Kita dan Kebiasaan Nyinyir

"Pantes aja dia lulusnya cepet, kan deket sama dosennya"

"Yaiyalah, dia kan pinter. Pantes sidang duluan"

"Dia mah ambil topiknya gampang, jadi sidang duluan"

 

 

 

Pernah mendengar kalimat-kalimat itu nggak? Um... untuk teman-teman yang mungkin belum sampai di semester akhir perkuliahan atau nggak kuliah, mungkin pernah mendengar kalimat serupa dengan konteks yang berbeda? Kalimat yang menonjolkan privilege (hak istimewa) yang dipunyai seseorang, sehingga secara nggak langsung merendahkan orang yang bersangkutan. Bahwa dia (yang punya privilege tersebut), mendapatkan pencapaian tersebut karena keberuntungannya.

 -



Hai. Selamat sore dari seorang mahasiswi semester akhir! ✋. Lumayan lama ternyata, aku nggak nulis di blog. Selama satu tahun terakhir ini, aku memang lebih fokus buat nulis di instastory. Karena di sana aku dapet banyak feedback secara langsung, biasanya via direct message. Beda sama di blog, kalau mau komentar harus log in dulu ke google. Repot kan ya?

 

 

Tapi sekarang aku nulis lagi di sini, dan inshaAllah ada keinginan untuk menulis blog secara konsisten. Karena kadang capek juga, nulis panjang di instagram. Karena harus edit fotonya, tulisannya, posisinya biar lebih enak untuk dibaca. Dan kalau tulisannya banyak, fotonya gak satu. Pegel juga, untuk nulis satu topik bisa memakan waktu lumayan lama. (sekian sesi curhatnya).

-



Jadi, aku ini kan sekarang lagi di semester akhir. Dan alhamdulillah sudah ada beberapa temenku yang lulus. Kalau aku? mohon bantu doanya ya.. InshaAllah sedang mengusahakan.

 

 

Kalimat-kalimat yang aku tulis di awal tulisan ini, rasanya bukan sebuah kalimat asing yang mampir ke telinga. Bukan setelah ada teman yang sudah sidang aja. Tbh, aku juga dulu sempat berpikiran gitu. Misalnya: 

 

 

"Pantes ya, orangtuanya kaya. Jadi sekolah di luar negeri juga gak masalah", 

"Yang dipilih yang cantik ya. Asal ada muka jadi lebih gampang ya".

 

 

Lately, aku merasa malu dengan diri sendiri yang pernah ngomong kayak gitu. I mean, bukankah ketika ada seseorang berbicara seperti itu dia hanya nggak mengakui bahwa dirinya iri karena nggak mendapatkan privilege yang sama?



Mengakui bahwa diri lagi merasakan iri itu memang nggak mudah. Tapi bisa dilatih. Bagiku, dengan lebih memperbanyak ngobrol sama diri sendiri. Mungkin bagi kamu yang lagi baca tulisan ini, beda lagi. Dan kamu harus menemukannya, cara mengontrol diri.

 


Suatu waktu, aku pernah membaca tulisan tentang emosi (kalau ketemu tulisannya akan aku screenshot/taro link di sini). Intinya, ketika kita ingin melepas sesuatu yang ada dalam diri kita: perasaan sedih, marah, iri, dsb). Jangan menolak emosi tersebut. Tapi terima dan akui. Akui pada diri sendiri perasaan itu ada. "Aku lagi iri sekarang, aku pengen berada di posisi dia. tapi aku gak bisa."

 


Setelah mengakuinya, maka lepaskan emosi tersebut. "Aku iri sekarang. Tapi iri ini bersifat sementara kok. Iri, kamu aku lepas ya.. Kamu gak baik buat aku. Bismillah". It may sounds funny, but it works on me. Memang iri, dan berbagai macam perasaan yang ada dalam hati kita itu manusiawi. Wajar dirasakan. Tapi bukan berarti karena wajar, lantas kita memeliharanya. Bukannya kita tahu bahwa perasaan itu nggak akan membuat kenyataan berubah, tapi akan terus membuat hati kita menjadi nggak damai. Mungkin, kamu bisa mencobanya? Siapa tahu, cara ini bekerja juga.

 

 

By the way, beberapa hari yang lalu aku chatting sama salah satu teman dekat ku di SMA. Kami beda universitas. Dia juga sama-sama mahasiswa akhir. Kami saling curhat mengenai permasalahan yang kami rasakan saat ini (penyusunan skripsi). Dia juga bercerita tentang temannya yang sudah sidang duluan. Ini sedikit screenshot yang ku ambil (sudah izin):



(Barangkali ada yang nggak ngerti bahasa sunda karena teks campuran)
 
 
 
Dia :Temen aku ada yang udah sidang dari juni apa juli gitu lupa. Terus beberapa mikirnya, yaiya da dia mah pinter, deket sama banyak dosen blablabla. 
Dan taunya apa coba? Dia tuh lagi sakit kan dan memang suka bolak-balik RS. 
Nah abis beres revisian, dia udah dijadwal operasi ternyata. Terus... koma seminggu. Terus pas sadar kena amnesia gitu bener-bener ilang sebagian memorinya. Cuma orang terdekat doang yang dia inget :'))))) Coba dia belum sidang terus harus operasi, atau udah sidang tapi belum revisian gimana coba.
 
 
 


Aku: Oh wow seperti sinetrooon (kaget banget baca cerita ini.....).

Dia: Aku baru percaya, oh ternyata amnesia di sinetron tuh beneran bisa terjadi yak :(

 

 


Aku: Sakit apa sih?
Dia: Katanya mah operasi kelenjar gitu, tapi gak pernah dikasih tahu detailnya apaan.
 
 
 
Dari sini kita bisa belajar. Hidup orang yang kita rasa penuh privilege. Yang membuat kita iri. Yang membuat kalimat julid terlontar dari mulut kita. Belum tentu sebaik yang kita pikirkan. Kita cuma nggak tahu, masalah apa yang dialami. Kalau nih, kita punya masalah dalam menyelesaikan skripsi. Bisa jadi seseorang yang lancar penyusunan skripsinya, (sudah, sedang, akan) punya masalah kesehatan, keluarga, finansial, atau yang lainnya yang kita nggak tahu seberapa berat masalahnya.
 
 
 

Membaca cerita ini membuatku semakin meringis. YaAllah, semoga aku bisa memperbaiki diri untuk terhindar dari rasa iri (apalagi membandingkan) privilege yang ada pada orang lain dan cenderung merasakan rasa senang jika seseorang itu punya capaian tertentu.
 
 
 
Di sini, aku nggak berbicara mengenai kita yang hidup enak sedangkan orang lain nggak. Tapi coba untuk merasa cukup dengan privilege sendiri. 



Aku tiba-tiba teringat seorang teman yang juga mengalami masalah keluarga. Aku sudah pernah menulis ini di instagram, but lemme wrote this down (again). Ibunya sakit, harus dioperasi, dengan kondisi finansial yang bisa dibilang nggak baik karena terimbas pandemi. Dia yang mendapatkan kalimat julid dari teman-temannya (enak ya kamu dosennya dapet yang baik, enak ya... enak ya...), nyatanya harus bergelut melalui kepahitan hidup yang nggak sama sekali mereka tahu.



Ketika ada satu aspek yang menurut kita lancar dalam hidup orang lain, bukan berarti nggak punya masalah dalam aspek lain. Kita sama-sama berjuang, hanya saja perjuangan kita berbeda.



Kondisi teman kuliah ku ini, mengingatkan pada sosok teman lain waktu duduk di bangku sekolah yang juga punya kondisi yang sama . Ia bergelut merawat ibu dan nenek nya yang sakit, ia juga berasal dari keluarga yang bercerai, kondisi finansial keluarganya nggak baik. Tapi, dia selalu ranking 1 di sekolah. Hebat ya? Bisa terpikirkan bagaimana ia mengatur waktunya? Oh, nggak lupa. Dia juga sering mendapatkan nyinyiran. Bagaimana ia disebut sebagai orang yang caper ke guru, dan lainnya. Padahal dia hanya berusaha memperbaiki kehidupannya agar lebih baik di masa depan.






source: https://www.hipwee.com/hiburan/meme-iri-bilang-bos/


Kenyataannya, meski dalam keadaan sulit seperti itu yang mungkin nggak terbesit di benak kita. Mereka adalah sosok-sosok yang menanamkan kebaikan dalam kesulitannya. Bukankah mengurus orangtua adalah bentuk bakti yang luar biasa. Kebaikan yang mereka tanam, dituai dari aspek kehidupan lainnya.



Memangnya kebaikan apa yang kita tanam sehingga kita bisa menuainya?
Atau jangan-jangan kita adalah manusia egois yang hanya ingin hidup enak. 
Yang memenuhi diri dengan emosi negatif, ketika orang lain sedang menanam kebaikan dalam hidupnya.


1 comment: