Berhenti Menulis

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat ingin berhenti menulis.

Tidak lagi menulis di blog, di wattpad, maupun di instagram. 

Rasanya malu sekali membayangkan tulisanku di baca orang lain melalui gadget nya. Rasanya sangat tidak pantas bagiku menumpahkan isi kepala yang kadang menjadi ujian bagiku: aku tidak sebaik yang kamu bayangkan dari tulisan-tulisanku.

Untuk beberapa orang, aku disanjung-sanjung, katanya betapa dewasanya cara berpikirku. Katanya, aku memiliki sudut pandang lain dalam melihat sebuah perkara.
Untuk sebagian orang lainnya, aku terlihat seperti orang yang hidup secara membosankan--terlalu serius. Katanya, tidak asyik jika berteman denganku.

"Kamu yakin mau terus nulis di social media? rawan lho. Nanti kalau ada yang gak suka kamu gimana?" tanya seorang teman, berkali-kali yang membuatku terus bertanya pada diriku sendiri. Siapa sih manusia di bumi ini yang ingin tidak disukai?


-
Suatu waktu, aku melihat ke sekelilingku. Banyak sekali orang-orang yang suka menulis, dan mereka menulis dengan baik. Tidak sepertiku yang hanya bisa sampai sini. 

Aku sempat berada di posisi di mana aku bertanya-tanya mengenai bagaimana pendapat mereka jika melihat tulisanku? 
Betapa 'sok' nya aku menulis di berbagai platform, bukan?

Mungkin di masa itu, aku sedang dalam proses mengenal diri. Aku tidak tahu arahku hingga aku lebih memperdulikan pendapat orang lain dibandingkan melangkahkan kaki ku.

-

Keinginan untuk berhenti itu, sempat semakin mantap. 
Ya. untuk apa aku menulis dan mempublish nya di internet.
jika aku menulis dan menyimpannya sendiri, sepertinya tidak ada salahnya. 

Dalam kebingungan itu. Handphone ku tiba-tiba bergetar.

"Shin, makasih ya udah nulis" tulis temanku di direct message instagram.
Aku terdiam ketika membacanya, kenapa harus berterimakasih? Bukannya aku yang harusnya berterimakasih karena dia sudah repot-repot mau membaca tulisanku yang sebegininya?

"Makasih ya Shin. jadi reminder. Boleh aku repost?" tulis teman yang lainnya. 
"Oh iyaa boleh, makasih kembali yaa" jawabku, kemudian kembali terdiam... 
Apa ini? Perasaan apa ini?

Hatiku menghangat. 
Aku ingin menulis lagi...

Pikiranku melayang, ke hari-hari di mana aku menulis secara diam-diam di platform tumblr. Waktu itu, kelas 1 SMA: Tidak apa-apa, tidak di baca oleh orang lain. Aku hanya ingin mengutarakan perasaan-perasaan yang ku rasakan di tempat yang bisa aku kunjungi setiap saat. Tulisan-tulisan itu semakin hari, semakin banyak. Tapi suatu hari aku nekat menghapus semuanya. Ada ketakutan, barangkali akan ada yang membacanya. Aku malu.

Malu jika tulisanku di baca oleh orang lain. Orang lain akan menyangka aku orang seperti A, B, C, D. Merangkai ekspektasinya sesuai dengan apa yang aku tulis.
Aku juga merasa tidak pantas untuk menulis, karena aku sadar benar kapasitasku.
Tapi aku tidak bisa mengelak. menulis menciptakan kebahagiaan tersendiri.
Mungkin karena aku bisa mengekspresikan apa yang ku rasa. 
Aku lebih lancar berbicara melalui tulisan dibandingkan dengan lisan. 

Tapi aku selalu takut, pandangan orang lain atasku. Aku selalu risau dengan penilaian orang. Lantas bagaimana caranya perasaan itu tersampaikan?

Aku kemudian tersadar, aku kembali ke titik itu ternyata. Titik dimana aku tidak percaya akan diriku sendiri. Di mana aku lebih mementingkan apa yang orang lain pikirkan dibandingkan keinginanku sendiri.


-
Aku bertanya pada diriku sendiri:
"kenapa kamu menulis?"
"karena senang, karena dengan menulis aku merasa memiliki teman"
"Lantas, kenapa kamu memostingnya di sosial media Shin?"
"Kamu lupa?, katamu kamu ingin memiliki bekal kematian"

-
Bulan oktober kemarin, aku mengikuti salah satu kelas dari makna akshara (sebuah komunitas yang mengusung diskusi psikologi) mengenai penyembuhan luka.

Pemateri kelas hari itu adalah seseorang yang pernah di bully, bukan hanya dibully di sekolah tapi juga di rumahnya. Ia bercerita, bahkan pernah berpikir bahwa mungkin ia lebih baik mati dibandingkan hidup. Ia merasa tidak diinginkan.

Kamu tahu apa yang menyelamatkannya? Tulisan. 
Ia suka membaca majalah gadis.
Tulisan yang bahkan tidak terkoneksi atas apa yang ia rasakan, tapi itu membuatnya memiliki harapan untuk hidup.
Ia merasa memiliki teman.

Sejak itu, ia ingin bekerja di perusahaan majalah tersebut. Memiliki keinginan sampai berani untuk mengikuti rangkaian tes jurnalistik meski tidak memiliki latar belakang yang memadai, namun akhirnya ia terpilih menjadi salah satu penulis di sana. 
Menurutnya, mungkin di luar sana, ada orang-orang yang juga membutuhkan bantuannya melalui tulisan. Sebagaimana ia membutuhkannya. 

Setelah mengikuti kelas itu, aku sedikit berkontemplasi. Aku terkikik geli melihat diri yang ternyata menomorutamakan pendapat orang lain atas apa yang aku lakukan. 
Aku tidak harus disukai semua orang untuk melakukan sesuatu. Karena aku tidak bisa disukai oleh semua orang, akan selalu ada orang yang tidak menyukaiku. 
Yang menjadi PR adalah apakah yang aku lakukan benar atau tidak. Positif atau negatif.
Barangkali, tulisan yang tidak seberapa itu bisa membantu orang lain.

Selebihnya, biarkan pandangan orang menjadi angin lalu. Karena bisa jadi, apa yang kuupayakan dapat menyelamatkan seseorang.

-
Shintia, mungkin suatu hari, di masa depan, kamu akan merasakan yang sama. 
Dan aku harap kamu membaca ini. Sebagai pengingat mengapa kamu berani untuk memulai, berani untuk keluar dari zona nyamanmu dan berusaha mempertahankannya sampai sekarang. 
Teruslah melakukan apa yang ingin kamu lakukan selagi itu baik dan tidak bertentangan dengan nilai dan agamamu. 

Jika kemarin, teman-teman mu yang mengucapkan terimakasih atas tulisanmu yang tidak seberapa itu. Sekarang, aku yang berterimakasih. Karena sudah berani untuk menunjukkan apa yang kamu suka. Kamu harus tahu shin, aku baru saja membaca tulisan-tulisanmu yang telah lalu. Kamu ternyata berkembang, dan kamu bahkan menjadi pengingat bagi dirimu sendiri. Bahkan di setiap tulisan, terdapat kenangannya tersendiri. 
Terimakasih ya. Jangan menyerah hanya karena kata orang lain, ya. :)

No comments:

Post a Comment