Tentang Hijab: Bukan capaian kecantikan


kutipan artikel magdalene


Tidak pernah sama sekali terpikirkan olehku akan menggunakan hijab di umur enam belas tahun. Aku ingat sekali, pernah membenci hijab sebegitunya. Bagiku, hari-hari dimana sekolah tempatku mengenyam pendidikan mengharuskan murid-murid perempuannya berkerudung (bagi muslim) sangat menyebalkan.

Nanti aja deh pakai kerudung, kalau udah kuliah. Atau udah nikah aja kali ya? - Inner shintia, 12-15 tahun.

Entah ke-berapa kali nya, setiap aku mengucir kuda rambutku, anak-anak perempuan akan berusaha memegangnya. "Bagus ih rambutnya!", ujar mereka, memuji. Sebagaimana perempuan lainnya, kelemahan ku adalah pujian. Rasanya, jika dipuji apalagi berdasarkan penampilan fisik, waktu itu, begitu menyenangkan.

Berbeda di hari-hari dimana aku memakai kerudung di sekolah, selalu dihiasi dengan celetukan "Kamu lebih cantik gak pakai kerudung deh". Ucapan itu terus berulang, sejak aku duduk di kelas satu sampai tiga SMP. Bisa dibayangkan seberapa banyak ucapan sama yang kuterima?

Membaca artikel di magdalene.co, yang kutipannya ku taruh di atas. Sangat mengingatkanku akan hari-hari itu. Setelah mantap berhijab, aku sangat setuju karenanya. Terdapat pergeseran makna mengenai hijab. Komodifikasi agama yang menjadikan hijab sebagai komoditas bisnis (akan ku tulis di tulisan selanjutnya), dan lagi-lagi yang paling utama adalah perihal capaian kecantikan. 

"Lebih cantik berhijab deh" adalah cara yang menurut banyak dari kita baik untuk mendukung perempuan agar mantap berhijab.

Entah dari kapan, masyarakat kita memandang hijab 'wajar' menjadi capaian kecantikan seorang perempuan. Meski niat baik bisa berawal dari apa saja. Termasuk, merasa cantik dengan balutan hijab. Namun, rasanya, memaknai hijab 'hanya' untuk mengukur capaian kecantikan perempuan, baiknya dibenahi. 

Hijab memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap perempuan dan tidak melulu mengenai kecantikan. Begitupun bagiku.

Dibandingkan dipuji-puji, perjalanan dalam menggunakan hijab bagiku merupakan perjalanan dengan penolakan teman-teman yang mengukur kecantikan berdasarkan penggunaan hijab. Membuatku membenci hari-hari dimana aku harus mengenakan hijab. Tidak jarang, setelah sekolah selesai aku melepas kerudung yang kukenakan. Alasannya macam-macam, mulai dari; "panas", "pusing" dan sebagainya. Meski memang hal itu kurasakan, hal yang paling mendasar adalah aku tidak percaya diri. Aku malu memperlihatkan wajahku, yang disebut-sebut tidak cocok menggunakan hijab.

Allah akhirnya mengantarkanku pada titik dimana aku menyadari bahwa hijab bukanlah capaian kecantikan. Jika saja, hijab sebagai capaian kecantikan ini terus-menerus tertanam di otakku, mungkin sampai detik ini, aku tidak akan menggunakan hijab. Hijab is more than beauty. 

Aku mulai mengenakan hijab di kelas satu SMA, butuh penyesuaian berbulan-bulan bagiku dalam memantapkan hati untuk mengenakannya secara permanen. Berawal dari tidak melepaskan kerudung sampai pulang sekolah di hari Jum'at (karena hari Jum'at sekolah biasa berbusana muslim). Lalu, ditambah dengan membeli seragam berlengan panjang untuk ku pakai di hari senin, seiring berjalannya waktu, ditambah dengan hari selasa. Dan alhamdulillah proses itu mengantarkan ku sampai hari ini.

Percayalah dalam prosesnya, karena aku seringkali dibilang tidak cocok menggunakan hijab. Aku bahkan sempat takut tidak akan ada laki-laki yang tertarik padaku jika aku mengenakan hijab. Karena omongan itu, aku memiliki pandangan sempit akan hijab yaitu memandang hijab sebagai capaian kecantikan. Dan juga memandang laki-laki hanya akan tertarik dengan kecantikan rupa. Padahal  perihal jodoh sudah di atur oleh Sang Maha Kuasa.

Hijab adalah hubunganmu dengan Tuhanmu, jalannya, kesulitannya, maknanya berbeda-beda dan hanya kamu sendiri yang akan mendapatinya.

Keyakinanku tidak datang begitu saja. Banyak sekali orang-orang yang merangkulku dengan akhlak. Sampai di hari itu, aku membuka beranda Facebook, dan postingan yang kubaca adalah mengenai hijab pertama dan terakhir yang berasal dari kain kafan. Entah bagaimana, Allah menggerakan hatiku menjadi yakin. 

Tidak apa-apa dianggap tidak cantik dalam pandangan manusia. Kecantikan dalam ukuran manusia tidak dapat dibandingkan dengan sudut pandang Tuhanku, bukan?

Setelah aku memakai hijab. Tolak ukur hijab sebagai capaian kecantikan yang dilontarkan padaku tidak berhenti di situ. Di lain waktu, dalam perjalanan.. Ada yang memprotes "Kamu pakaian nya Syar'i sih coba kalo nggak, kan lebih cantik", "Kalau kamu gak pakai hijab dijamin deh gampang dapet pekerjaannya, percaya deh". atau sebaliknya "kamu cantikan pakai hijab syar'i deh, lebih anggun". Di sini, aku tidak ingin menjadi double standard. Nyatanya di kedua sisi, memakai hijab maupun tidak, syar'i maupun tidak selalu dikait-kaitkan sebagai capaian kecantikan. Aku mengerti,  masyarakat secara tidak sadar mengaitkan hijab dengan capaian kecantikan karena memang pada dasarnya tahu, bahwa perempuan senang menjadi cantik. Tapi percayalah, setelah mengobrol dengan teman-teman perempuan lainnya. Banyak perempuan yang malah menjadi ilfil, menjauh tidak ingin memakai hijab, tidak simpati, karena jujur saja bagi sebagian perempuan, kecantikan dan hijab merupakan hal yang sensitif untuk dikait-kaitkan.

Aku tidak menggunakan hijab untuk dipuji-puji sedemikian rupa. Aku memakai hijab bukan untuk menyenangkan mata orang lain. Aku memakai hijab bukan karena membutuhkan uang.

Rasanya, pandangan masyarakat dengan hijab sebagai capaian kecantikan ini justru menyetir hak perempuan untuk menggunakan hijab menjadi sekedar pandangan atas fisik (menjadi sempit sekali). Padahal hijab adalah hubungan antara kita dengan Tuhan. Berhijab adalah keputusan masing-masing individu yang karena merupakan bentuk komunikasi transedental, tidak seharusnya disamakan dengan pandangan horizontal. Bukankah, kita begitu merendahkan nilai hijab dengan menyamakan sudut pandang Tuhan sebagai sudut pandang manusia?

Selain kecantikan fisik, seseorang yang mengenakan hijab tidak berarti pasti berakhlak baik. Aku sangat malu, jika dengan hijab yang kupakai membuat orang-orang bersimpati, berpikir sedemikian rupa. Hijab ini bukan capaian kecantikan akhlak sebagaimana hijab bukan capaian kecantikan rupa. Banyak sekali yang mematok standar jika hijab syar'i maka orang tsb demikian, jika hijabnya tidak syar'i maka orang tsb begini, jika ia tidak memakai hijab maka orang yang bersangkutan begitu. Jika tidak memenuhi standar tsb, maka akan di cemooh, "Berhijab sih... tapi ..." Bukankah capaian kecantikan ini sangat tidak terdefinisikan? Baik-tidaknya seseorang hanya Tuhan yang tahu, maka berhentilah menjadi penilai karena manusia tidak memiliki kapasitas untuk menilai.

Bagiku, hijab adalah hubungan dengan Tuhanku. Hijab adalah pilihan hidupku. Yang tahu makna nya, rasa nya adalah diriku sendiri. Maka, tolong berhentilah mengaitkan hijab dengan standar kecantikan (rupa pun akhlak). Karena hijab terlalu luas untuk dimaknai sesempit itu.

Belajar Menjadi Manusia



"Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Tapi manusia kadang lupa, bahwa ia pun merupakan makhluk yang juga tidak sempurna. Sebuah kenyataan yang bertentangan dan membingungkan, sempurna tapi tidak sempurna"
Akhir-akhir ini aku sedang dalam usaha untuk lebih mencintai diri. Hal ini disebabkan beberapa bulan yang lalu aku sempat sakit. Bukan karena faktor eksternal melainkan faktor internal. Yaitu: cara diri menyikapi suatu persoalan.

Dulu aku sempat ragu, apa mungkin seseorang sakit hanya karena pikirannya? Dan... yap! siapa kira, aku akan mengalaminya. Hakikatnya manusia menyukai kelembutan, maka berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu sikap yang sangat dianjurkan. Lantas, bagaimana jika kita berbuat baik kepada orang lain namun tidak berbuat baik kepada diri alias menyakiti diri sendiri?

Ada banyak cara seseorang menyikapi persoalan. Ketika merasa kecewa, beberapa orang melakukan evaluasi secara sehat dan yang lainnya tidak (menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain atau menyalahkan apapun itu). Aku adalah salah-satu orang yang melakukan evaluasi secara tidak sehat, terutama dengan self-blame. Aku selalu menyalahkan diri. Aku sangat kasar terhadap diriku-sendiri.

Setelah melakukan kontemplasi. Ternyata akar dari self-blame ini adalah aku yang lupa memanusiakan diri. 

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Tapi manusia kadang lupa, bahwa ia pun merupakan makhluk yang juga tidak sempurna. Sebuah kenyataan yang bertentangan dan membingungkan, sempurna tapi tidak sempurna.

Namun banyak orang (aku) yang berusaha menjadi sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Lupa bahwa manusia pasti melakukan kesalahan dan jauh dari sempurna. Dan kunci dari semua ini adalah belajar memanusiakan diri (self-acceptance): Belajar mewajarkan ketika melakukan salah. Belajar memaafkan kesalahan yang dilakukan. Belajar menerima kegagalan diri.

Aku sering kali mengomeli diriku sendiri. Misalnya aku melakukan kesalahan seperti salah kirim file tugas. Seringnya ketika sudah ada di posisi tersebut, aku mulai menyalahkan diri. 'YaAllah Shin kok kamu bisa gitu? 'Kenapa sih kamu tuh gagal fokus melulu". Sekarang aku pelan-pelan belajar mengubahnya "It's okay, Shin. kamu manusia kamu melakukan kesalahan. Sekarang jalan keluarnya apa?"

Atau biasanya, ketika aku melakukan sebuah pekerjaan yang hasilnya tidak sebaik orang lain. "yaampun Shin begini aja gak bisa?", "Liat orang lain pada bisa, kamu engga?" sekarang harus diganti dengan lebih mengapresiasi diri "Ok, Shin. Good job. Kamu udah bisa segini" "It's okay, Shin. kamu udah bisa sampai sini. Semua orang punya kelebihannya masing-masing. Terus belajar ya!"

Seringkali aku merasa sedih ketika tidak mencapai goals yang seharusnya. Mulai dari hal-hal kecil seperti yang sudah ku tulis diatas. Sampai ke hal-hal yang sangat berdampak dalam diri (baik secara batin maupun secara fisik). 

Self-blame -yang aku rasakan- akan menjelma menjadi self-guilt dan self-shame karena saking toxic nya kebiasaan ini. Pernah suatu waktu, aku sangat kecewa akan suatu hal dan seperti biasa aku blaming diri sendiri. Aku sampai di titik tidak ingin bertemu banyak orang, kurang percaya diri dan jujur saja (waktu itu) jika aku diberi kesempatan untuk lahir kembali mungkin aku akan memilih jalan tersebut. Sayangnya, hidup tidak bisa begitu. Seberapa kecewa pun aku dengan diri, kehidupan tidak akan menungguku, hidup mesti harus berjalan. Dari situ aku belajar, selain self-acceptance yang seringkali aku lupakan adalah self-forgiveness.

Memaafkan diri ini....sangat membutuhkan kesabaran karena butuh waktu yang lama. Dan secara tidak sadar, seringkali kita kabur dari tanggungjawab memaafkan diri dengan menumpuk hal yang mengganggu dengan hal-hal lain yang diharap dapat mendistraksi keruwetan masalah (menonton, belanja, dsb). 

Masalahnya, masalah terus menerus datang, pun kekecewaan terus-menerus hadir. Maka self-forgiveness adalah kegiatan yang juga harus dilakukan berulang-ulang. 

Kita tidak bisa membiarkan keruwetan ini menumpuk begitu saja. Sampai akhirnya aku mengerti kunci dari self-forgiveness adalah ikhlas dan bertaubat. Ikhlas mengakui kesalahan diri yang menyebabkan efek besar pada diri sendiri, ikhlas menerima rasa sakit sebagai bentuk pembelajaran, ikhlas menerima konsekuensi yang akan hadir dimasa depan karena kesalahan diri, dan bertaubat karena selama ini seringkali merasa bisa melakukan sesuatu dengan baik dengan segala usaha diri yang lemah, tanpa melibatkan Yang Maha Kuasa, padahal karenaNya lah aku dapat melakukan sesuatu. 

Butuh waktu yang lama bagiku menyadari ada yang salah dalam diri ini. Aku harap sampainya diri pada titik realisasi ini, dapat membentukku menjadi pribadi yang lebih positif. Dan menerima segala yang hadir pada diri. Belajar mencintai diri berarti berdamai dengan diri dari sudut pandang lain. Mendewasakan diri agar terdorong mencari jalan keluar, instead of hurting my own self.

Semoga dengan membiasakan belajar memanusiakan diri ini selain manambah peduli terhadap diri sendiri. Pun menjadikan ku pribadi peduli terhadap orang lain dan (juga) lebih memanusiakan mereka. 

Yang memandang orang lain yang melakukan salah karena mereka pun pembelajar, mereka pun manusia. "Dia manusia bikin kesalahan juga, sama kayak kamu...". Dibanding menghabiskan tenaga, kesal sendiri (ini susah banget memang T_T tapi harus belajar), dan memiliki harapan yang tinggi terhadap orang lain (berharap mereka 'sempurna' dengan standar yang ada di otak kita, agar tidak selalu merasakan kecewa..

Tentang Perasaann Suka

Terkadang, kita harus banyak bertanya pada diri kita sendiri. 

Misalnya, ketika hati kita memiliki kecondongan pada seorang insan..

Apa kita benar menyukai sosoknya?
Atau kita menyukai sosoknya yang ada dalam pikiran kita?

Jangan-jangan kita hanya menyukai ekspektasi kita akan dirinya. Bukan menyukai dia yang sesungguhnya.

Kita membuat asumsi sedemikian rupa, berandai-andai masa depan yang akan dirakit dengannya.

Bukankah ekspektasi itu akan menghancurkan kita menjadi sosok penuntut?
Bagaimana jika sosoknya ternyata berbeda dengan ekspektasi.

Jika dia yang dimaksud ternyata tidak seperti ekspektasi, kenapa kita harus menyalahkannya?
Kenapa kita memaksa seseorang untuk menjadi dia yang ada dalam pikiran kita?

Jadi, kamu menyukai sosoknya?
Atau menyukai sosoknya yang kamu buat dalam pikiranmu?