Ngobrol Sama Mama: Menjadi Istri dan Ibu

"Teteh inget waktu mamah sakit sampai di operasi?" Tanya Mama tiba-tiba, sembari mengoleskan lidah buaya ke kakinya.

"Iya inget, Ma. Kenapa?" Saya menjawab mengangguk. Yajelas saya ingat. Waktu itu saya baru saja duduk di bangku kelas 2 SMP. Saya dilarang ikut untuk menginap di rumah sakit bahkan menjenguk pun dilarang. Saya disuruh untuk fokus belajar di sekolah, padahal nyatanya kekhawatiran saya terus-menerus terasa..

"Beda kalau jadi perempuan sama laki-laki teh tanggungjawabnya"

Saya mengerutkan kening, gak ngerti maksudnya apa kenapa tiba-tiba mama ngomong gitu.

"Kalau nanti teteh udah jadi kayak mama, teteh juga gak bisa kaya sekarang"

"Maksudnya, Ma?" Akhirnya saya angkat bicara

"Iya, sekarang kan teteh lagi sakit nih. Bisa pulang dari Bandung ke rumah. Sengaja, biar ada yang rawat." Mama kemudian melirik saya. Saya membalasnya dengan cengiran manja.

"Tapi kalau nanti jadi istri, jadi ibu. Gak bisa kita full dirawat orang."

"...."

"Bapak sakit kemarin, bisa istirahat, bisa tidur tanpa ada kekhawatiran jangka pendek kayak... anak pulang jam berapa, anak kok belom pulang, anak pulang makan sama apa, uang jajan anak udah dikasih buat les atau belum. Full dirawat sama Mama, istrinya."

Memang, sebelum saya jatuh sakit. Bapak sakit terlebih dahulu. Rentang nya cuma satu minggu.

"Tapi kalau perempuan yang sakit, mau gak mau kita harus bisa ngerawat oranglain. Buat nyiapin sarapan, nyiapin perlengkapan sekolah anak, nyiapin lain-lainnya. Walaupun se-dirawatnya perempuan kalau nanti jadi istri apalagi ibu, kita harus bisa tetep ngerawat oranglain walaupun diri butuh dirawat."

Saya tetap diam, menyimak.

"Bahkan waktu mama mau operasi, mama nggak cuma mikirin tentang gimana operasi. Tapi gimana orang sekeluarga. Mamah harus tetep nyiapin baju-baju yang di pack apalagi kan si dede juga masih kecil, mikirin uang sekolah teteh perhari-nya kayak uang buat teteh makan, uang buat teteh les, dipisah-pisahin, keperluan-kepeluan lainnya juga dipikirin biar tuntas. Biar pas di rumah sakit, tenang"

"Tapi kan, Ma. Hal yang kayak gitu bisa sama bapak?"

"Bisa memang, Teh. Tapi kan bapak gak ngurusin keluarga secara keseluruhan di kesehariannya. Kalau bapak yang ngerjain nanti ada yang kelupaan atau apa-apa kan susah lagi"

Saya mengangguk, iya juga ya.

"Lagian Mama mah mandiri, Mamah kan dapetnya bapak....hmm...kebetulan dapet laki-laki yang.....manja:p" Lanjut Mama, kami berdua tertawa.

Kemudian saya teringat kabar tentang teman yang baru saja menikah. Nikah di umur yang muda, karena kebetulan teman satu angkatan Jadi umurnya kira-kira antara 19 atau 20 tahun.

"Kalau dipikir-pikir ya ma. Kemarin temen teteh kan ada yang nikah, baru-baru ini"

"Oh gerakan anti pacaran?"

Saya mengangguk. "Berarti dia hebat ya mah. Kalo Tia sih masih belum kebayang bakal gimana kalau sekarang. Tia tuh pulang kuliah pengennya tidur-tiduran, males-malesan, main hp. Kadang bete di kampus, pulang-pulang cemberut. Ada masalah, kadang mau nya nangis. Kalo ada suami mah jangan gitu mereun, Tia teh harus nyiapin apa-apa kalo pulang, harus ngelayanin. Tia teh harus senyum kalo bete dari kampus"

Kini giliran mamah yang diam, menyimak.

"Apalagi pas sakit, ini mah sebelum pulang, Tia juga kepikiran yang kata Mamah tadi. Nanti kalo lagi sakit kayak gini harus ngurusin anak ngurusin suami. Tia kepikiran aja berarti temen teteh ditemuin cepet sama jodohnya karena emang Allah tau dia udah bisa lewatin hal-hal kaya gitu. Hebat ya ma. Walau sepele ya sih, Ma. Tapi berguna yakan ma di rumah tangga?"

"Iya berguna. Jodoh mah beda-beda datangnya sesuai dengan kesiapan" Jawab Mama, yang kini sudah selesai mengoleskan lidah buaya ke kaki nya.

"Jadi keingetan Tia teh. Soal hidup jangan berlomba-lomba teh bener. Kayak kita lahir beda-beda, nikah beda-beda, mati juga beda-beda. Punya jalannya sendiri. Semuanya punya pilihan sama takdirnya ya ma?"

"Iya memang bener." Jawab Mama dengan nada penekanan gak kayak biasanya

"Mangkanya jangan panas sama orang lain. Lahir, nikah, mati punya waktunya sendiri. Yang penting jadi diri dari versi terbaik aja terus kita gak tau apa yang bakal dateng. Jangan manas-manasin oranglain juga kalau udah punya apa yang mereka belum." Lanjutnya

Saya mengangguk.

"Jaga lisaan" Tambah Mama

Kemudian terdengar adzan Dzuhur.

"Wah ma, harus dihapus lagi tuh lidah buaya nya" ucap saya meledek

"Iya, aduuh lupa liat jam kalau mau dzuhur" Kami berdua tertawa lagi. Dan tawa kami menjadi penutup pembicaraan mengenai istri dan ibu kemarin.

Manusia dan Kedinamisan 2

"Orang-orang kan banyaknya berhijrah-solat-balik ke Allah gitu karena ngerasa sedih, ya Shin. Tapi aku nggak gitu. Aku aneh tau.” Ucapmu membuka pembicaraan selagi menunggu makanan yang kita pesan.

“Iya. Kayak aku ya? hahaha” Balasku diiringi tertawaan receh. Dan seperti biasa, kamu hanya diam, melihat ke arahku menghujami dengan pandangan ‘yaampun’ karena kamu gak begitu mengerti kenapa temanmu ini se-begitu recehnya. :’) (Dia mengakui ini setelah kesekiaan kalinya kami berbagi cerita)

“Iya sih. Banyak yang karena ditimpa musibah, ditinggal orang yang disayang; orangtua, pacar, sahabat, pokoknya yang sedih-sedih gitu emang biasanya yang menyadarkan” Lanjutku berganti mode serius.

Kamu mengangguk cepat, “Aku justru karena dapet kemudahan terus selama ini”

“Aku tuh gak berusaha keras kayak orang lain, gak berdoa banyak-banyak kayak orang lain, tapi semuanya lancaaar. Bahkan kamu tau kan aku baru sekarang-sekarang ini ngelaksanain solat” 

Kini giliranku yang mengangguk menanggapi “Kok bisa gitu?”

“Aku gatau, Shin. Semua nya lancar aja. Aku sadar baru kemarin-kemarin.. Jadi aku dapet nilai UAS, tapi tiba-tiba nilai nya gede banget. Padahal aku ngerasa gak ngapa-ngapain, belajar jarang, tugas akhir alakadar, tapi ya nilai kok bisa segitu...

Nah, aku tiba-tiba inget. Kalau ada kelancaran, keajaiban yang terjadi di hidup kita itu karena....”

“Doa ibu yang dikabulkan" kita berdua berujar berbarengan.

Kamu kemudian mengangguk lagi “Aku ngerasa bersalah. Masa mamah aku ngedoain, suka bilang juga didoain terus. Tapi aku gak solat, aku gak ngedoain mamah.”

Kamu mungkin gak tau, wahay manusia teman sepermainan. Tapi dalam hati, aku berdecak kagum---padamu dan juga pada Tuhan kita, Allah. Kagum pada bagaimana kamu yang bisa menangkap sinyal Allah dan gak lantas terus-menerus lengah karena mendapat kemudahan, juga kagum pada bagaimana Allah yang begitu mudahnya membolak-balikan hati manusia, menghendaki hambaNya untuk kembali padaNya padahal Allah bisa saja terus membiarkan untuk terus menjauh---karena hakikatnya manusia yang butuh Allah bukan sebaliknya. Kasih sayangNya... seluas itu. 

Kita semua tau, sebagai manusia, keadaan terpuruk yang seringkali membuat kita lebih mengingat Tuhan. Bukan disaat bahagia. Tapi kamu berbeda, dan sebagai teman, aku merasa senang dan (jujur saja) bangga (uhuk). Teringat kalimat yang kamu ucapkan beberapa waktu setelah kamu memutuskan untuk melaksanakan solat lima waktu “Aku baru tau, gini kali ya yang dirasain orang-orang Hijrah, enaknya, nikmatnya”. Kamu tau? Ada desiran dalam hatiku ketika mendengarmu berbicara seperti itu.

Dan yang membuatku lebih kagum lagi adalah bukan hanya solat wajibmu yang kini kamu jalankan. Tapi juga solat sunnahmu. Dan Tilawah setelah solatmu. 

Beberapa hari yang lalu, aku pun sempat berkirim chat dengan salah satu teman dekatku, seperti kamu. Bedanya, dia telah menjadi teman dekatku sejak kurang lebih enam tahun yang lalu.

Dia bercerita mengenai seorang laki-laki yang dikenalnya, seseorang yang full bertato di sekujur tubuhnya. Kini ia dikenal sebagai laki-laki masjid, walaupun awalnya ditentang orang-orang, tapi dia tetap ingin mendekat pada Allah dan kini orang-orang mengakui keinginannya untuk berubah. Terbayang susahnya jadi dirinya. Yah, sejujurnya, siapa sangka?

Rasanya teringat pada Umar Bin Khatab. Siapa sangka orang yang ingin membunuh Rasulullah beberapa waktu sebelumnya menjadi orang yang ingin masuk islam? Dan menjadi orang yang paling melindugi Rasulullah?

Kita betul-betul gak pernah tau soal hati manusia. Kedinamisan dalam hati seseorang, masa depan seseorang, siapa yang tau.

Kesedihan bisa berbuah hidayah.
Amarah bisa berbuah hidayah.
Kesenangan bisa berbuah hidayah.
Dengan syarat: Asalkan, Allah berkehendak.

Maka, rasanya betapa piciknya ketika kita (aku) menilai -walau hanya selintas dalam hati- mengenai pribadi seseorang, menilai dari apa yang dilihat dan bagaimana ia kelak dimasa depan.

Berbicara mengenai hidayah, aku sering mendengar nasihat dari mana-mana untuk menjauhi orang-orang yang sekiranya kurang dekat dengan Allah. Untuk gak berada di lingkarannya, karena nantinya akan terbawa-bawa. Tapi aku memiliki perspektif lain, dari dulu, kekeuh, dan semakin kuat akhir-akhir ini.

Bagaimana kita bisa menolong teman kita yang berada pada lingkaran itu, jika kita enggan untuk mengulurkan tangan? Bagaimana kita bisa memberikan stimulus yang bisa merubahnya, jika bersamanya saja untuk memberi contoh dengan perilaku, sebegitu enggan nya? Bagaimana kita mengajak mereka kalau kita sendiri begitu angkuh, merasa memiliki iman yang tinggi, sehingga merasa gak cocok bergaul dengan orang-orang seperti mereka? 

Tentunya, masuk dengan gak meninggalkan lingkungan dengan stimulus baik.

Aku yakin, berteman itu bisa dan boleh dengan siapapun, pun rasa nyaman yang hinggap dalam pertemanan walaupun dirinya berbeda bukanlah hal yang salah. Namun tentunya hati-hati, tapi dengan siapapun juga. Bukan hanya pada yang berbeda tapi juga pada yang terlihat sama. Karena kita gak tau masa depan seseorang ketika kita bersama nya. Yang terlihat baik, bisa saja menjerumuskan. Dan yang terlihat buruk, bisa saja menolong. Hidup gak cuma hitam dan putih. Aku pikir disitulah guna nya prinsip, untuk dipegang kuat-kuat dalam kehati-hatian menjalani hidup. Balik ke hakikat pertanggungjawaban hidup: diri sendiri. 

Toh, sudah mulai terlihat sekarang. Banyak manusia yang dulunya jauh dari Allah. Justru bertaubat. Kita? Yakin mau tetap mengisolasi diri sebagai orang yang merasa sudah baik?

“Hidup itu bukan dilihat yang sekarang, apa yang dilihat sekarang belum tentu jadi jaminan. Manusia tidak bisa dilihat pada hari itu. Allah yang mempunyai hak untuk merubah manusia” - Alm Uje.

Aku hanya bisa terus menyemogakan: kamu, dia, dan orang-orang disekitarku terus-menerus berproses. Terus-menerus memperbaiki diri. Karena aku pun membutuhkan contoh-stimulus yang mendukungku untuk terus menerus berproses menjadi lebih baik.
Ya. Karena menjadi pribadi yang stagnan atau bahasa familiarnya: istiqamah, merupakan hal yang benar-benar sulit. 

Aku ingin sekali ada seseorang yang menariku ke dalam surga, jika nanti batang hidungku bahkan terasa gak mungkin terlihat disana. Aku ingin ada seseorang yang bisa berbagi nasehat, tanpa punya pikiran bahwa masing-masing dari kita sok menggurui, melainkan karena peduli. Dan karena aku ingin menolong orangtuaku yang merupakan manusia dan tidak luput dari dosa, juga menyelamatkan mereka dari kelakuan burukku yang mendorong mereka mendekat pada siksa Tuhan.
Aamiin Yarabal alamin.