanpa dituliskan, baik sebagai arsip, maupun pengingat. Maka sudah sewajarnya kita meniru konsistensi Choi, Jun ini. Seperti yang disamoaikan oleh Pramudya Ananta Toer:
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari”.

Berhenti Menulis

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat ingin berhenti menulis.

Tidak lagi menulis di blog, di wattpad, maupun di instagram. 

Rasanya malu sekali membayangkan tulisanku di baca orang lain melalui gadget nya. Rasanya sangat tidak pantas bagiku menumpahkan isi kepala yang kadang menjadi ujian bagiku: aku tidak sebaik yang kamu bayangkan dari tulisan-tulisanku.

Untuk beberapa orang, aku disanjung-sanjung, katanya betapa dewasanya cara berpikirku. Katanya, aku memiliki sudut pandang lain dalam melihat sebuah perkara.
Untuk sebagian orang lainnya, aku terlihat seperti orang yang hidup secara membosankan--terlalu serius. Katanya, tidak asyik jika berteman denganku.

"Kamu yakin mau terus nulis di social media? rawan lho. Nanti kalau ada yang gak suka kamu gimana?" tanya seorang teman, berkali-kali yang membuatku terus bertanya pada diriku sendiri. Siapa sih manusia di bumi ini yang ingin tidak disukai?


-
Suatu waktu, aku melihat ke sekelilingku. Banyak sekali orang-orang yang suka menulis, dan mereka menulis dengan baik. Tidak sepertiku yang hanya bisa sampai sini. 

Aku sempat berada di posisi di mana aku bertanya-tanya mengenai bagaimana pendapat mereka jika melihat tulisanku? 
Betapa 'sok' nya aku menulis di berbagai platform, bukan?

Mungkin di masa itu, aku sedang dalam proses mengenal diri. Aku tidak tahu arahku hingga aku lebih memperdulikan pendapat orang lain dibandingkan melangkahkan kaki ku.

-

Keinginan untuk berhenti itu, sempat semakin mantap. 
Ya. untuk apa aku menulis dan mempublish nya di internet.
jika aku menulis dan menyimpannya sendiri, sepertinya tidak ada salahnya. 

Dalam kebingungan itu. Handphone ku tiba-tiba bergetar.

"Shin, makasih ya udah nulis" tulis temanku di direct message instagram.
Aku terdiam ketika membacanya, kenapa harus berterimakasih? Bukannya aku yang harusnya berterimakasih karena dia sudah repot-repot mau membaca tulisanku yang sebegininya?

"Makasih ya Shin. jadi reminder. Boleh aku repost?" tulis teman yang lainnya. 
"Oh iyaa boleh, makasih kembali yaa" jawabku, kemudian kembali terdiam... 
Apa ini? Perasaan apa ini?

Hatiku menghangat. 
Aku ingin menulis lagi...

Pikiranku melayang, ke hari-hari di mana aku menulis secara diam-diam di platform tumblr. Waktu itu, kelas 1 SMA: Tidak apa-apa, tidak di baca oleh orang lain. Aku hanya ingin mengutarakan perasaan-perasaan yang ku rasakan di tempat yang bisa aku kunjungi setiap saat. Tulisan-tulisan itu semakin hari, semakin banyak. Tapi suatu hari aku nekat menghapus semuanya. Ada ketakutan, barangkali akan ada yang membacanya. Aku malu.

Malu jika tulisanku di baca oleh orang lain. Orang lain akan menyangka aku orang seperti A, B, C, D. Merangkai ekspektasinya sesuai dengan apa yang aku tulis.
Aku juga merasa tidak pantas untuk menulis, karena aku sadar benar kapasitasku.
Tapi aku tidak bisa mengelak. menulis menciptakan kebahagiaan tersendiri.
Mungkin karena aku bisa mengekspresikan apa yang ku rasa. 
Aku lebih lancar berbicara melalui tulisan dibandingkan dengan lisan. 

Tapi aku selalu takut, pandangan orang lain atasku. Aku selalu risau dengan penilaian orang. Lantas bagaimana caranya perasaan itu tersampaikan?

Aku kemudian tersadar, aku kembali ke titik itu ternyata. Titik dimana aku tidak percaya akan diriku sendiri. Di mana aku lebih mementingkan apa yang orang lain pikirkan dibandingkan keinginanku sendiri.


-
Aku bertanya pada diriku sendiri:
"kenapa kamu menulis?"
"karena senang, karena dengan menulis aku merasa memiliki teman"
"Lantas, kenapa kamu memostingnya di sosial media Shin?"
"Kamu lupa?, katamu kamu ingin memiliki bekal kematian"

-
Bulan oktober kemarin, aku mengikuti salah satu kelas dari makna akshara (sebuah komunitas yang mengusung diskusi psikologi) mengenai penyembuhan luka.

Pemateri kelas hari itu adalah seseorang yang pernah di bully, bukan hanya dibully di sekolah tapi juga di rumahnya. Ia bercerita, bahkan pernah berpikir bahwa mungkin ia lebih baik mati dibandingkan hidup. Ia merasa tidak diinginkan.

Kamu tahu apa yang menyelamatkannya? Tulisan. 
Ia suka membaca majalah gadis.
Tulisan yang bahkan tidak terkoneksi atas apa yang ia rasakan, tapi itu membuatnya memiliki harapan untuk hidup.
Ia merasa memiliki teman.

Sejak itu, ia ingin bekerja di perusahaan majalah tersebut. Memiliki keinginan sampai berani untuk mengikuti rangkaian tes jurnalistik meski tidak memiliki latar belakang yang memadai, namun akhirnya ia terpilih menjadi salah satu penulis di sana. 
Menurutnya, mungkin di luar sana, ada orang-orang yang juga membutuhkan bantuannya melalui tulisan. Sebagaimana ia membutuhkannya. 

Setelah mengikuti kelas itu, aku sedikit berkontemplasi. Aku terkikik geli melihat diri yang ternyata menomorutamakan pendapat orang lain atas apa yang aku lakukan. 
Aku tidak harus disukai semua orang untuk melakukan sesuatu. Karena aku tidak bisa disukai oleh semua orang, akan selalu ada orang yang tidak menyukaiku. 
Yang menjadi PR adalah apakah yang aku lakukan benar atau tidak. Positif atau negatif.
Barangkali, tulisan yang tidak seberapa itu bisa membantu orang lain.

Selebihnya, biarkan pandangan orang menjadi angin lalu. Karena bisa jadi, apa yang kuupayakan dapat menyelamatkan seseorang.

-
Shintia, mungkin suatu hari, di masa depan, kamu akan merasakan yang sama. 
Dan aku harap kamu membaca ini. Sebagai pengingat mengapa kamu berani untuk memulai, berani untuk keluar dari zona nyamanmu dan berusaha mempertahankannya sampai sekarang. 
Teruslah melakukan apa yang ingin kamu lakukan selagi itu baik dan tidak bertentangan dengan nilai dan agamamu. 

Jika kemarin, teman-teman mu yang mengucapkan terimakasih atas tulisanmu yang tidak seberapa itu. Sekarang, aku yang berterimakasih. Karena sudah berani untuk menunjukkan apa yang kamu suka. Kamu harus tahu shin, aku baru saja membaca tulisan-tulisanmu yang telah lalu. Kamu ternyata berkembang, dan kamu bahkan menjadi pengingat bagi dirimu sendiri. Bahkan di setiap tulisan, terdapat kenangannya tersendiri. 
Terimakasih ya. Jangan menyerah hanya karena kata orang lain, ya. :)