Balada Pergi ke Psikolog

Pernah nggak sih merasa diri sendiri itu aneh? Aneh disini maksudnya merasa berbeda sendiri dibanding orang lain. Aneh banget sampai kepikiran nggak akan ada orang yang akan (bahkan mau) menerima walaupun itu orangtua sendiri. At the end, karena pikiran-pikiran bahwa orang lain nggak akan menerima, lantas diri sendirilah yang paling nggak menerima keanehan tersebut. Insecure, membenci bagian dalam diri tersebut, ingin menghapusnya tapi nggak bisa. Dan karena nggak mau kelihatan aneh. Karena ingin diterima (oleh orang lain dan diri sendiri), memalsukan diri alias menyembunyikan bagian diri itu menjadi solusi. Berlagak semua baik-baik aja.

 

Aku adalah salah satu orang yang merasa demikian. Aku introvert yang kebetulan juga pendiam. Aku seringkali menarik diri dari lingkungan karena merasa pusing dengan keramaian yang terus-menerus hadir. Aku juga bosan karena sering diprotes karena lebih suka mendengarkan daripada berbicara. Padahal aku sudah sangat berusaha untuk berbicara banyak. Katanya, orang sepertiku nggak asik. Aku juga merasa punya sudut pandang yang seringkali bertabrakan dengan standar sosial. Aku punya kepribadian yang nggak seperti kata orang: dewasa, religius, bisa ini-itu. Disini, aku nggak lagi humble brag. Ini beneran. Aku juga punya trauma di masa lalu, yang sewaktu-waktu mencuat ke otak. Aku aneh, dan memang aneh.


cr: kompasiana


Kalau aku yang dulu, aku nggak bakal berani buat nulis kayak gini. Karena aku paling nggak mau terlihat lemah dan rasanya hal itu wajar (bahkan harus) di society kita. Entah kenapa, seringkali kelemahan orang dijadikan bahan gunjingan, kalau nggak digunjing society merasa berhak mengasihani orang yang nggak sempurna tersebut. Manusia rasanya sulit sekali memandang orang lain sebagai manusia yang memang serba kurang. 

 

Mungkin hal ini seperti rantai racun yang sulit putus. Karena seseorang dipaksa menjadi sempurna, ia pun memaksa orang lain untuk menjadi sempurna (dalam versi penilainya). Dan hal itu sering terpatri pada banyak orang, termasuk aku. Tapi aku yang sekarang, menerima diri yang seperti ini. Iya. Aku nggak sempurna, aku nggak hitam, dan nggak putih. Warna ku macam-macam. And that's it. People who don't know me, tell it otherwise.

 

Beberapa orang mungkin akan merespon tulisanku di atas dengan "seharusnya, manusia memang nggak memperlihatkan kelemahannya kepada manusia lain". Yas. I did that all along. Yang tahu apa yang aku alami dan bagaimana sebenarnya diri ini adalah aku dan Allah saja. Lantas, aku berpura-pura baik sepanjang jalan. Aku yang dulu nggak pernah kelihatan kacau bahkan di depan orang-orang terdekat. Aku terlihat sangat kuat dan sangat baik-baik saja. 

 

Tapi aku semakin tahu, bahwa aku menjadi toxic kepada diri ku sendiri. Toxic Positivity. Aku rapuh tapi nggak mengakui bahwa diri rapuh. Aku nggak sempurna tapi nggak mau menjadi nggak sempurna. Aku butuh Tuhanku, itu yang utama. Tapi, menjadi orang yang seakan nggak butuh orang lain, itu juga salah. Berbagi bisa menjadi salah satu hal yang meringankan beban. Tuhan ku, memberikanku teman salah satunya sebagai rahmat meringankan beban.

 

Toxic Positivity, lama-lama menjadikanku kehilangan diri. Aku menjadi orang yang nggak menerima diri sendiri apapun kondisinya. Positive vibes only itu bukan milik manusia, dear. Karena, mau mengusahakan diri untuk menjadi sesempurna apapun, orang lain akan selalu menemukan kecacatan diri. Mau nggak memperlihatkan bahkan menceritakan pun, meski nggak kelihatan di hal yang disembunyikan, kenyataannya kecacatan lainnya akan terlihat. Memang manusia makhluk bukan Tuhan yang sempurna kok. Memang manusia diciptakan banyak kurang dan lemah, nggak ada yang salah kok untuk mengakuinya. 

 

Begitu memang tuntutan banyak orang, menjadi baik-baik saja, menjadi sesuai standar yang masyarakat patok, menjadi sempurna. Padahal nggak sempurna adalah hal yang wajar. Dan hal ini lah yang ingin aku garis bawahi. Terlihat kurang itu sangat wajar, karena manusia memang makhluk yang serba kurang. It's okay not to be okay. 

 

   cr: thepsychologygroup
                                                        

Di awal tahun 2020, aku pergi ke psikolog. Karena merasa perlu bantuan. Sebelumnya, aku berpikir panjang tentang ini. Bagaimana aku akan dilihat oleh orang lain (terutama orang-orang terdekat)? Apa aku akan dilihat sebagai orang yang lemah agama, cacat mental, orang yang bermasalah dan lain-lain? Stigmatisasi yang ada ketika seseorang pergi ke psikolog lainnya pun menghantui ku. 

 

Sampai aku berada di titik berani untuk nggak memedulikan stigma. Aku nggak ngerti kenapa orang lain terus-terusan mendikte aku harus seperti apa. Aku mendengar orang lain, tapi nggak mendengarkan suara diriku sendiri. Rasanya, lelah. Yang tahu diriku, ya aku. Bukan orang lain. Aku bukan yang kalian ekspektasikan.

 

Karena memang benar. Agamaku memang belum baik. Aku juga nggak baik-baik saja secara mental. Aku juga memang bermasalah, memangnya siapa di muka bumi ini manusia yang nggak bermasalah?

 

Aku jadi teringat kalimat ini: Manusia yang menggunakan jari telunjuknya untuk menunjuk orang lain sering lupa bahwa empat jari lainnya menunjuk ke arahnya. 

 

Setelah melewati proses penerimaan, melabeli bahwa diri ini aneh karena segala kurang yang ku punya. Akhirnya aku mengganti label "aneh", menjadi unik. Setelah melakukan banyak sharing dengan teman-teman yang terbuka dalam permasalahan mental, akhirnya aku menjadi tahu bahwa memang manusia itu nggak ada yang sama. Sebenarnya aneh itu apa sih? Memangnya manusia sama semua? Yang kembar saja berbeda. Manusia unik dengan segala lebih dan kurangnya. 

 

Pergi ke psikolog sangat membantuku untuk berpikir lebih jernih. Satu persatu benang yang kusut, ketakutan yang tiada henti, mulai terurai. Aku nggak bisa bilang kalau aku adalah manusia yang beres secara psikologis. Tapi satu hal yang aku sangat sadari adalah aku bersyukur menyadari bahwa seperti sebaik-baiknya menjaga kesehatan fisik, kesehatan mental nggak kalah pentingnya. Dan nggak semua orang mau mengusahakan kesehatan keduanya, apalagi psikis. 


Orang lain nggak tahu apa saja yang telah aku lalui dalam hidup. Sebagaimana, aku nggak tahu apa yang orang lain lalui dalam hidup. Apa yang membuat dirinya menjadi seperti sekarang. Apa yang membuat dirinya merasa terasing. Aku nggak tahu. Tapi aku tahu rasanya, kesulitan untuk menerima diri sendiri. 

 

Tiba-tiba, aku teringat sosok artis tanah air yang terkenal salah satunya karena stigmatisasi masyarakat. Mungkin, sudah banyak yang tahu orangnya siapa. Sosok yang dikenal sebagai orang yang bermasalah, karena katanya memiliki penyakit bipolar. Aku berusaha menempatkan diri pada posisinya, dihadapkan dengan penyakit yang nggak terlihat. Untuk menerima dirinya saja, ku pikir perlu tenaga dan waktu yang ekstra. Belum berhenti di situ, ia juga harus bertahan menerima segala cacian yang dihadapkan kepadanya. 

 

Kurangnya kesadaran mengenai kesehatan mental. Menyebabkan banyak orang nggak mempunyai rasa kemanusiaan. Bukannya membantu untuk orang lain merasa lebih baik. Nampaknya, membantu melihat orang lain agar semakin jatuh lebih diminati. Sebenarnya, disini, bukannya orang-orang yang melabeli juga terlihat sebagai orang yang bermasalah?


Ah, aku juga jadi teringat sosok Sulli. Ia mengalami depresi, bunuh diri karena terdampak cyber bullying. Salah satu kalimatnya sebelum meninggal yang membuatku meringis adalah permintaannya untuk berhenti melemparkan label-label kepadanya: "Aku bukan orang jahat. Mengapa kalian berbicara buruk pada ku?". Lucunya, setelah Sulli meninggal, banyak ucapan bela sungkawa yang muncul di lini masa instagramnya. Tapi, munculnya berita Sulli meninggal karena depresi ini, nggak menyebabkan orang-orang berhenti menstigmatisasi orang lain, di dunia maya pun di dunia nyata. 

 

Yah, sosok artis tanah air dan Sulli menjadi contoh betapa pentingnya kesehatan mental. Meskipun, dalam konteks ini keduanya sudah divonis mengalami penyakit mental. Bukan berarti kita, yang nggak mendapatkan vonis tersebut lantas bebas saja tanpa adanya gangguan psikologis. Insecurity akan mampir pada kehidupan masing-masing manusia. Merasa terasing. Bahkan merasa aneh, seperti yang aku dan beberapa teman alami. Segala hal yang kita rasakan memang semestinya dirasakan dan dihadapi. Nggak apa-apa kok untuk pergi ke psikolog atau ke psikiater. Bukankah artinya kita baik karena mengusahakan diri yang terbaik? Semoga sudut pandang masyarakat perlahan-lahan berubah dalam melihat kesehatan mental. Semoga saja orang-orang yang berada di sekeliling kita juga adalah yang sadar untuk mendukung kesehatan mental tersebut. Aamiin.

Kita dan Kebiasaan Nyinyir

"Pantes aja dia lulusnya cepet, kan deket sama dosennya"

"Yaiyalah, dia kan pinter. Pantes sidang duluan"

"Dia mah ambil topiknya gampang, jadi sidang duluan"

 

 

 

Pernah mendengar kalimat-kalimat itu nggak? Um... untuk teman-teman yang mungkin belum sampai di semester akhir perkuliahan atau nggak kuliah, mungkin pernah mendengar kalimat serupa dengan konteks yang berbeda? Kalimat yang menonjolkan privilege (hak istimewa) yang dipunyai seseorang, sehingga secara nggak langsung merendahkan orang yang bersangkutan. Bahwa dia (yang punya privilege tersebut), mendapatkan pencapaian tersebut karena keberuntungannya.

 -



Hai. Selamat sore dari seorang mahasiswi semester akhir! ✋. Lumayan lama ternyata, aku nggak nulis di blog. Selama satu tahun terakhir ini, aku memang lebih fokus buat nulis di instastory. Karena di sana aku dapet banyak feedback secara langsung, biasanya via direct message. Beda sama di blog, kalau mau komentar harus log in dulu ke google. Repot kan ya?

 

 

Tapi sekarang aku nulis lagi di sini, dan inshaAllah ada keinginan untuk menulis blog secara konsisten. Karena kadang capek juga, nulis panjang di instagram. Karena harus edit fotonya, tulisannya, posisinya biar lebih enak untuk dibaca. Dan kalau tulisannya banyak, fotonya gak satu. Pegel juga, untuk nulis satu topik bisa memakan waktu lumayan lama. (sekian sesi curhatnya).

-



Jadi, aku ini kan sekarang lagi di semester akhir. Dan alhamdulillah sudah ada beberapa temenku yang lulus. Kalau aku? mohon bantu doanya ya.. InshaAllah sedang mengusahakan.

 

 

Kalimat-kalimat yang aku tulis di awal tulisan ini, rasanya bukan sebuah kalimat asing yang mampir ke telinga. Bukan setelah ada teman yang sudah sidang aja. Tbh, aku juga dulu sempat berpikiran gitu. Misalnya: 

 

 

"Pantes ya, orangtuanya kaya. Jadi sekolah di luar negeri juga gak masalah", 

"Yang dipilih yang cantik ya. Asal ada muka jadi lebih gampang ya".

 

 

Lately, aku merasa malu dengan diri sendiri yang pernah ngomong kayak gitu. I mean, bukankah ketika ada seseorang berbicara seperti itu dia hanya nggak mengakui bahwa dirinya iri karena nggak mendapatkan privilege yang sama?



Mengakui bahwa diri lagi merasakan iri itu memang nggak mudah. Tapi bisa dilatih. Bagiku, dengan lebih memperbanyak ngobrol sama diri sendiri. Mungkin bagi kamu yang lagi baca tulisan ini, beda lagi. Dan kamu harus menemukannya, cara mengontrol diri.

 


Suatu waktu, aku pernah membaca tulisan tentang emosi (kalau ketemu tulisannya akan aku screenshot/taro link di sini). Intinya, ketika kita ingin melepas sesuatu yang ada dalam diri kita: perasaan sedih, marah, iri, dsb). Jangan menolak emosi tersebut. Tapi terima dan akui. Akui pada diri sendiri perasaan itu ada. "Aku lagi iri sekarang, aku pengen berada di posisi dia. tapi aku gak bisa."

 


Setelah mengakuinya, maka lepaskan emosi tersebut. "Aku iri sekarang. Tapi iri ini bersifat sementara kok. Iri, kamu aku lepas ya.. Kamu gak baik buat aku. Bismillah". It may sounds funny, but it works on me. Memang iri, dan berbagai macam perasaan yang ada dalam hati kita itu manusiawi. Wajar dirasakan. Tapi bukan berarti karena wajar, lantas kita memeliharanya. Bukannya kita tahu bahwa perasaan itu nggak akan membuat kenyataan berubah, tapi akan terus membuat hati kita menjadi nggak damai. Mungkin, kamu bisa mencobanya? Siapa tahu, cara ini bekerja juga.

 

 

By the way, beberapa hari yang lalu aku chatting sama salah satu teman dekat ku di SMA. Kami beda universitas. Dia juga sama-sama mahasiswa akhir. Kami saling curhat mengenai permasalahan yang kami rasakan saat ini (penyusunan skripsi). Dia juga bercerita tentang temannya yang sudah sidang duluan. Ini sedikit screenshot yang ku ambil (sudah izin):



(Barangkali ada yang nggak ngerti bahasa sunda karena teks campuran)
 
 
 
Dia :Temen aku ada yang udah sidang dari juni apa juli gitu lupa. Terus beberapa mikirnya, yaiya da dia mah pinter, deket sama banyak dosen blablabla. 
Dan taunya apa coba? Dia tuh lagi sakit kan dan memang suka bolak-balik RS. 
Nah abis beres revisian, dia udah dijadwal operasi ternyata. Terus... koma seminggu. Terus pas sadar kena amnesia gitu bener-bener ilang sebagian memorinya. Cuma orang terdekat doang yang dia inget :'))))) Coba dia belum sidang terus harus operasi, atau udah sidang tapi belum revisian gimana coba.
 
 
 


Aku: Oh wow seperti sinetrooon (kaget banget baca cerita ini.....).

Dia: Aku baru percaya, oh ternyata amnesia di sinetron tuh beneran bisa terjadi yak :(

 

 


Aku: Sakit apa sih?
Dia: Katanya mah operasi kelenjar gitu, tapi gak pernah dikasih tahu detailnya apaan.
 
 
 
Dari sini kita bisa belajar. Hidup orang yang kita rasa penuh privilege. Yang membuat kita iri. Yang membuat kalimat julid terlontar dari mulut kita. Belum tentu sebaik yang kita pikirkan. Kita cuma nggak tahu, masalah apa yang dialami. Kalau nih, kita punya masalah dalam menyelesaikan skripsi. Bisa jadi seseorang yang lancar penyusunan skripsinya, (sudah, sedang, akan) punya masalah kesehatan, keluarga, finansial, atau yang lainnya yang kita nggak tahu seberapa berat masalahnya.
 
 
 

Membaca cerita ini membuatku semakin meringis. YaAllah, semoga aku bisa memperbaiki diri untuk terhindar dari rasa iri (apalagi membandingkan) privilege yang ada pada orang lain dan cenderung merasakan rasa senang jika seseorang itu punya capaian tertentu.
 
 
 
Di sini, aku nggak berbicara mengenai kita yang hidup enak sedangkan orang lain nggak. Tapi coba untuk merasa cukup dengan privilege sendiri. 



Aku tiba-tiba teringat seorang teman yang juga mengalami masalah keluarga. Aku sudah pernah menulis ini di instagram, but lemme wrote this down (again). Ibunya sakit, harus dioperasi, dengan kondisi finansial yang bisa dibilang nggak baik karena terimbas pandemi. Dia yang mendapatkan kalimat julid dari teman-temannya (enak ya kamu dosennya dapet yang baik, enak ya... enak ya...), nyatanya harus bergelut melalui kepahitan hidup yang nggak sama sekali mereka tahu.



Ketika ada satu aspek yang menurut kita lancar dalam hidup orang lain, bukan berarti nggak punya masalah dalam aspek lain. Kita sama-sama berjuang, hanya saja perjuangan kita berbeda.



Kondisi teman kuliah ku ini, mengingatkan pada sosok teman lain waktu duduk di bangku sekolah yang juga punya kondisi yang sama . Ia bergelut merawat ibu dan nenek nya yang sakit, ia juga berasal dari keluarga yang bercerai, kondisi finansial keluarganya nggak baik. Tapi, dia selalu ranking 1 di sekolah. Hebat ya? Bisa terpikirkan bagaimana ia mengatur waktunya? Oh, nggak lupa. Dia juga sering mendapatkan nyinyiran. Bagaimana ia disebut sebagai orang yang caper ke guru, dan lainnya. Padahal dia hanya berusaha memperbaiki kehidupannya agar lebih baik di masa depan.






source: https://www.hipwee.com/hiburan/meme-iri-bilang-bos/


Kenyataannya, meski dalam keadaan sulit seperti itu yang mungkin nggak terbesit di benak kita. Mereka adalah sosok-sosok yang menanamkan kebaikan dalam kesulitannya. Bukankah mengurus orangtua adalah bentuk bakti yang luar biasa. Kebaikan yang mereka tanam, dituai dari aspek kehidupan lainnya.



Memangnya kebaikan apa yang kita tanam sehingga kita bisa menuainya?
Atau jangan-jangan kita adalah manusia egois yang hanya ingin hidup enak. 
Yang memenuhi diri dengan emosi negatif, ketika orang lain sedang menanam kebaikan dalam hidupnya.