Media Literasi: Adikku Terpapar Pornografi

“A A A A Aisyah Jatuh Cinta pa papa pada Jamilah”


Siapa yang tidak pernah mendengar lirik lagu diatas? Salah satu lagu yang viral di Indonesia menjelang Bulan Ramadhan beberapa waktu lalu. 

Dipadu dengan goyang dua jari oleh para pengguna aplikasi Tik-Tok, lagu yang berjudul Aisyah Jatuh Cinta pada Jamilah ini langsung menjadi konsumsi publik---Entah yang sekedar kepo, sampai yang ingin mengikuti trend video goyang dua jari. Karena adanya lagu dan goyang dua jari ini, aplikasi Tik-tok menjadi makin digemari dan menjadi salah satu aplikasi yang banyak dipakai oleh generasi muda Indonesia.

Cr: Asumsi.co

Kebetulan saat Tik-Tok Viral, aku sedang menjalani akhir dari semester empat. Di semester ini, aku mengontrak mata kuliah media literasi. Sebuah mata kuliah, yang hanya ada di jurusan Ilmu Komunikasi di beberapa Universitas di Indonesia (sombong, eh bangga x’p).


Dalam Final project mata kuliah media literasi ini, kami diminta turun ke masyarakat untuk mengadakan sebuah event media literasi yang sasarannya disesuaikan dengan keputusan masing-masing kelompok. Hal ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat yang masih asing dengan media literasi. Karena berbeda dengan negara Eropa dan Amerika yang sudah memiliki perhatian besar untuk mengantisipasi media baru dengan memasukan pendidikan media literasi ke dalam kurikulum sekolah sejak tahun 1970-an. Indonesia, hingga kini media baru hadir masih belum menerapkan pendidikan media literasi dalam kurikulum sekolah.


Sekolah-sekolah di Indonesia sekarang sedang berusaha menerapkan gerakan literasi karena minimnya budaya baca. Namun belum sampai pada media literasi. Maka dari itu, dengan bermodalkan sedikit ilmu tentang media literasi, kami turun dengan harapan dapat membawa perubahan di masyarakat.


Kelompokku sepakat untuk menyasar murid-murid kelas 4, 5 dan 6 di salah satu Sekolah Dasar di Bandung. Kami menyasar murid Sekolah Dasar, karena menyadari dewasa ini banyak orangtua yang memberikan Handphone kepada anaknya begitu saja, yang seringkali penggunaannya sulit bahkan tidak dikontrol. Selain itu maraknya video Tik-Tok yang beredar di Sosial Media dengan goyangan tidak patut, banyak menampilkan anak-anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.

cr: istock

Sebelum mengadakan Event, kami melakukan observasi dengan quisioner media literasi yang dibuat semenarik mungkin dan mengobrol singkat dengan guru yang mengajar di sana. Banyak fakta-fakta yang kami temukan. Selain memang banyak pegguna Tik-Tok di SD tersebut.
 Ternyata terpaparnya adik-adik ini lebih dari apa yang kami perkirakan.


Banyak anak yang sudah terpapar pornografi. Berdasarkan keterangan guru -yang sangat menyetujui kami melakukan event media literasi seperti ini-, beberapa anak diketahui sudah menonton video porno dan beliau sangat khawatir atasnya.


Ia menerangkan, ada murid yang sudah terbiasa menonton video porno sejak kecil, karena sudah diberi kebebasan oleh orangtuanya menggunakan handphone agar ia tidak rewel. Efeknya, kini ia akan meraung-raung bila tidak diberi tontonan video porno.


Ada pula anak yang menemukan film porno di handphone orangtuanya (kebetulan orangtua PSK). Guru itu sendiri pernah mendapati murid yang (maaf) menggesek-gesekkan kemaluannya ke meja di jam sekolah.  


Selain itu, beliau mendapat laporan (Wallahualam) dari tetangga salah satu murid di sekolah itu. Ketika pelapor ini bertamu, ia mendapati murid tersebut (maaf) sedang menciumi kaki ibu nya yang sedang tidur menggunakan daster. Ketika sang pelapor mencoba memberitahukan sang ibu mengenai hal ini, Ibu tersebut malah marah-marah dan tidak percaya.


Mendengar ini, aku hanya bisa geleng-geleng. Antara percaya dan tidak percaya. Adik-adikku terpapar pornografi karena keteledoran orangtua. Lahir sebagai salah satu dari generasi Z yang tidak asing dengan kecanggihan teknologi, sudah sepatutnya aku bersyukur. Perubahan sosial yang terjadi akibat adanya smartphone yang marak di generasi ini, banyak membuat banyak hal menjadi begitu mudah, bukan hanya akses informasi dan komunikasi, tapi juga berbagai kegiatan sehari-hari: transportasi, perbelanjaan, dsb. Namun, teknologi tanpa ilmu, media literasi sendiri seolah menjadi pisau bermata dua, kecanggihan justru merusak para penerus bangsa.


Di hari kami mengadakan event, aku menyusuri satu-per-satu wajah mungil mereka. Ingin rasanya kembali menjadi mereka, terlihat bebas tanpa beban. Tapi mengingat apa yang dikatakan oleh guru mereka membuatku merasa tidak rela. Mesti nya mereka masih jernih. Bukan dewasa sebelum waktunya.




Dalam pelaksanaannya, alhamdulillah, aku tidak mendapati banyak kendala. Sesi mentoring berjalan menyenangkan dengan siswa-siswi yang antusias. Bernyanyi bersama dengan yel-yel media literasi. Aku berharap mereka mengerti dan menerapkan sepenuhnya hal-hal mengenai media literasi yang sudah diajarkan.

Event selesai, kami beristirahat sejenak, rasa haus tidak tertahankan, kami harus teriak-teriak  walaupun sedang berpuasa karena kelas yang gaduh (namanya juga anak SD, buk). Dua orang temanku (perempuan) tiba-tiba datang menghampiriku, ketakutan, bercerita bahwa mereka berdua dipeluk oleh seorang anak laki-laki. Mereka merasa ia meraba bagian tubuh mereka. Sontak aku terkejut. Berani sekali. Sudah masuk ranah pelecehan seksual. YaAllah, sudah sebobrok ini kah?


Selama ini, media literasi banyak dinilai tidak penting. Karena kecanggihan media dapat dipelajari secara otodidak. Mengenyampingkan konten media yang dibuat untuk mempengaruhi dan memiliki tujuan tertentu. Media hadir datang sebelum masyarakat memiliki ilmu media literasi.


Media literasi bukan hanya keahlian sekedar tentang mengakses media. Karena tanpa buku panduan pun masyarakat dapat mengakses hanya dengan coba-coba. Media literasi berarti mengakses, menganalisis, mengevaluasi dan memproduksi konten mediaSebagai orangtua hendaknya sebelum memberikan handphone, ia ikut andil dalam mengakses, menganalisis, mengevaluasi aplikasi dan apa-apa yang bisa diakses oleh anaknya. Karena jika orangtua sebagai stakeholder dalam kehidupan anak saja tidak mementingkan media literasi. Bagaimana ia dapat mengerti (membimbing) betapa (dan bagaimana) media dapat mempengaruhi psikologi anaknya?


cr: Aswida's article

Membumikan dan belajar media literasi menjadi PR penting bagi para penggiat media sosial,  (calon) orangtua, dan (calon) guru. Alih-alih mengolok-olok generasi ini dengan sebutan generasi micin. Aware media literasi merupakan langkah besar yang sangat penting untuk berkontribusi dalam pendidikan generasi penerus bangsa. Karena media baru seperti handphone bersifat bebas, tidak lagi dapat direm, kecuali dengan kesadaran diri.

Menikmati yang Biasa atau Mengacuhkan yang Biasa

Dalam seminggu, setiap harinya, aktivitas saya tidak lebih dari sebuah pengulangan. Sebagai mahasiswi, kalau bukan belajar, ya urusan organisasi. Meski hari demi hari dijalani berbeda, tapi entah kenapa tanpa disengaja semua tergeneralisir menjadi ‘biasa’. Mengulang dari hari sebelumnya atau dari minggu sebelumnya. Karena biasa, sebuah kesempatan bisa membuka mata di keesokan hari, rasanya seringkali terlupakan kenikmatannya.

Saya membayangkan, jika hari ini hidup saya normal--sehat wal-afiat. Namun keesokan harinya, kedua mata saya menjadi buta atau kedua kaki saya tidak lagi bisa digunakan (lumpuh). Saya pasti akan bersedih, bertanya-tanya mengapa, dan ingin kembali menjadi sehat. Lantas, sebuah pertanyaan muncul dalam benak. Apa sesuatu yang biasa ada harus terdistraksi terlebih dahulu, agar saya lebih banyak paham dan bersyukur?

Selain itu, rasanya, Yang dilakukan pertama kali, selalu mendapatkan apresiasi lebih, berbeda dengan pengulangan. Untuk pertama kali nya saya menginjakkan kaki di kampus sebagai mahasiswi, saya lebih aware terhadap tugas-tugas yang diberikan pun apa yang disampaikan oleh dosen. Namun semakin biasa saya pergi ke kampus, saya justru terjangkit penyakit malas bin mager. Dosen yang kehadirannya ditunggu-tunggu saat menjadi mahasiswa baru, menjadi ditunggu-tunggu ketidakhadirannya. Sedang, di sisi lain, banyak teman-teman yang terkendala oleh biaya sedang ingin masuk kuliah seperti ‘biasa’. Kembali muncul pertanyaan. Apa kebiasaan saya yang mendapatkan kenikmatan dan kemudahan dalam berkuliah ini harus terdistraksi terlebih dahulu (tersendat-sendat, kesulitan ini-itu) agar saya lebih menjalani keseharian dengan penuh syukur dan apresiasi?

Apa.. saya manusia itu--yang sangat kurang bersyukur?

Lantas, sampai kapan menjadi seperti ini terus?

Menengok ke Belakang


“Tengoklah ke belakang, Apa-apa yang membuatmu meminta dan tangisi sehingga kamu sampai di titik ini”


Kalimat di atas muncul dalam sebuah foto di timeline instagram saya, kemarin sore. Seperti sebuah kebetulan. Beberapa waktu ke belakang ini saya menyadari bahwa banyak hal yang berubah dalam hidup. Saking banyaknya, rasanya seperti sebuah keajaiban. Well, walaupun memang semua di kehidupan ini ajaib. Tapi saya benar-benar baru menyadari nya.

Beberapa orang yang asalnya jauh tiba-tiba didekatkan. Orang-orang yang sebelumnya tidak saya kenal sama sekali tiba-tiba datang. Aktivitas yang sebelumnya saya tidak pernah terpikirkan akan dilakoni, menjadi aktivitas harian. Tempat yang begitu asing menjadi sangat akrab.

Semua hal berubah. Begitu cepat.

source: in pict

Beberapa teman dekat mengomentari cerita saya ini dengan: memang udah jalannya.

Saya sebelumnya tidak pernah menyadari ini, bahwa.. Masing-masing dari kita saling terhubung satu sama lain. Tanpa disadari. Dan itu adalah takdir.

Selama ini, pikiran saya ketika membicarakan takdir, tidak lebih dari “orang-orang yang menetap dalam jangka waktu yang lama”. Ternyata, tidak se-simpel itu.

Kenapa dari sekian banyak orang di muka bumi ini. Saya harus dipertemukan dengan A, B, C? Kenapa bukan yang lain?

Orang-orang yang berlalu-lalang. Orang yang saya temui di suatu tempat. Orang yang sekarang berada di sekitar saya. Orang-orang yang memenuhi perasaan saya. Orang-orang datang dan pergi.  Semua terkait.

Salah satu tutor Bahasa Inggris ketika saya belajar di Pare pernah berujar: Kalian bertemu dan berpisah disini adalah karena takdir. Yang disatukan oleh dorongan hati yaitu cita-cita.

Setiap dorongan hati itu awalnya dari mana?

Stimulus yang ditangkap untuk menguatkan dorongan hati itu siapa  yang memberi?

Ya. Allah.

Takdir, ketentuan Allah.

Bukan hanya dorongan hati mengenai cita-cita. Ketika saya berpapasan dengan seseorang dijalan. Rasanya itu pun bukan hanya sebuah kebetulan belaka. Siapa yang menggerakan hati saya dan dia untuk pergi ke tempat yang dituju? Meski pun, tempat yang dituju oleh kami berbeda, siapa yang bisa menyocokkan waktu kami agar dapat berpapasan?

Kalau begitu saja diatur oleh Allah. Apalagi orang-orang yang berada dikeseharian... Memangnya ada yang dapat mengatur itu semua kecuali Allah?

Pikiran lantas melayang ke hari-hari dimana saya begitu meminta. Meminta yang terbaik sembari sesenggukan. Bulan-bulan yang dilalui dengan berat. Melepaskan banyak hal dalam satu waktu.

Yet now, Everything’s gettin’ better. And I don’t know how to explain it. I’m just...grateful.

Waktu itu, rasanya, saya adalah orang yang sangat miskin. Bukan dari harta. Tapi aspek lain yang tidak bisa dibeli menggunakan uang. Banyak hal yang jauh sekali dari keinginan. Banyak hal yang mengusik kedamaian hati.

Tapi ternyata, konsep miskin itu tidak ada. Selama yakin dan meminta pada Dzat yang Maha Kaya.

Apa saya bisa membeli teman-teman yang baik untuk tetap berada di sekitar saya?

Apa saya bisa membeli suatu momen atau situasi yang datang pada hidup saya?

“dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu menginfakkan (semua) kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana” [8:63]

Banyak sekali hal menentramkan yang datang pada saya akhir-akhir ini. Bukan karena saya baik. Saya tau jelas, betapa saya sudah banyak mengecewakan Allah. Betapa bobroknya hidup yang saya pilh untuk jalani. Hanya saja, Allah tidak memperlihatkan aib saya yang begitu banyak itu ke manusia lain. Padahal, Allah bisa aja menyingkap itu semua. Bisa saja Allah meninggalkan saya. Allah bisa aja menelantarkan saya. Tapi karena Allah Maha Baik. Allah masih saja berikan kenikmatan...

Dari sini, saya memahami bahwa konsep miskin yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak memiliki Allah. Karena sebagai manusia, pada akhirnya, yang bisa dilakukan hanyalah meminta yang terbaik. Meminta untuk dimudahkan dalam segala urusan. Karena jika bukan karena Allah, saya tidak akan sampai pada titik dimana saya berada sekarang ini.

Meski tidak instan. Justru rentetan proses denial, menyabarkan, menerima, dan mengikhlaskan menjadi terasa begitu indah, ketika pada akhirnya.. setelah luka kian mengering Allah berikan kejutan indah. Alhamdulillah.


“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau dan tidak membencimu;
dan sungguh yang kemudian itu lebih baik daripada yang sekarang;
Dan sungguh, kelak TuhanMu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas” [93:3-5]