Tentang Kehilangan

Hidup ini seperti roda berputar.
Kadang di atas dan kadang di bawah.
Tapi.. siapa sih yang mau berada di bawah?
Siapa yang mau memiliki kehidupan yang sulit?
Siapa yang mau berhadapan dengan sesuatu yang menyesakkan hati?
Sulit memang.
Tapi sebagai manusia, mau tidak mau kita harus merasakannya.

Hal yang paling menyesakkan dalam hidup versi-ku adalah kehilangan. 

Entah kehilangan sahabat yang pergi dan sulit berjumpa karena kondisi yang mengharuskan.
Entah kehilangan orangtua yang selama ini selalu ada.
Entah kehilangan seseorang yang telah lama bersemayam di hati.
Entah kehilangan teman-teman yang selama ini selalu memberi support.
Entah kehilangan pekerjaan.
Entah kehilangan posisi yang selama ini dipertahankan.
Entah kehilangan benda yang selama ini mati-matian untuk mendapatkannya.

sumber: medium.com/@gamaisitb

-


Aku pertama kali merasakan kehilangan ketika menginjak bangku kelas 3 SD.
Hari itu aku tidak diperbolehkan untuk bermain dengan pamanku.
Usianya masih muda.
Biasanya sepulang sekolah aku datang ke rumahnya.
Untuk bercengkrama dengannya.
Mengasyikan.
Meski aku tahu ia sedang sakit dan telah berkali-kali menjalani operasi.
Aku yakin ia akan sembuh.
Hari itu mama menangis tersedu.
Kehilangan seorang adik untuk selama-lamanya.
Aku tidak begitu mengeti.
Yang ku tau aku tidak akan bisa lagi melihatnya.
Ia tidak dapat lagi bercengkrama denganku..


-

Menginjak bangku kelas 5 SD.
Ada sebuah rasa yang begitu kelabu.
Teman dekatku harus pindah sekolah ke Jakarta.
Begitu jauh untuk dijangkau.
Hari itu aku menangis.
Menangis sambil memeluknya.
Berharap kami tetap menjadi kami di hari itu.
Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain.
Meski awalnya kami intens berkomunikasi.
Kini kami menjadi dua insan yang asing.


-

Di bangku kelas 6 SD.
Aku kehilangan guruku.
Sosok yang kutempatkan dalam hati seperti ayah.
Beliau harus pindah ke Bangka Belitung.
Tanpa adanya sebuah kata pamit.
Beliau pergiBegitu saja.

-

Tidak lama dari itu.
Aku kehilangan sobat baruku.
Sosok perempuan kuat.
Yang juga mengalami kehilangan di usia belia.
Kehilangan seorang ayah.

-

Semakin tumbuh besar.
Diri ini semakin banyak merasakan kehilangan.

Pernah aku bertanya pada diri.
"Mengapa aku harus merasakan kehilangan?"
"Mengapa harus datang jika akhirnya pergi?"

Pertanyaan itu kian menggantung bertahun-tahun.
Tidak ada jawaban yang ku dapat.
Namun duka yang datang dari sebuah perpisahan kian bertambah.

Kenapa aku yang selalu ditinggalkan?
Kenapa bukan aku saja yang pergi?

Duka mengajarkan arti keikhlasan.
Namun..
Sampai kapan aku harus terus melulu merelakan? 

Pertanyaan-pertanyaan kian berkecamuk.
Tidak satu pun orang yang memberitahuku jawabannya.
Sampai akhirnya aku menyadari.
Bahwa aku harus selalu merasakan kehilangan.
Aku harus selalu merasakan luka.

"Karena hidup adalah  proses melewati yang namanya kehilangan dan juga mendapatkan"- Dewi Sandra.

Sempat terpikir betapa menyedihkannya hidup ini.
Sendirian.
Tidak ada yang menetap selamanya.

Kemudian aku lebih memperhatikan diriku.
Detail-detail yang jarang kuperhatikan.

Seiring perginya sesuatu,
Ternyata Tuhan memberikan lagi sesuatu.
Yang lebih baik, meski bukan yang kita inginkan.
Yang lebih baik, namun apa yang kita butuhkan.
Porsinya pas.

Ketika aku kehilangan pijakan hidup.
Datang seseorang yang jauh dari pandangan
Seseorang yang bahkan tidak pernah terpikirkan.
Memegangku erat.
Menyadarkan untuk kembali kepada Rabb-ku.
Untuk kembali lagi berpijak.

Ketika aku kehilangan sosok dalam hidupku.
Datang sahabat-sahabat baru.
Keluarga baru.
Yang merangkulku.
Mengembalikan senyum yang sempat hilang.

Ketika aku kehilangan posisi.
Ketika orang tidak lagi memperlakukanku dengan sama.
Datang sebuah posisi baru.
Datang orang-orang yang memperlakukanku dengan lebih baik.

-

-

Aku seringkali hanya berfokus kepada sakit nya kehilangan.

Seringkali sibuk dengan keluhan.

Tapi tidak sadar atas nikmat-Nya yang tidak terbayarkan.

Datang terus-menerus

Pintu melegakan hati satu persatu dibuka.

Kenikmatan yang seharusnya lebih disadari.

-

-

Aku tidak bisa memberhentikan luka agar berhenti datang.
Kehilangan akan terus-menerus ada.
Selama aku masih hidup.

Ketika aku merenungi ini.
Akhirnya aku mendapatkan sesuatu yang selama ini kulupakan.

"Innalilahi wa Innailahi Rojiun"

Aku telah mempertanyakan mengenai kehilangan.
Nyatanya dari awal aku terlahir bumi ini,
Aku tidak memiliki apapun.
Aku bukanlah siapa-siapa.
Semua hal tentang ku. Tubuhku. Mataku. Hidungku. Bukan milikku.

Semua ini titipan.
Namun aku merasa kehilangan.
Merasa sesuatu adalah milik sendiri.
Padahal bukan.

Wa Innailahi rojiun - Dan hanya kepada-Nya lah kita akan kembali.

Begitu juga dengan hal-hal yang datang dalam hidup.
Apapun itu hanya mampir untuk memberi hikmah.
Untuk memberi pelajaran.
Untuk meningkatkan kualitas diri
Menyiapkan diri untuk bertemu sang Pemilik Diri.

Sesuatu datang karena dengan datangnya hal itu telah merubah keadaan diri.
Sesuatu pergi karena memang sebesar itu batas waktu yang Ia berikan pada diri.
Dan aku tidak bisa memaksa nya untuk tetap tinggal.
Aku tidak memiliki kuasa apapun.

Memang menyedihkan.
Murung.
Apalagi jika ditambah tiba-tiba ada masalah baru yang datang
Seakan tidak tahu diri bahwa jiwa ini sedang bersedih.

Rasanya seperti tidak adil.
Tapi nyatanya hidup ini begitu adil..

Kembali..


"Innalilahi wa Innailahi Rojiun"

Apapun itu hal yang menyedihkan, masalah tidak ada yang permanen.
Hanya kepada-Nyalah segala sesuatu akan kembali.
Kembalikan pada-Nya.


Di Bumi ini aku hanyalah seorang perantau.
Yang akan kembali ke singgasana akhir setelah kematian menjemput.

Mungkin hari ini aku "Ada".
Tapi mungkin tidak berapa lama dari sekarang,
Aku akan menjadi tiada.

Luka yang hadir karena kehilangan.
Akan mendewasakan.
Akan memberikan nikmat baru yang tidak pernah dikira.
Yang darimana asalnya aku tidak mengerti.


Justru aku seharusnya sedih.
Jika Tuhan tidak memberikanku luka.
Aku tidak akan belajar,
Aku tidak akan memperbaiki diriku.
Aku tidak akan bersiap untuk bertemu dengan-Nya,

Kini, jika melihat ke belakang.
Aku bersyukur.
Aku tidak akan menjadi seperti sekarang jika tidak melewati masa-masa itu.
Aku tidak akan menjadi seperti sekarang jika tidak bertemu mereka.
Segala yang datang, menempa diri untuk menjadi lebih matang. 

Terimakasih telah hadir dalam hidupku...

Terimakasih telah mengajarkan pelajaran-pelajaran yang tak ternilai..

Terimakasih Allah..
Telah mengujiku dengan berbagai perasaan.



Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘innalillahi wa innaailahi raaji’uun.‘”(QS. Al-Baqarah: 156)

Ketika Anda berhak mendapatkan sesuatu, namun Anda tidak mendapatkannya, Anda akan marah. Tetapi pada ayat “Innalillahi” Anda menyatakan bahwa “Saya tidak berhak akan apapun. Saya milik Allah. Allah yang berhak, saya tidak berhak apapun. Dan itu mempermudah semuanya. Apapun yang kamu dapatkan di kehidupan ini adalah “pemberian”. Bukan sesuatu yang memang harus kamu dapatkan. Jadi ketika sesuatu tidak kamu dapatkan, kamu tahu bahwa pada dasarnya itu memang bukan milik kamu. Bukan milik kamu.- Nouman Ali Khan

Ramadhan Journey: Bermunajat Bersama di Musyawarah Mahasiswa

Hari itu, merupakan hari pertama musyawarah mahasiswa (mumas) himpunan jurusan ku. Setelah beberapa waktu berkutat dengan Lembar Pertanggung Jawaban akhirnya hari itu tiba. 

Mumas sendiri dimulai sejak pukul sepuluh, tapi aku belum juga mendapatkan giliran untuk maju ke depan untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kulalui sebagai sekretaris umum selama satu periode, padahal hari sudah petang. Sembari deg-degan menunggu giliran untuk maju, aku membuka buku kecil berwarna kuning dari tas.

"Itu apa Shin?" Tanya seorang yang duduk di sebelahku tiba-tiba.

"Oh.. Ini Al-Matsurat, doa-doa nya Rasulullah, Mey.."

Meyuni merupakan teman satu jurusanku. Kami memang tidak terlalu sering mengobrol karena kami berada di kelas yang berbeda (jadwal pun berbeda). Namun, ia pun aktif di himpunan dan menjabat di bidang penalaran dan keilmuan. Ia memang non-islam, beragama Budha. Jadi pantas saja dia tidak mengetahui buku ini.

"Ooh.." responnya.

"Aku juga mau ikutan ah!" Lanjutnya cepat membuatku terkejut.

Ia lantas merogoh sebuah buku dari tasnya, sama-sama berwarna kuning meski warnanya tidak secerah warna bukuku, namun ukurannya lebih besar dari buku yang ku pegang. Tertulis "Sadhana Maha Welas Asih Avalokitesvara Sebelas Muka Seribu Tangan" di bagian paling depan buku tersebut.



"Itu apa Mey?" Kini giliranku yang bertanya.

"Sama. Ini buku doa-doaku"

Tidak lama.. Lantas kami berdua tenggelam dalam buku masing-masing selama beberapa menit. Bermunajat-bersama. Di tempat yang sama, ruangan mumas. Bahkan bersebelahan. Pada Tuhan yang berbeda. 

Dalam hati, aku begitu bersyukur atas respon yang ia berikan padaku. Respon yang begitu tidak biasa kuterima. Ku kira ia akan lantas beralih fokus hanya untuk menanyakan apa isi buku ini. Alih-alih hal itu malah mendonggak semangat-nya untuk bermunajat juga.

Fastabiqul Khairat, berlomba-lomba dalam kebaikan. Tidak mesti melulu satu agama.. Sama-sama mengejar kebaikan meski mungkin akhirat yang kami percayai, berbeda.

Setelah kami berdua selesai dengan buku masing-masing. Akhirnya, kami sedikit berbincang perihal agama masing-masing.

"Mey, menurut kamu.. pernah gak kamu mikir orang islam itu beribadah berlebihan?"

Aku menanyakan ini, karena selama ini sering mendengar banyak opini bahwa orang yang berislam itu biasanya berlebihan dalam beribadah: Entah dari pakaian, atau dari amalan yang ia lakukan dalam keseharian."Biasa aja deh, yang kayak gitu biasanya malah jadi sesat, jadi sok alim, jadi teroris.", seakan dengan berislam justru mendekatkan kepada hal-hal negatif.

"Enggak" Jawabnya yakin.

"Justru aku lebih menghargai orang islam yang lebih mengaplikasikan keislamannya dalam kehidupannya."

"Kenapa?"

"Aku kagum mereka memegang erat nilai-nilai yang dipercayai dari Tuhannya."

"Malah, aku kagum sama temen satu tempat tinggalku. Bangun dini hari, lagi ngantuk-ngantuknya padahal jam segitu, cuma buat solat, bermunajat sama Tuhannya. Itu kan gak gampang." lanjutnya.

Aku mengangguk-ngangguk. Opini dari seseorang yang berbeda agama nya memang jarang sekali ku dapatkan.

"Kalau soal orang-orang yang solat tepat waktu nya, kayak udah adzan gak lama langsung solat, pandangan kamu gimana Mey?" Tanyaku menyindir diriku sendiri, aku kerap kali melalai-lalaikan urusan ibadah yang satu ini :(. Masih banyak ini waktunya... selesaiin urusan yang ini dulu. atau orang lain juga belum solat nanti kalo solat duluan disangka gimana lagi. Malu. Aku memang payah. Mikirin yang beginian. Cu.puk. Harusnya sih malu nya sama Allah, Shin. :'

"Kenapa? Kan gak ada yang salah? Ya solat dulu aja." ucapnya enteng menusuk qolbu :')

"Kalau soal yang cadar, Mey? Kamu takut? Kan banyak stereotype yang gak enak soal cadar." Kebetulan mumas dilaksanakan dekat dengan peristiwa rentetan bom oleh terorisme. Dan di media memang sedang up mengenai cadar. Pun ada video yang ku tonton perempuan bercadar tifak diperbolehkan menaiki angkutan umum karena masyarakat merasa takut.

"Enggak, kenapa Shin? Biasa aja" jawabnya ringan.

Lantas kami larut dalam perbincangan kami (Sorry Mumas:'D). Melanjutkan perbincangan mengenal agama masing-masing.

"Point of Order!" Ucap salah satu teman yang duduk lebih depan beberapa kursi tidak jauh dariku mengacungkan jari.

"Pesiapan buka puasa sebentar lagi, sekalian solat. sampai setengah tujuh" lanjutnya pada presidium, lantas disetujui oleh peserta sidang.

Dan pembicaraan kami hari itu berakhir disitu. Sebuah perpektif mengenai keislaman dari sudut pandang non islam. mengenai penghargaan. yang kujadikan sebuah intropeksi diri. sebuah intropeksi bagi opini-opini yang selama ini aku dengar. bagi kaum islam sendiri yang sering menganggap aneh islam. padahal bukan melakukan sebuah dosa.

Setelah menikmati menu berbuka. Pikiran ku melayang, teringat hari-hari dimana aku baru mengenal Meyuni. Dua tahun yang lalu. Ketika sedang menjalani ospek jurusan tahap dua: public relation. Di ospek tahap ini kami diharuskan tampil menarik, menggunakan make up, gel rambut bagi laki-laki, baju rapih, heels dan sepatu pantofel.

kala itu, selepas menunaikan solat Maghrib aku duduk di salah satu tempat yang disediakan oleh panitia. Kebetulan saat itu orang yang duduk di sebelahku adalah Meyuni.

"Kalian enak ya, Shin." ucapnya tiba-tiba

"Apa Mey?"

"Iya solat 5x sehari. Seger. Apalagi ada kegiatan kayak gini. Kalo aku kan enggak.."

Ucapannya berhasil membuatku merenung, ketika banyak (khususnya kaum hawa) yang malas untuk menunaikan solat karena malas touch up make up karena terhapus air wudhu, ia malah melihatnya dari sisi lain, enak, katanya. Ketika banyak alasan umat muslim tidak melaksanakan solat dengan beribu alasanya, ada non-muslim yang memandang solat itu justru sesuatu yang baik.

Ah. Mey. Aku bersyukur bertemu orang sepertimu.
Let's live together.
Unity in diversity.

-
-

Ramadhan Journey: Ramadhan 1939 H, sangat berkesan bagi ku. Bulan Ramadhan yang produktif, alhamdulillah Allah memberikan ku kesibukan dan di dalamnya banyak pelajaran yang bisa di ambil. Aku banyak belajar dari orang-orang yang ku temui secara sengaja maupun gak di sengaja. Banyak juga punya waktu me-time. Perjalanan fisik dan pikiran, yang ingin ku bagikan. Semoga bermanfaat. Semoga bisa bertemu Ramadhan berikutnya, aamiin yarabal alamin.

Thought : Soal Kulit Putih...

“Enak ya kulitnya putih”

“Kamu pake apa sih kulitnya bisa putih gini?”

“Ini kulit asli ya putihnya?”

 “Keturunan chinese ya?”

“Gamau di pinggir Shintia ah. Keliatan banget item nya”

Kalimat diatas merupakan segelintir kalimat yang udah sering banget saya denger. Baik dari orang yang baru di kenal, pun orang yang udah lama kenal. Hal pertama yang orang fokuskan pada diri saya adalah warna kulit. And, to be honest, It makes me sad, really.
 
Saya sedih karena yang pertama. Kehadiran saya, seringkali, membuat saya merasa, teman sesama kaum hawa (yang warna kulitnya lebih gelap dari saya) tidak bersyukur atas dirinya. Memang tidak ada yang menyebutkan secara langsung akan ketidakbersyukuran ini dan mungkin banyak yang tidak menyadarinya. Tapi keinginan untuk memiliki warna kulit yang sama, secara tidak langsung mencerminkannya. Ketidakpercayaan diri ketika bersama saya, pun secara tidak langsung mencerminkannya.

Yang kedua, saya sedih, menyadari bahwa ternyata masih banyak yang termakan oleh kalimat-kalimat manis yang terpampang di media. Kulit yang cantik itu kulit yang putih, katanya. Dan hal ini –sedihnya- diakui bukan hanya oleh kaum hawa saja, tapi juga kaum adam. Maka berlomba-lombalah banyak orang untuk memiliki kulit yang putih.

Ketika orang-orang mulai mengungkit soal ‘kulit putih’. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Salah satunya: Sesukses inikah kaum kapitalis mempersepsikan masyarakat mengenai kulit putih?

“Mau jadi cantik itu mahal”, katanya.

”Cantik itu gampang, asal punya modal”, merupakan kalimat-kalimat yang sering saya dengar mengenai kecantikan.

Pernah terpikir darimana asalnya standar kecantikan itu?

Darimana asalnya standar kulit yang bagus untuk perempuan itu kulit yang berwarna putih?

Siapa yang pertama menyatakan, kalau kulit putih itu berarti cantik?

Ya, Kaum kapitalis.

Buat apa mereka buat statement kalau kulit putih itu bagus?

Mudah, sebagai produsen.. kaum kapitalis ingin masyarakat terus-menerus membeli produk skincare pemutih yang mereka produksi. Caranya dengan menentukan standar kecantikan yang ditampilkan via media.

Keren komunikasi pemasarannya.

Cara berpikir kita mengenai konsep ‘cantik’ nyatanya sudah disetir.. Berlandaskan ekonomi, agar mereka memperoleh untung.

Dan saya sedih, dicemburui dari suatu hal yang dikonsep seperti itu.

Yang kita butuhkan bukan kulit putih, tapi kulit yang sehat dan (menurut saya yang) bersih, karena yang bersih enak dilihat.  

Dulu, saya sempat terima-terima saja dilontarkan kalimat-kalimat pujian atas kulit putih. Namun, sekarang, saya kurang suka. Bukan karena saya tidak mensyukuri saya punya warna kulit yang begini, tapi karena alhamdulillah Allah membuat saya menyadari bahwa cara berpikir seperti ini -yang mendewakan kulit putih- terlalu tidak sehat untuk diterapkan.

Warna kulitnya apapun, buat apa dibandingkan? Toh semua dari Allah dan sama aja. Tidak menjadikan seseorang lantas menjadi superior pun sebaliknya. Bukankah seharusnya disyukuri, bukan dikritisi?

Memang di mata masyarakat masih saja banyak yang memandang unggul warna kulit putih. Namun, setelah merasakan sendiri dipuji-puji berdasarkan warna kulit, I wonder, what have I got actually? Hanya pujian, yang tidak berarti banyak bagi saya dalam menjalani kehidupan. Hanya pujian, yang bisa membuat diri sombong. Hanya pujian dan kesenangan sesaat.


Semu.

Fisik sebagus apapun, akhirnya akan berakhir juga di masa tua. Toh, semua ini cuma titipan dari Allah, yang mana anugerah (jika bisa mensyukuri) sekaligus ujian (ketika rasa sombong sudah menggerogoti). Memang menyenangkan sih dipuji, rasanya seperti disenangi oleh orang lain.

Tapi.. semakin kesini saya pikir ada pertanyaan mendasar yang seharusnya kita miliki: Whose pleasure am I seeking? People? For what? Kita gak pernah bisa membuat semua orang senang sama kita. Karena manusia selalu memiliki celah untuk ditunjuk. Karena tidak ada manusia yang sempurna. Dan hal ini berlaku juga ketika kita berusaha menyenangkan orang tertentu, sebaik apapun yang kita berikan, selalu ada celah. Apalagi dari fisik.. “Cantik-cantik tapi.....”.

It’s only weaken us, Dear.. So, whose pleasure are u seeking beside of Allah?

Buat apa cemburu?

Soal fisik yang tidak disyukuri, saya pernah merasakannya (ingin lebih berisi dan tinggi, tapi susahnya minta ampun) dan itu....begitu menyiksa. Apalagi ketika lingkungan tidak henti-henti nya mengomentari kekurangan fisik. Suka jadi lebih aware dan kurang percaya diri. That’s why Self-love-is-important! This is your life, dan mereka gak punya hak apapun untuk menentukan kita harus punya ini-itu sebagai standar kebahagiaan. Terutama kamu, wahai kaum hawa. U’re beautiful just the way you are. No matter what skin color you have. Berkulit putih, doesn’t make someone better than you.  

Di mata Allah semuanya sama aja.


Waktu kecil.. Saya sering mempertanyakan. Kenapa perempuan seringkali membanding-bandingkan warna kulit dengan mengulurkan tangan satu sama lain. Apa esensinya? Kepuasan batin? Atau kesombongan diri karena merasa ‘lebih’ dan merasa ‘sesuai’ dengan standar kecantikan yang nyatanya berlandaskan ekonomi?

Membanding-bandingkan ini terjadi bukan hanya terjadi diantara perempuan. Begitu juga dengan laki-laki. Bukan kepada dirinya sendiri. Tapi dalam menilai perempuan.

“Eh kamu kalah putih sama dia”

“Kamu sama dia kaya kopi sama susu *sambil ketawa*”

Sedih... Betapa tidak sehatnya pola pemikiran yang mendewakan kulit putih ini.

Saya menulis tulisan ini dengan harapan kedepannya baik perempuan maupun laki-laki tidak lagi membedakan orang berdasarkan appearance.  Berdasarkan warna kulit. Bentuk tubuh. Dan lainnya. Tidak ada yang unggul. Semua sama. Tidak lagi mengelu-ngelukan standar kecantikan yang menguntungkan perekonomian kaum tertentu.

Yang buat cantik itu mahal. Cantik itu ribet. Ya pemikiran kita sendiri yang terlena media. 

Semoga kedepannya tidak lagi memandang manusia lain sebagai objek yang konsepnya telah dibuat oleh kaum kapitalis. Dan lebih mensyukuri apa yang diberi oleh Allah. Lebih menghargai fisik sendiri pun oranglain. Lebih mencintai diri sendiri sebagaimana Allah menjadikan diri dengan sebaik-baiknya.
Aamiin Yarabal alamin.