"Aa 5 tahun yang lalu teteh kenal, sama aa yang hidup sama teteh sekarang beda, ia."
ucap kakak sepupu saya ketika membicarakan suaminya beberapa bulan
lalu. Kalau bertemu, kami memang kadang bercerita kesana-kemari tentang
hidup yang dijalani. Perbedaan umur yang lumayan, 12 tahun, gak lantas
membuat kami gak nyambung saat mengobrol.
Kalimat
itu sampai sekarang, masih saja terngiang di ingatan. Kala itu, saya
hanya mendengar dan mengangguk. Gak sepenuhnya mengerti apa yang
dimaksud. Mungkin karena saya yang gak ngerti maksudnya apa, jadi
keinget terus.
Kalau
begitu, bukankah artinya kakak sepupu saya belum mengenal suaminya
dengan baik? Terus kenapa menikah kalau belum mengenal dengan baik?
Apa
lantas kaka sepupu saya ini sekarang menyesal telah menikahinya? Hmm.
Saya rasa nggak, gak terdengar nada getir, bahkan sampai sekarang ibu
nya pun terus-menerus memuji suaminya.
Saya baru mengerti maksudnya akhir-akhir ini, setelah menengok lebih dalam ke diri sendiri.
Saya satu tahun yang lalu berbeda dengan saya yang sekarang, begitu
juga saya satu bulan yang lalu berbeda dengan yang sekarang, saya
kemarin berbeda dengan yang sekarang, bahkan saya satu menit yang lalu
berbeda dengan yang sekarang karena manusia terus menerus mendapatkan
stimulus
.
Saya merasa diri selalu sama karena bertemu diri saya setiap hari, setiap menit, bahkan setiap detik.
Tapi
kalau nginget-nginget masa lalu, saya memang gak bisa menapik diri ini
berubah. Itu pun terasa berubah karena perubahannya sudah banyak.
Manusia itu dinamis, katanya. Ternyata memang iya, bahkan sedinamis itu.
Maka
ketika saya merasa mengenal seseorang, nyatanya saya gak begitu
mengenalnya karena manusia terus berubah. Kita gak pernah betul-betul
mengenal oranglain. Terkadang malah mengenal diri dengan baik saja belum
tentu.
Jadi ngerti, kenapa kakak sepupu saya bilang gitu. Manusia berubah.
Manusia terlihat sama, karena konsep hidup (atau hanya beberapa konsep hidupnya yang dulu) masih dipegang teguh.
Walaupun
Konsep diri pun bisa saja berubah. Jadi ngerti juga, kalimat "Allah
Maha membolak-balikan hati". Karena manusia berubah semudah itu.
Tahun
lalu, saya mengonsep diri saya dengan konsep diri yang baru. Saya
berfokus untuk menghilangkan sedikit-sedikit kekurang percaya dirian
saya, mengurangi kadar ke-introvert-an dan sebagainya.
Nyatanya
saya berproses, kalau diinget-inget bahkan dulu saya selalu menunduk
kemana-mana, bukan karena saya lagi menundukkan pandangan tapi karena
saya gak berani untuk menatap kedepan, saya gak percaya diri. Buat nanya
orang jalan aja dulu gak berani, lebih baik saya nyasar hahaha,
ternyata saya dulu se-gak-pd itu.
Perubahan
konsep diri ini pun bisa dipengaruhi orang-orang yang memberikan
stimulus tertentu. Guru saya dulu pernah ngasih nasehat sama saya,
karena saya jalan menunduk dan membungkuk terus---beliau yang pertama
kali menyadarkan bahwa saya itu orangnya kurang percaya diri. 'Kalau gitu terus gimana bisa maju?' katanya.
Tapi yang baru saya sadari adalah konsep diri ini harus selalu di upgrade. Manusia
terstimulus dari apa yang didengar, dari apa yang dilihat, dari apa
yang dirasakan. Cara pandang akan berubah. Cara menyikapi sesuatu akan
berubah dan bisa jadi meninggalkan nilai-nilai penting dalam konsep
diri.
Karena kadang manusia terlena, gak menyaring stimulus-stimulus
tertentu yang ternyata merugikan. Inilah hal yang saya rasa terjadi pada
diri saya setelah menengok kembali ke masa lalu. Keluar jalur konsep
diri.
Ah
berbicara tentang perubahan. Rasanya di masa yang akan datang,
selanjutnya, saya ingin jika suatu hari nanti ketika ada orang yang
merasakan saya berubah.
Gak ada nada getir yang
terdengar dalam suaranya ketika berbicara mengenai saya, gak ada
kekecewaan yang tersirat dalam hatinya. Saya harap orang itu merasakan
kebahagiaan atau rasa syukur karena saya telah berubah.
Saya ingin perubahan dengan berjalannya waktu membuat saya tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
“Kayaknya yang dibalik hati itu bener deh” ucapmu yang
sedang memesan ojek online tiba-tiba menyinggung film pendek yang ditonton baru-baru ini. Dibalik hati, menceritakan
mengenai hati manusia yang seringkali tergoda dengan bisikan-bisikan
setan.
“Hm? Kenapa?”
“Tadi pagi, waktu liat insta
story-nya. Yang aku liatin ituu, kan lucu tuh. Pengen banget ngebales.
Isinya sih cuma ketawa ‘hahaha’ gitu doang, gak lebih.”
Sebelum melanjutkan. Kamu menghela nafas sebentar.
“Tapi ada pergolakan batin. Di satu sisi aku pengen tapi di
sisi lain aku ngerasa, buat apa ngirim kayak gitu, genit banget ga sih
kesannya, kesel banget aku sama diri sendiri”
Kamu lalu memperagakan seperti ada orang yang berada
disampingmu selain aku. Aware sebelah
kanan dan kiri.
“Ada bisikan-bisikan kayak ‘Gapapa, kan cuma hahaha doang’
‘Gapapa kan siapa tau memang jodohnya’ ‘Gapapa, kan kamu juga kalau di kirim
hahaha sama orang lain biasa aja’. Untungnya ya, aku mikir lagi, cara
mempersepsikan tiap orang kan beda, aku ya aku. Dia ya dia. Lagian kalo emang
jodoh, gak harus sekarang, gak akan kemana gak sih?” Lanjutmu.
Aku yang mendengarkan hanya bisa mengangguk. Tersenyum
miris. Dan menjawab “Iya, memang bener”
Si gak apa-apa ini merupakan apa-apa yang diselimuti seakan
oleh kebaikan. Gak apa-apa detik ini, iya. Tapi kedepannya? Yakin gak bakalan
apa-apa?
Seakan diri sendiri berpikir dan akhirnya menemukan
jawabannya, dari hati.
Seakan-akan bukan dari bisikan dari apa yang ada di sebelah
kanan dan kiri kita. Pergolakan batin, yang kadang gak kerasa kayak pergolakan
batin. Jalaninnya berasa baik-baik aja.
Berasa cuma diri-sendiri yang ambil keputusan. Berasa
pilihan keputusan yang ada berdasarkan apa yang dipikir, bukan dari malaikat
atau setan yang lagi berbicara di telinga kanan dan kiri kita.
Hal ini bukan hanya terjadi di hubungan asmara, men. Hubungan sama temen pun, gitu.
'Gapapa, gausah dateng aja, alesan apa kek. Mereka juga dadakan.'
‘Gapapa, ngaret aja. Alesan apa kek. Lagian mereka juga pasti telat’
‘Gapapa, skip aja. Mager banget kan?’
‘Gapapa, kamu udah ngerjain bagian a ini. Gausah ikut kerja kelompok lah mereka aja’
Dan kalau dipikir-pikir. Bahkan sama Allah pun ternyata kita (read:aku!)pun begiitu.
'Gapapa masih lama waktu solatnya, kerjain aja dulu yang ini tanggung'
'Gapapa gausah lama-lama doa nya, masih banyak yang harus dikerjain'
'Gapapa nanti aja bayar puasa nya masih banyak waktu ke ramadhan selanjutnya'
'Gapapa ngajinya nanti aja masih ada waktu'
Aku yakin bukan hanya aku sendiri yang memiliki pergolakan
batin dengan si “Gapapa” ini. Dan kita gak bisa menyalahkan yang berada di
kanan dan kiri. Karena kita sendirilah yang menentukan pilihan keputusan yang
ditawarkan oleh mereka. Apa yang kamu ambil?
Kita gak pernah tau apa yang dibalik hati manusia. Hubungan
manusia muamalahnya di lisan: dengan lisan kita jadi tau apa isi hatinya, ah
walaupun gitu, kita juga gak tau apa dia berbohong atau enggak.
Adanya rahasia dibalik hati masing-masing ini pun gak
menjadikan kita boleh menghakimi hati orang lain karena perbuatannya.
‘Wah dia ngaji depan umum. Riya banget’ Padahal dalam
hatinya, mungkin dia hanya ingin bersyiar, berdakwah tanpa kata-kata, melainkan
perbuatan, agar diikuti orang yang melihatnya.
‘Wah dia gak ikut kerja kelompok, sakit katanya, pasti
bohong’ Padahal memang si dia ini sakit.
‘Wah dia ini ngomongin orang. Ngeghibah mulu’ Padahal dia
memang butuh temen sharing, karena
beban yang dipikulnya berat.
Pada akhirnya, hubungan yang ada dibalik hati adalah
hubungan dengan Tuhan. Apa yang dibalik hatinya? ketika kita -manusia-
menerka-nerka belum tentu benar, belum tentu bakal berakhir husnudzan,
seringnya? eh malah suudzon dan menjadi dosa. (Aku aja sih kayaknya)
Muamalah dengan hati, cuma Tuhan yang tau. Dan itu bukan
ranah kita sebagai sesama manusia.
Ranah kita adalah hati kita sendiri. Untuk merenungkan:
Apa yang dibalik hati
kita sendiri hari ini?
Sudahkah jujur dengan
diri kita sendiri?
Dan untuk mengingat: Bahwa kita gak pernah sendiri. Di kanan kiri
kita. Ada setan dan malaikat. Amal selalu dicatat. Dan Tuhan selalu melihat.
“Setan-setan itu
membuat kesan baik pada sesuatu yang hakikatnya jelek. Dan membuat jelek
sesuatu yang hakikatnya baik.” cr: on pict
Sudah sekitar dua minggu saya menutup
sementara akun instagram pribadi saya. Mau mencoba aja gimana rasanya hidup
tanpa liat postingan-postingan teman. Saya menyadari si instagram ini telah
menyedot banyak waktu yang saya miliki hanya untuk melihat dan memperhatikan
hidup orang lain, jadi kepo dengan privasi orang (yang mungkin mereka umbar
sendiri)---yang managak penting-penting amat sebenernya, saya gak tau tentang hidupnya
pun gak berdampak buruk buat kehidupan saya.
Ditambah lagi saya secara gak sengaja jadi
pribadi yang (tambah) buruk dengan judging
teman hanya karena postingannya walaupun hanya terlintas di hati. Dengan
instagram sendiri sebenernya bahan buat nge-ghibah-in orang jadi bertambah. Saya
pribadi gak suka di ghibahin, apalagi kalau dipelintir. Karena saya ingin ditreat dengan baik, saya pikir berkaca
adalah solusinya. Yah, walaupun kalau nantinya saya tetap dighibahin pun,
seenggaknya saya udah berlaku baik. Dan akhirnya saya memutuskan buat tutup
akun sementara: mau liat apa sih yang berubah dalam hidup saya apakah sesuai
ekspektasi atau nggak. Dan nantinya setelah dirasa cukup untuk menutup akun,
saya berencana membuka nya kembali khusus weekend aja (instagram saya sarana
mengenalkan blog ini sih. :’)).
Tapi di sisi lain, instagram ini merupakan platform besar dengan banyak fungsi. Gak
cuma tentang kehidupan pribadi, pun ada akun lainnya: politik, dakwah, berita,
komik, musik, dan sebagainya. Gak cuma berisi kemudharatan aja tapi ada juga
banyak manfaatnya. Jadi setelah menimbang-nimbang, saya memutuskan untuk buat
akun instagram baru, tentunya bukan atas nama saya. Di akun itu saya hanya follow akun-akun dakwah dan berita
(itupun di filter dulu), karena saya gak bisa memungkiri kalau saya butuh
siraman rohani plus berita karena yang dibungkus di instagram lebih menarik dan
apik untuk dibaca. Lumayan, akun ini hanya dibuka sesekali dalam sehari gak
kaya akun personal, tapi insyaAllah lebih bermanfaat dibanding akun pribadi
saya.
Dari akun instagram yang saya buat itu
akhirnya saya tau kalo masyarakat Indonesia lagi dihebohkan dengan puisi konde(?)-nya
Ibu Sukmawati. Karena emang kebetulan saya
follow akun dakwah jadi yang muncul postingan yang isinya itu semua, di explore pun isinya itu semua, sampe
beberapa hari ini masih aja tentang puisi itu. Efek algoritma media sosial
memang sangat-sangat nyata. Ooo echo
chambering~
Saya bukan budayawan, bukan juga sastrawan, cuma
orang biasa. Mendengar puisi tersebut pastilah saya merasa janggal, apalagi
agama saya islam. Saya gak ngerti makna dari puisi itu, tersurat kah atau
tersirat. Wallahualam. Saya gak mau ngomongin banyak tentang puisinya sih. Hanya
saja ada satu bait, yang kiranya sedikit familiar dengan apa yang telah saya
dengar saat sharing dengan teman
kuliah saya (sharing time dilakukan
jauh sebelum Bu Sukmawati membacakan puisinya).
-
Teman saya ini sebutlah namanya Bimo (bukan
nama asli, entah kalau nama asli takut kenapa-kenapa). Dia beragama kristen,
dan bukan berasal dari Jawa yang notabene mayoritas beragama islam. Dia berasal
dari luar Jawa, tinggal dekat dengan Danau Toba. Di sana isu agama gak seketat
di Jawa, islam pun dirasa bukan agama mayoritas karena penduduk beragama kristen
bisa dibilang hampir sama banyaknya.
Di tahun pertama perkuliahan, Bimo mengucilkan
diri, gak begitu berbaur dengan yang lain. Ketika saya tanya kenapa, ‘takut’
katanya. Karena di Bandung mayoritas beragama islam, begitu pula di jurusan
kami. Dia saat itu sedang berada dalam masa culture
shock, denial.
Hal yang membuat kaget dirinya untuk pertama
kali tinggal di Bandung, salah satunya adalah suara adzan. Di tempat tinggalnya gak ada suara adzan terdengar, sedari bayi dia gak biasa mendengar adzan
dekat dengan kupingnya karena dia tinggal di tempat yang mayoritas beragama
kristen. Bimo mengaku, dia pernah merasakan sangat terganggu dengan ada nya adzan.
Apalagi ketika shubuh.
“Tidur tapi jadi terbangun, gak bisa tidur
lagi aku” ucapnya dengan logat batak kental sembari tertawa.
Untuk setahun pertama, dia mengaku benar-benar
struggle untuk mengerti, menerima,
dan memahami bahwasanya adzan bagi orang yang beragama islam adalah sesuatu
yang penting, meski dia gak menyukainya, he
should accept it.
Mendengar itu, saya jadi terkagum-kagum. Saya
langsung berusaha menempatkan diri di posisinya. Bagaimana rasanya kalau saya
diharuskan tinggal di sebuah tempat dimana saya adalah minoritas, bagaimana
rasanya ketika aktivitas saya (apalagi tidur) terganggu karena aktivitas kepercayaan
orang-orang mayoritas yang berada di tempat itu yang saya sedari bayi gak biasa
mendengarkannya. Bagaimana pula saya akan menanggapinya, apa langkah yang akan
saya ambil untuk menyesuaikan, berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk menyesuaikan
diri. Walaupun pada akhirnya pasti saya pun akan menyesuaikan, tapi mungkin saya
gak menyukai -apalagi mencintai- aktivitas itu. Sebagaimana teman saya. Just accept it.
Aku tak tahu syariat islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzanmu
Puisi yang dibuat oleh Bu Sukmawati, mungkin
terdengar menyayat. Tapi mungkin kalau dari sudut pandang lain, kalau dari
sudut pandang non-islam, mereka bisa jadi menyetujuinya. Sebagai orang islam
saya gak tau apa yang ada di benak mereka. Teman saya adalah salah satu
orangnya, tapi dia menoleransi, menerima suara alunan adzan walau awalnya
sangat terganggu. Dan kita gak bisa memaksakan orang-orang itu untuk
menyukai-mencintai suara adzan. And we
also should accept it.
Salahnya sendiri, mungkin, karena Bu Sukmawati
adalah seorang yang beragama islam. Yang seakan-akan gak mencintai bahkan gak
menghargai agamanya sendiri. Mungkin itulah perspektif budayawan, entah. Atau
beliau terinspirasi dari cerita temannya yang berbeda agama, entah. Saya gak
bisa mengetahui niatan dalam diri seseorang, apalagi yang gak saya kenal secara
pribadi. Mengangkat sesuatu yang berkaitan dengan SARA memang berbahaya.
-
Hm.. dalam masalah ini, saya gak tau harus bagaimana
menempatkan diri saya. Karena saya masih bertanya-tanya mengenai arti
‘penistaan’ yang sebenarnya. Di satu sisi, ini adalah agama saya. Di sisi
lainnya, apa pula salahnya orang mengeluarkan pendapatnya.
“Kalau gak tau syariat islam, ya jangan
ngomong, jangan bikin puisi, belajar”.
Sebenernya bukan cuma soal agama. Soal pengetahuan, soal temen, soal apapun kalau gak tau ya lebih baik diam, daripada gak bisa mempertanggungjawabkan----di hadapan manusia pun di hadapan Allah. Ini bisa jadi refleksi bagi kita (saya) kalau sekiranya gak tau soal sesuatu, masih menjawab sambil menerka-nerka kah? Atau diam? Hmmm.. "Camkanlah.. Jika kau diam saat agama mu dihina, lebih baik ganti bajumu dengan kain kafan."
Saya setuju dengan quotes ini, tapi bukan berarti kebalikan diam adalah marah dengan menggebu-gebu. Bisa jadi mendoakan. Bisa jadi menasihati. Bisa jadi tabayyun. Bukan cuma marah, bukan cuma memperkeruh suasana, dan bukan cuma perang.
Saya merasa janggal, tapi rasanya saya gak
pengen membenamkan diri dalam emosi. Terus-menerus berkutat dengan pemberitaan
ini. Apalagi berkutat dengan pemberitaan di instagram oleh akun-akun yang gak
bertanggungjawab yang seringnya bersifat provokatif. Saya jadi sadar, gila ya..
hanya di blow up di media sosial bisa
seberdampak ini dalam hitungan detik.
Gangerti lagi. Saya... merasa capek. Merasa
sayang dengan tenaga saya. Bukan berarti saya gak mencintai agama saya sehingga
saya gak membelanya. Saya tersinggung, jelas, karena membanding-bandingkan
agama saya. Tapi saya harus dapat menerima perspektif orang lain (walaupun itu
daari orang yang beragama sama). Saya sayang dengan tenaga saya kalau saya
hanya berkutat dalam postingan-postingan yang hanya membakar hati apalagi
sampai follow akun yang khusus
membahas permasalahan itu padahal tenaga saya bisa dibuat untuk yang lebih
bermanfaat. Saya bisa pergi ke masjid memenuhi panggilan Allah dengan tenaga
itu, saya bisa pula mendoakan Bu Sukmawati agar segera disadarkan dengan tenaga
itu (I do believe the power of dua will
never fail), saya bisa berdizikir dengan tenaga itu, dan banyak hal yang bisa
saya lakukan dengan tenaga yang dipakai hanya untuk terbawa emosi. Apalagi mengolok-ngolok berjamaah, membuang tenaga, malah sama-sama ikut berdosa karena
terbawa nafsu.
Olok-olok apanya?
Saya menemukan beberapa postingan yang
membandingkan foto Bu Sukmawati dengan perempuan bercadar dengan title “cantikan mana”. Yang tentunya
jawaban dari netizen adalah lebih cantik bercadar. Well, it depends on ur perspective, semua orang punya kriteria
“cantiknya”nya masing-masing. Tapi dari sudut pandang saya, sebagai sesama
perempuan, rasanya menyedihkan, membandingkan dua perempuan dengan menggunakan
kalimat tanya “cantikan mana” yang merujuk pada fisik---perempuan sangat
sensitif akan hal ini.
Di kolom komentar jelas ada -banyak- yang bukan
hanya memilih yang menurut mereka cantik melainkan mengomentari wajah Bu Sukma
dengan kata-kata yang menyakitkan, seperti (maaf) “gigi maju” dan lainnya. Di
mata saya, keduanya cantik, karena keduanya adalah ciptaan Allah yang Allah sudah
ciptakan dengan sebaik-baiknya. Hanya memang, cara berpakaiannya yang berbeda..
Why don’t you guys use “lebih
pilih/suka mana” instead of “cantikan
mana”? Menyerang kalimat dengan
menyerang apa yang diciptakan Allah, nonsense.
Gak seimbang mas dan mbak. Berniat membela agama, tapi malah menghina ciptaan
Tuhan.
Sumber: line/iki
Selain itu, adalagi postingan membandingkan Bu
Sukmawati dengan Pak Soekarno. Intinya sih, Ibu ini gak kayak bapaknya. Saya
langsung teringat video TED Talk yang saya tonton beberapa bulan yang lalu.
Video dimana seorang anak teroris mengungkapkan bahwa dia bukanlah bapaknya.
Dan yang harus diketahui, dia beragama islam. Dia bercerita tentang bagaimana
dirinya survive dari stereotyping dan menjelaskan bahwadia dan bapaknya adalah dua individu
yang berbeda.
Ketika orang selalu berkata buah selalu jatuh
gak jauh dari pohonnya, kita suka lupa, buah itu bisa menggelinding, menjauh,
bisa masuk ke jurang, terbawa aliran sungai dan akhirnya buah itu gak berada
dekat pohonnya bahkan sangat jauh (terinspirasi dari kating :’D). Dan begitu
pula manusia.
Kalau mau menyerang alangkah baiknya seranglah
kalimatnya, karena yang salah adalah kalimatnya, bukan membandingkan dengan
yang lainnya apalagi bersifat pribadi. Gak usah membengkak menyerang
kesana-kemari. Berikut video TED Talk-nya.
Sedihnya lagi, ketika Bu Sukmawati ini memberi
klarifikasi, ketika beliau meminta maaf, banyak dari para netizen yang malah
menyinyiri.
“Udah
bau tanah bukannya tobat” YaAllah, lantas apakah itu
menjadikan kamu boleh menghina dengan kalimat pedas kayak gitu?
“Pasti
cuma pencitraan, nangisnya gak asli tuh keliatan dari raut mukanya”, Siapa bilang? Siapa yang tahu isi hati orang? Siapa yang tau gimana
rasanya diserang netizen se-nasional? Kalimat yang kamu tuliskan di media
sosialmu, berdampak pada psikologi orang lain. Jadi inget salah satu video TED
Talk juga mengenai pembullyan media sosial, berikut videonya.
Dan masih banyak lagi.
-
Saya bukannya membela Bu Sukmawati. Bu
Sukmawati memang bersalah menggunakan aspek SARA sebagai puisi, apalagi
Indonesia sedang berada di masa sensitif-sensitifnya. Saya cuma capek, gerah,
geram dengan masyarakat yang gak mencerminkan bahwa islam itu agama yang damai.
Karena sampai saat ini, yang membuat saya melakukan ibadah sama Allah salah
satunya adalah karena saya mendapatkan kedamaian, kebaikan, kesejukan dari itu
semua. Sejak kapan islam bukan lagi mengingatkan dan malah menyinyiri atau
memenjarai? :’)
Ah.. Saya juga merasa prihatin, menyadari orang
luar negeri sedang menonton apa yang terjadi di Indonesia, asyik kayaknya. Mereka
levelnya sudah ke meributkan masalah artificial
intellegent yang semakin terlihat dengan kemunculan Sophia---robot yang
mirip manusia dan sudah dianggap sebagai warga negara oleh Arab Saudi. Kita?
malah terus menerus tenggelam ribut dengan isu sosial tanpa berpikir bahwa bisa jadi ada orang yang menunggangi di
belakangnya. Penggiringan opini. Terus-menerus meributkan bahasa yang
memang bersifat ambigu seakan bahasa adalah angka yang bersifat pasti. Dan
ketika berbicara tentang artificial
intellegent, banyak dari kita yang gak tau bahkan gak tertarik akan itu.
Apa kita mau terus-terusan tertinggal? Apa kita baru melihat prestasi manusia seperti artificial
intellegent ini ketika sudah jauh berkembang? Apa kita gak bosan menjadi
negara dengan title berkembang melulu?
Terakhir, sebagai reminder dan self-reflection:
-
-
-
Note:
Bimo bercerita dia pernah merasakan sangat
ketakutan ketika dia merayakan natal di tahun pertamanya tinggal di Bandung. Ia
pertama kalinya merasakan diskriminasi sebagai kaum minoritas. Saya lupa dimana
dan nama bangunannya apa, yang jelas masih sekitar Bandung.
Jadi di natal waktu itu, Bimo baru aja naik ke
atas panggung untuk menyanyikan puji-pujian. Ketika dia dan teman-temannya
mulai bernyanyi, pintunya di dobrak. Lalu ada teriakan “Gak ada natal-natal,
Allahuakbar!”, beberapa orang dengan kopiah putih masuk dan membubarkan acara
natal itu. Orang-orang yang sedang beribadah lantas memutuskan untuk mengalah. Ketika
orang-orang di dalam bangunan akhirnya berbondong-bondong keluar dari bangunan
itu, mereka tetap melantunkan puji-pujiannya. Dan tahu apa yang dikatakan
kelompok yang datang mendobrak acara secara tiba-tiba itu? “Gak usah
nyanyi-nyanyian, Allahuakbar! Allahuakbar!” dan mereka terus-menerus berteriak
seperti itu sepanjang orang-orang yang sedang dibubarkan dan membubarkan diri
tersebut gak menghentikan nyanyiannya.
Bukanya ini bisa dibilang bentuk menistakan
dua arah? Agama sendiri –yang tidak mengajarkan untuk spt ini- dan agama lain
–yang aktivitas keagamaanya dilarang-? Apa beritanya dimuat di media? Nggak,
men. Ketika saya seringkali melihat netizen protes bahwa agama islam
didiskriminasi karena jarang ada pemberitaanya kalau terjadi kenapa-kenapa. Ternyata
begitu pula yang terjadi pada mereka. Kita gak membuka mata atas itu semua.
Lantas kenapa orang-orang ini gak dituntut dari dalam sendiri sebagai penghinaan?
Tapi Bimo tetap berusaha menghargai adanya
adzan walau menurutnya puji-pujian lebih indah baginya, Bimo pun gak lantas
membenci islam karena dia mengalami diskriminasi, dia tetap berusaha menghargai
aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agama islam meski ia pernah diganggu
saat melakukan aktivitas acara besar dalam agamanya.
Saya senang bisa berteman dengan orang seperti
Bimo, yang lantas gak menutup dirinya dan lantas menjadi Islamofobis. Saya
senang dia mau bercerita tentang hal-hal yang sangat sensitif seperti ini dan senang
saya adalah orang yang ia pilih untuk bercerita. Saya senang punya teman dengan
berpikiran terbuka seperti dia. Alhamdulillahirabilamin..
Kita pun ternyata bisa menjadi orang yang
menistakan dan menghina agama sendiri, dengan ucapan dan kelakuan kita. Bukan
cuma orang-orang eksternal yang harus berhati-hati dengan ucapan dan aktivitas
yang dilakukan. Tapi dari internal juga. Apa lantas kita pantas untuk
membesar-besarkan, menghukum orang yang dianggap menistakan karena salah ucap,
salah mengerti, salah memahami, dan berbeda perspektif ketika sejumlah
orang dari kita sendiri bahkan menghentikan aktivitas besar keagamaan agama
lain (yang bahkan gak ada dan gak
menuntut tindak lanjutnya)? Andaikan Idul fitri kita diusik, kira-kira apa ya
yang akan terjadi?