Perempuan

Perempuan suka pujian.

Perempuan suka dicintai.

Tapi hal itu yang membuat perempuan sering lupa, ia dilahirkan di dunia ini bukan untuk kesia-siaan.

Ia dilahirkan ke dunia untuk memilih perannya.

Menjadi fitnah.

Atau menjadi fitrah

Puisi-Puisi Choi, Jun:Eloknya Bumi Pertiwi

Oleh: Ayip Sepudin



Pukul empat sore, danau di pusat kota
mulai gelap oleh bayangan pohon
Sebelum matahari terbenam
pohon-pohon terlebih dulu menunjukkan
bayangan matahari
(Choi, Jun, “Tato di Udara”)

Penggambaran suasana yang detail akan suatu tempat berhasil ditulisakan oleh salah satu penyair ternama Korea masa kini, Choi, Jun. Dalam bukunya yang berjudul “Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa” yang diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah ini berhasil menciptakan gambaran bumi pertiwi yang elok. Banyak penyair-penyair tanah air yang tidak menggunakan diksi seperti pisang, papaya, orang utan, bahkan nama-nama kota dalam setiap judul puisinya. Akan tetapi, bagi Choi, Jun diksi tersebut menjadi sangat indah jika dituangkan ke dalam puisi. Dalam 61 sajaknya ini, penyair sangat apik menceritakan dengan sangat detail peristiwa yang diamati serta dijalaninya selama lima tahun berada di Indonesia.

Buku kumpulan sajak Orang Suci, Pohon Kelapa ini diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2019 ini mempunyai sampul yang sejuk dipandang. Dengan dominasi warna putih sebagai warna utamanya ditambah nuansa daun berwarna hijau tua dan hijau muda menjadikan buku tersebut menjadi lebih elok jika berlama-lama dipandang. Burung disamping judul pada buku tersebut memberikan simbol bahwa cuitan yang ditulis oleh penyair tetang pengalaman selama berada di Indonesia semuanya tertuang di dalam buku tersebut.

Penyair kelahiran 1963  kota Jeongseon, Provinsi Gangwon, Korea ini banyak menyoroti alam Indonesia, baik flora dan fauna, aktivitas masyarakat, dan lain-lain. Berikut ini akan dipaparkan beberapa puisi Choi, Jun yang menggambarkan keelokan Bumi Pertiwi. Salah satunya adalah pada puisi berjudul Sketsa Terakhir Tentang Pisang. Puisi tersebut menggambarkan tentang ciri fisik pohon pisang beserta kehidupannya. Penyair memilih pohon pisang sebagai objek tulisannya mungkin dikarenakan di Negara asalnya (Korea) tidak ada pohon pisang. Oleh karena itu penyair dengan sangat rinci berhasil menuliskan sketsa tentang pisang. Seperti dalam kutipan berikut: 

Dia bukan pohon
Seumur hidup hanya mekar sekali
Dia adalah rumput tanpa tulang dan otot
Hidupnya tidak berulang
Saat angina bertiup, saat itu tubuhnya berguncang

Dalam penggalan puisi di atas terasa bahwa penyair kagum dan terpesona kepada pohon pisang. Beliau berimajinasi jika pohon pisang tersebut adalah orang yang jarang dipandang atau dikagumi banyak orang, akan tetapi mempunyai peran penting dalam kehidupan. 

Pohon pisang yang dianggap bukan pohon tersebut terkesan diremehkan karena tidak mempunyai batang kayu layaknya pohon pada umumnya. Dianggap lemah karena tak bertulang dan berotot, sehingga lebih menyerupai rumput daripada pohon. Akan tetapi, meski pohon pisang hidupnya tidak berulang dan hanya sekali setelah berbuah, bisa menghasilkan buah yang manis serta tunas yang banyak. Mati satu tumbuh seribu.

Selain pohon pisang, hal lain yang dituliskan oleh Choi, Jun yang hanya bisa beliau temui di Indonesia adalah Bali dan Borobudur, Keduanya berjudul Cara Bertamasya di Bali dengan Sedap dan Candi Borobudur. Sajak pertama menceritakan tentang kisah pertemuannya dengan bali. Banyak rencana yang sebenarnya tidak perlu repot-repot kita susun ketika hendak berlibur ke Bali, hanya cukup berimajinasi. Karena di Bali semua yang dibutuhkan ada, sekali pun baru pertama kali mengunjunginya. Penyair dengan sangat detail menggambarkan kehidupan dan kondisi alam di pulau Bali. Salah satunya adalah pada kutipan “tidak usah khawatir, orang-orang yang akan kau temui di jalan senasib denganmu, begitu turun dari pesawat, kau akan menemukan Denpasar, hotel, dan sewalah sepeda motor”.

Selain Bali, candi Borobudur juga termasuk dalam salah satu dari 61 sajak yang penyair tulis selama berada di Indonesia selama lima tahun (2000-2005). Puisi tersebut menceritakan tentang peristiwa yang dialami oleh patung Budha selama erupsi gunung merapi. Banyak kisah pilu dalam sejarah keberadaan candi Borobudur tersebut. Turis yang berkunjung hanya menyuarakan kegembiraannya karena berada di salah satu keajaiban dunia tanpa memperdulikan betapa ajaibnya patung Budha tersebut yang masih hidup meski tanpa memiliki kepala.

Sajak-sajak di atas pada umumnya merupakan sajak lirik, namun bukan hanya untuk mengungkapkan perasaan, tapi juga kritik yang memberi penyadaran kepada setiap aspek yang ada pada negeri ini. Seperti halnya keindahan Bali yang banyak diceritakan orang-orang kepada dunia, tetap saja Bali adalah Indonesia, dan tetap mempunyai kriminalitas, polisi, serta pegawainegeri yang suka korupsi. Kemudian tentang Candi Borobudur yang jika tidak bisa sama-sama kita jaga maka keagungannya lambat laun akan hilang, seperti mencoret-coret dinding candi, berswafoto pada candi yang sedang dalam tahap renovasi, atau yang sering dilakukan orang-orang pada umumnya yaitu membuang sampah sembrangan.

Buku puisi yang ditulis oleh Choi, Jun sangat membuka wawasan bagi seseorang yang gemar menulis. Bagaimana tidak, banyak puisi-puisi yang beliau tuliskan dengan  mencampurkan dua budaya yang berbeda Korea dan Indonesia. Konsistensi penyair dalam menulis ini yang patut untuk diapresiasi. Karena seperti penyair pada umumnya tidak mungkin membiarkan segala sesuatunya berlalu tanpa dituliskan, baik sebagai arsip, maupun pengingat. Maka sudah sewajarnya kita meniru konsistensi Choi, Jun ini. Seperti yang disamoaikan oleh Pramudya Ananta Toer:
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh dikemudian hari”.

Berhenti Menulis

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat ingin berhenti menulis.

Tidak lagi menulis di blog, di wattpad, maupun di instagram. 

Rasanya malu sekali membayangkan tulisanku di baca orang lain melalui gadget nya. Rasanya sangat tidak pantas bagiku menumpahkan isi kepala yang kadang menjadi ujian bagiku: aku tidak sebaik yang kamu bayangkan dari tulisan-tulisanku.

Untuk beberapa orang, aku disanjung-sanjung, katanya betapa dewasanya cara berpikirku. Katanya, aku memiliki sudut pandang lain dalam melihat sebuah perkara.
Untuk sebagian orang lainnya, aku terlihat seperti orang yang hidup secara membosankan--terlalu serius. Katanya, tidak asyik jika berteman denganku.

"Kamu yakin mau terus nulis di social media? rawan lho. Nanti kalau ada yang gak suka kamu gimana?" tanya seorang teman, berkali-kali yang membuatku terus bertanya pada diriku sendiri. Siapa sih manusia di bumi ini yang ingin tidak disukai?


-
Suatu waktu, aku melihat ke sekelilingku. Banyak sekali orang-orang yang suka menulis, dan mereka menulis dengan baik. Tidak sepertiku yang hanya bisa sampai sini. 

Aku sempat berada di posisi di mana aku bertanya-tanya mengenai bagaimana pendapat mereka jika melihat tulisanku? 
Betapa 'sok' nya aku menulis di berbagai platform, bukan?

Mungkin di masa itu, aku sedang dalam proses mengenal diri. Aku tidak tahu arahku hingga aku lebih memperdulikan pendapat orang lain dibandingkan melangkahkan kaki ku.

-

Keinginan untuk berhenti itu, sempat semakin mantap. 
Ya. untuk apa aku menulis dan mempublish nya di internet.
jika aku menulis dan menyimpannya sendiri, sepertinya tidak ada salahnya. 

Dalam kebingungan itu. Handphone ku tiba-tiba bergetar.

"Shin, makasih ya udah nulis" tulis temanku di direct message instagram.
Aku terdiam ketika membacanya, kenapa harus berterimakasih? Bukannya aku yang harusnya berterimakasih karena dia sudah repot-repot mau membaca tulisanku yang sebegininya?

"Makasih ya Shin. jadi reminder. Boleh aku repost?" tulis teman yang lainnya. 
"Oh iyaa boleh, makasih kembali yaa" jawabku, kemudian kembali terdiam... 
Apa ini? Perasaan apa ini?

Hatiku menghangat. 
Aku ingin menulis lagi...

Pikiranku melayang, ke hari-hari di mana aku menulis secara diam-diam di platform tumblr. Waktu itu, kelas 1 SMA: Tidak apa-apa, tidak di baca oleh orang lain. Aku hanya ingin mengutarakan perasaan-perasaan yang ku rasakan di tempat yang bisa aku kunjungi setiap saat. Tulisan-tulisan itu semakin hari, semakin banyak. Tapi suatu hari aku nekat menghapus semuanya. Ada ketakutan, barangkali akan ada yang membacanya. Aku malu.

Malu jika tulisanku di baca oleh orang lain. Orang lain akan menyangka aku orang seperti A, B, C, D. Merangkai ekspektasinya sesuai dengan apa yang aku tulis.
Aku juga merasa tidak pantas untuk menulis, karena aku sadar benar kapasitasku.
Tapi aku tidak bisa mengelak. menulis menciptakan kebahagiaan tersendiri.
Mungkin karena aku bisa mengekspresikan apa yang ku rasa. 
Aku lebih lancar berbicara melalui tulisan dibandingkan dengan lisan. 

Tapi aku selalu takut, pandangan orang lain atasku. Aku selalu risau dengan penilaian orang. Lantas bagaimana caranya perasaan itu tersampaikan?

Aku kemudian tersadar, aku kembali ke titik itu ternyata. Titik dimana aku tidak percaya akan diriku sendiri. Di mana aku lebih mementingkan apa yang orang lain pikirkan dibandingkan keinginanku sendiri.


-
Aku bertanya pada diriku sendiri:
"kenapa kamu menulis?"
"karena senang, karena dengan menulis aku merasa memiliki teman"
"Lantas, kenapa kamu memostingnya di sosial media Shin?"
"Kamu lupa?, katamu kamu ingin memiliki bekal kematian"

-
Bulan oktober kemarin, aku mengikuti salah satu kelas dari makna akshara (sebuah komunitas yang mengusung diskusi psikologi) mengenai penyembuhan luka.

Pemateri kelas hari itu adalah seseorang yang pernah di bully, bukan hanya dibully di sekolah tapi juga di rumahnya. Ia bercerita, bahkan pernah berpikir bahwa mungkin ia lebih baik mati dibandingkan hidup. Ia merasa tidak diinginkan.

Kamu tahu apa yang menyelamatkannya? Tulisan. 
Ia suka membaca majalah gadis.
Tulisan yang bahkan tidak terkoneksi atas apa yang ia rasakan, tapi itu membuatnya memiliki harapan untuk hidup.
Ia merasa memiliki teman.

Sejak itu, ia ingin bekerja di perusahaan majalah tersebut. Memiliki keinginan sampai berani untuk mengikuti rangkaian tes jurnalistik meski tidak memiliki latar belakang yang memadai, namun akhirnya ia terpilih menjadi salah satu penulis di sana. 
Menurutnya, mungkin di luar sana, ada orang-orang yang juga membutuhkan bantuannya melalui tulisan. Sebagaimana ia membutuhkannya. 

Setelah mengikuti kelas itu, aku sedikit berkontemplasi. Aku terkikik geli melihat diri yang ternyata menomorutamakan pendapat orang lain atas apa yang aku lakukan. 
Aku tidak harus disukai semua orang untuk melakukan sesuatu. Karena aku tidak bisa disukai oleh semua orang, akan selalu ada orang yang tidak menyukaiku. 
Yang menjadi PR adalah apakah yang aku lakukan benar atau tidak. Positif atau negatif.
Barangkali, tulisan yang tidak seberapa itu bisa membantu orang lain.

Selebihnya, biarkan pandangan orang menjadi angin lalu. Karena bisa jadi, apa yang kuupayakan dapat menyelamatkan seseorang.

-
Shintia, mungkin suatu hari, di masa depan, kamu akan merasakan yang sama. 
Dan aku harap kamu membaca ini. Sebagai pengingat mengapa kamu berani untuk memulai, berani untuk keluar dari zona nyamanmu dan berusaha mempertahankannya sampai sekarang. 
Teruslah melakukan apa yang ingin kamu lakukan selagi itu baik dan tidak bertentangan dengan nilai dan agamamu. 

Jika kemarin, teman-teman mu yang mengucapkan terimakasih atas tulisanmu yang tidak seberapa itu. Sekarang, aku yang berterimakasih. Karena sudah berani untuk menunjukkan apa yang kamu suka. Kamu harus tahu shin, aku baru saja membaca tulisan-tulisanmu yang telah lalu. Kamu ternyata berkembang, dan kamu bahkan menjadi pengingat bagi dirimu sendiri. Bahkan di setiap tulisan, terdapat kenangannya tersendiri. 
Terimakasih ya. Jangan menyerah hanya karena kata orang lain, ya. :)