Thought: Ibu Sukmawati dan Sharing dengan teman

Sudah sekitar dua minggu saya menutup sementara akun instagram pribadi saya. Mau mencoba aja gimana rasanya hidup tanpa liat postingan-postingan teman. Saya menyadari si instagram ini telah menyedot banyak waktu yang saya miliki hanya untuk melihat dan memperhatikan hidup orang lain, jadi kepo dengan privasi orang (yang mungkin mereka umbar sendiri)---yang mana gak penting-penting amat sebenernya, saya gak tau tentang hidupnya pun gak berdampak buruk buat kehidupan saya.

Ditambah lagi saya secara gak sengaja jadi pribadi yang (tambah) buruk dengan judging teman hanya karena postingannya walaupun hanya terlintas di hati. Dengan instagram sendiri sebenernya bahan buat nge-ghibah-in orang jadi bertambah. Saya pribadi gak suka di ghibahin, apalagi kalau dipelintir. Karena saya ingin ditreat dengan baik, saya pikir berkaca adalah solusinya. Yah, walaupun kalau nantinya saya tetap dighibahin pun, seenggaknya saya udah berlaku baik. Dan akhirnya saya memutuskan buat tutup akun sementara: mau liat apa sih yang berubah dalam hidup saya apakah sesuai ekspektasi atau nggak. Dan nantinya setelah dirasa cukup untuk menutup akun, saya berencana membuka nya kembali khusus weekend aja (instagram saya sarana mengenalkan blog ini sih. :’)).

Tapi di sisi lain, instagram ini merupakan platform besar dengan banyak fungsi. Gak cuma tentang kehidupan pribadi, pun ada akun lainnya: politik, dakwah, berita, komik, musik, dan sebagainya. Gak cuma berisi kemudharatan aja tapi ada juga banyak manfaatnya. Jadi setelah menimbang-nimbang, saya memutuskan untuk buat akun instagram baru, tentunya bukan atas nama saya. Di akun itu saya hanya follow akun-akun dakwah dan berita (itupun di filter dulu), karena saya gak bisa memungkiri kalau saya butuh siraman rohani plus berita karena yang dibungkus di instagram lebih menarik dan apik untuk dibaca. Lumayan, akun ini hanya dibuka sesekali dalam sehari gak kaya akun personal, tapi insyaAllah lebih bermanfaat dibanding akun pribadi saya.

Dari akun instagram yang saya buat itu akhirnya saya tau kalo masyarakat Indonesia lagi dihebohkan dengan puisi konde(?)-nya Ibu Sukmawati. Karena emang kebetulan saya follow akun dakwah jadi yang muncul postingan yang isinya itu semua, di explore pun isinya itu semua, sampe beberapa hari ini masih aja tentang puisi itu. Efek algoritma media sosial memang sangat-sangat nyata. Ooo echo chambering~

Saya bukan budayawan, bukan juga sastrawan, cuma orang biasa. Mendengar puisi tersebut pastilah saya merasa janggal, apalagi agama saya islam. Saya gak ngerti makna dari puisi itu, tersurat kah atau tersirat. Wallahualam. Saya gak mau ngomongin banyak tentang puisinya sih. Hanya saja ada satu bait, yang kiranya sedikit familiar dengan apa yang telah saya dengar saat sharing dengan teman kuliah saya (sharing time dilakukan jauh sebelum Bu Sukmawati membacakan puisinya).

-

Teman saya ini sebutlah namanya Bimo (bukan nama asli, entah kalau nama asli takut kenapa-kenapa). Dia beragama kristen, dan bukan berasal dari Jawa yang notabene mayoritas beragama islam. Dia berasal dari luar Jawa, tinggal dekat dengan Danau Toba. Di sana isu agama gak seketat di Jawa, islam pun dirasa bukan agama mayoritas karena penduduk beragama kristen bisa dibilang hampir sama banyaknya.

Di tahun pertama perkuliahan, Bimo mengucilkan diri, gak begitu berbaur dengan yang lain. Ketika saya tanya kenapa, ‘takut’ katanya. Karena di Bandung mayoritas beragama islam, begitu pula di jurusan kami. Dia saat itu sedang berada dalam masa culture shock, denial.

Hal yang membuat kaget dirinya untuk pertama kali tinggal di Bandung, salah satunya adalah suara adzan. Di tempat tinggalnya gak ada suara adzan terdengar, sedari bayi dia gak biasa mendengar adzan dekat dengan kupingnya karena dia tinggal di tempat yang mayoritas beragama kristen. Bimo mengaku, dia pernah merasakan sangat terganggu dengan ada nya adzan. Apalagi ketika shubuh.

“Tidur tapi jadi terbangun, gak bisa tidur lagi aku” ucapnya dengan logat batak kental sembari tertawa.

Untuk setahun pertama, dia mengaku benar-benar struggle untuk mengerti, menerima, dan memahami bahwasanya adzan bagi orang yang beragama islam adalah sesuatu yang penting, meski dia gak menyukainya, he should accept it.

Mendengar itu, saya jadi terkagum-kagum. Saya langsung berusaha menempatkan diri di posisinya. Bagaimana rasanya kalau saya diharuskan tinggal di sebuah tempat dimana saya adalah minoritas, bagaimana rasanya ketika aktivitas saya (apalagi tidur) terganggu karena aktivitas kepercayaan orang-orang mayoritas yang berada di tempat itu yang saya sedari bayi gak biasa mendengarkannya. Bagaimana pula saya akan menanggapinya, apa langkah yang akan saya ambil untuk menyesuaikan, berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk menyesuaikan diri. Walaupun pada akhirnya pasti saya pun akan menyesuaikan, tapi mungkin saya gak menyukai -apalagi mencintai- aktivitas itu. Sebagaimana teman saya. Just accept it.

Aku tak tahu syariat islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzanmu

Puisi yang dibuat oleh Bu Sukmawati, mungkin terdengar menyayat. Tapi mungkin kalau dari sudut pandang lain, kalau dari sudut pandang non-islam, mereka bisa jadi menyetujuinya. Sebagai orang islam saya gak tau apa yang ada di benak mereka. Teman saya adalah salah satu orangnya, tapi dia menoleransi, menerima suara alunan adzan walau awalnya sangat terganggu. Dan kita gak bisa memaksakan orang-orang itu untuk menyukai-mencintai suara adzan. And we also should accept it.

Salahnya sendiri, mungkin, karena Bu Sukmawati adalah seorang yang beragama islam. Yang seakan-akan gak mencintai bahkan gak menghargai agamanya sendiri. Mungkin itulah perspektif budayawan, entah. Atau beliau terinspirasi dari cerita temannya yang berbeda agama, entah. Saya gak bisa mengetahui niatan dalam diri seseorang, apalagi yang gak saya kenal secara pribadi. Mengangkat sesuatu yang berkaitan dengan SARA memang berbahaya.

-

Hm.. dalam masalah ini, saya gak tau harus bagaimana menempatkan diri saya. Karena saya masih bertanya-tanya mengenai arti ‘penistaan’ yang sebenarnya. Di satu sisi, ini adalah agama saya. Di sisi lainnya, apa pula salahnya orang mengeluarkan pendapatnya.

“Kalau gak tau syariat islam, ya jangan ngomong, jangan bikin puisi, belajar”.

Sebenernya bukan cuma soal agama. Soal pengetahuan, soal temen, soal apapun kalau gak tau ya lebih baik diam, daripada gak bisa mempertanggungjawabkan----di hadapan manusia pun di hadapan Allah. Ini bisa jadi refleksi bagi kita (saya) kalau sekiranya gak tau soal sesuatu, masih menjawab sambil menerka-nerka kah? Atau diam? Hmmm..

"Camkanlah.. Jika kau diam saat agama mu dihina, lebih baik ganti bajumu dengan kain kafan."

Saya setuju dengan quotes ini, tapi bukan berarti kebalikan diam adalah marah dengan menggebu-gebu. Bisa jadi mendoakan. Bisa jadi menasihati. Bisa jadi tabayyun. Bukan cuma marah, bukan cuma memperkeruh suasana, dan bukan cuma perang.

Saya merasa janggal, tapi rasanya saya gak pengen membenamkan diri dalam emosi. Terus-menerus berkutat dengan pemberitaan ini. Apalagi berkutat dengan pemberitaan di instagram oleh akun-akun yang gak bertanggungjawab yang seringnya bersifat provokatif. Saya jadi sadar, gila ya.. hanya di blow up di media sosial bisa seberdampak ini dalam hitungan detik.

Gangerti lagi. Saya... merasa capek. Merasa sayang dengan tenaga saya. Bukan berarti saya gak mencintai agama saya sehingga saya gak membelanya. Saya tersinggung, jelas, karena membanding-bandingkan agama saya. Tapi saya harus dapat menerima perspektif orang lain (walaupun itu daari orang yang beragama sama). Saya sayang dengan tenaga saya kalau saya hanya berkutat dalam postingan-postingan yang hanya membakar hati apalagi sampai follow akun yang khusus membahas permasalahan itu padahal tenaga saya bisa dibuat untuk yang lebih bermanfaat. Saya bisa pergi ke masjid memenuhi panggilan Allah dengan tenaga itu, saya bisa pula mendoakan Bu Sukmawati agar segera disadarkan dengan tenaga itu (I do believe the power of dua will never fail), saya bisa berdizikir dengan tenaga itu, dan banyak hal yang bisa saya lakukan dengan tenaga yang dipakai hanya untuk terbawa emosi. Apalagi mengolok-ngolok berjamaah, membuang tenaga, malah sama-sama ikut berdosa karena terbawa nafsu.

Olok-olok apanya?

Saya menemukan beberapa postingan yang membandingkan foto Bu Sukmawati dengan perempuan bercadar dengan title “cantikan mana”. Yang tentunya jawaban dari netizen adalah lebih cantik bercadar. Well, it depends on ur perspective, semua orang punya kriteria “cantiknya”nya masing-masing. Tapi dari sudut pandang saya, sebagai sesama perempuan, rasanya menyedihkan, membandingkan dua perempuan dengan menggunakan kalimat tanya “cantikan mana” yang merujuk pada fisik---perempuan sangat sensitif akan hal ini.

Di kolom komentar jelas ada -banyak- yang bukan hanya memilih yang menurut mereka cantik melainkan mengomentari wajah Bu Sukma dengan kata-kata yang menyakitkan, seperti (maaf) “gigi maju” dan lainnya. Di mata saya, keduanya cantik, karena keduanya adalah ciptaan Allah yang Allah sudah ciptakan dengan sebaik-baiknya. Hanya memang, cara berpakaiannya yang berbeda.. Why don’t you guys use “lebih pilih/suka mana” instead of “cantikan mana”?  Menyerang kalimat dengan menyerang apa yang diciptakan Allah, nonsense. Gak seimbang mas dan mbak. Berniat membela agama, tapi malah menghina ciptaan Tuhan.
 Sumber: line/iki

Selain itu, adalagi postingan membandingkan Bu Sukmawati dengan Pak Soekarno. Intinya sih, Ibu ini gak kayak bapaknya. Saya langsung teringat video TED Talk yang saya tonton beberapa bulan yang lalu. Video dimana seorang anak teroris mengungkapkan bahwa dia bukanlah bapaknya. Dan yang harus diketahui, dia beragama islam. Dia bercerita tentang bagaimana dirinya survive dari stereotyping dan menjelaskan bahwa dia dan bapaknya adalah dua individu yang berbeda.

Ketika orang selalu berkata buah selalu jatuh gak jauh dari pohonnya, kita suka lupa, buah itu bisa menggelinding, menjauh, bisa masuk ke jurang, terbawa aliran sungai dan akhirnya buah itu gak berada dekat pohonnya bahkan sangat jauh (terinspirasi dari kating :’D). Dan begitu pula manusia.
Kalau mau menyerang alangkah baiknya seranglah kalimatnya, karena yang salah adalah kalimatnya, bukan membandingkan dengan yang lainnya apalagi bersifat pribadi. Gak usah membengkak menyerang kesana-kemari. Berikut video TED Talk-nya.



Sedihnya lagi, ketika Bu Sukmawati ini memberi klarifikasi, ketika beliau meminta maaf, banyak dari para netizen yang malah menyinyiri.

“Udah bau tanah bukannya tobat” YaAllah, lantas apakah itu menjadikan kamu boleh menghina dengan kalimat pedas kayak gitu?

“Pasti cuma pencitraan, nangisnya gak asli tuh keliatan dari raut mukanya”, Siapa bilang? Siapa yang tahu isi hati orang? Siapa yang tau gimana rasanya diserang netizen se-nasional? Kalimat yang kamu tuliskan di media sosialmu, berdampak pada psikologi orang lain. Jadi inget salah satu video TED Talk juga mengenai pembullyan media sosial, berikut videonya.


Dan masih banyak lagi.

-

Saya bukannya membela Bu Sukmawati. Bu Sukmawati memang bersalah menggunakan aspek SARA sebagai puisi, apalagi Indonesia sedang berada di masa sensitif-sensitifnya. Saya cuma capek, gerah, geram dengan masyarakat yang gak mencerminkan bahwa islam itu agama yang damai. Karena sampai saat ini, yang membuat saya melakukan ibadah sama Allah salah satunya adalah karena saya mendapatkan kedamaian, kebaikan, kesejukan dari itu semua. Sejak kapan islam bukan lagi mengingatkan dan malah menyinyiri atau memenjarai? :’)

Ah.. Saya juga merasa prihatin, menyadari orang luar negeri sedang menonton apa yang terjadi di Indonesia, asyik kayaknya. Mereka levelnya sudah ke meributkan masalah artificial intellegent yang semakin terlihat dengan kemunculan Sophia---robot yang mirip manusia dan sudah dianggap sebagai warga negara oleh Arab Saudi. Kita? malah terus menerus tenggelam ribut dengan isu sosial tanpa berpikir bahwa bisa jadi ada orang yang menunggangi di belakangnya. Penggiringan opini. Terus-menerus meributkan bahasa yang memang bersifat ambigu seakan bahasa adalah angka yang bersifat pasti. Dan ketika berbicara tentang artificial intellegent, banyak dari kita yang gak tau bahkan gak tertarik akan itu. Apa kita mau terus-terusan tertinggal? Apa kita baru melihat prestasi manusia  seperti artificial intellegent ini ketika sudah jauh berkembang? Apa kita gak bosan menjadi negara dengan title berkembang melulu?

Terakhir, sebagai reminder dan self-reflection:




-





-




-



Note:
Bimo bercerita dia pernah merasakan sangat ketakutan ketika dia merayakan natal di tahun pertamanya tinggal di Bandung. Ia pertama kalinya merasakan diskriminasi sebagai kaum minoritas. Saya lupa dimana dan nama bangunannya apa, yang jelas masih sekitar Bandung.
Jadi di natal waktu itu, Bimo baru aja naik ke atas panggung untuk menyanyikan puji-pujian. Ketika dia dan teman-temannya mulai bernyanyi, pintunya di dobrak. Lalu ada teriakan “Gak ada natal-natal, Allahuakbar!”, beberapa orang dengan kopiah putih masuk dan membubarkan acara natal itu. Orang-orang yang sedang beribadah lantas memutuskan untuk mengalah. Ketika orang-orang di dalam bangunan akhirnya berbondong-bondong keluar dari bangunan itu, mereka tetap melantunkan puji-pujiannya. Dan tahu apa yang dikatakan kelompok yang datang mendobrak acara secara tiba-tiba itu? “Gak usah nyanyi-nyanyian, Allahuakbar! Allahuakbar!” dan mereka terus-menerus berteriak seperti itu sepanjang orang-orang yang sedang dibubarkan dan membubarkan diri tersebut gak menghentikan nyanyiannya.

Bukanya ini bisa dibilang bentuk menistakan dua arah? Agama sendiri –yang tidak mengajarkan untuk spt ini- dan agama lain –yang aktivitas keagamaanya dilarang-? Apa beritanya dimuat di media? Nggak, men. Ketika saya seringkali melihat netizen protes bahwa agama islam didiskriminasi karena jarang ada pemberitaanya kalau terjadi kenapa-kenapa. Ternyata begitu pula yang terjadi pada mereka. Kita gak membuka mata atas itu semua. Lantas kenapa orang-orang ini gak dituntut dari dalam sendiri sebagai penghinaan?

Tapi Bimo tetap berusaha menghargai adanya adzan walau menurutnya puji-pujian lebih indah baginya, Bimo pun gak lantas membenci islam karena dia mengalami diskriminasi, dia tetap berusaha menghargai aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh agama islam meski ia pernah diganggu saat melakukan aktivitas acara besar dalam agamanya.

Saya senang bisa berteman dengan orang seperti Bimo, yang lantas gak menutup dirinya dan lantas menjadi Islamofobis. Saya senang dia mau bercerita tentang hal-hal yang sangat sensitif seperti ini dan senang saya adalah orang yang ia pilih untuk bercerita. Saya senang punya teman dengan berpikiran terbuka seperti dia. Alhamdulillahirabilamin..

Kita pun ternyata bisa menjadi orang yang menistakan dan menghina agama sendiri, dengan ucapan dan kelakuan kita. Bukan cuma orang-orang eksternal yang harus berhati-hati dengan ucapan dan aktivitas yang dilakukan. Tapi dari internal juga. Apa lantas kita pantas untuk membesar-besarkan, menghukum orang yang dianggap menistakan karena salah ucap, salah mengerti, salah memahami, dan berbeda perspektif ketika sejumlah orang dari kita sendiri bahkan menghentikan aktivitas besar keagamaan agama lain (yang bahkan gak ada  dan gak menuntut tindak lanjutnya)? Andaikan Idul fitri kita diusik, kira-kira apa ya yang akan terjadi?

4 comments:

  1. Camkanlah.. Jika kau diam saat agama mu dihina, lebih baik ganti bajumu dengan kain kafan." kata kata ini sungguh menyayat tapi sadarkah kita hampir tidak sadar bahwa agama kita sedang diolok olok orng lain tapi tak ada yang membela sungguh miris tapi percaya lah akan ada waktunya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menurut aku semua org punya persepsi masing2 mengenai sesuatu termasuk ke kasus bu sukma ini. Jd lantas sampe kapan pun gak bisa semua org walaupun sama2 muslim bakal bilang kalau ini penghinaan. Dan disini maksudnya aku mngkritisi aja bagaimana org yg merasa terhina malah membalas dg cara yang begitu

      Delete