Belajar Menjadi Manusia



"Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Tapi manusia kadang lupa, bahwa ia pun merupakan makhluk yang juga tidak sempurna. Sebuah kenyataan yang bertentangan dan membingungkan, sempurna tapi tidak sempurna"
Akhir-akhir ini aku sedang dalam usaha untuk lebih mencintai diri. Hal ini disebabkan beberapa bulan yang lalu aku sempat sakit. Bukan karena faktor eksternal melainkan faktor internal. Yaitu: cara diri menyikapi suatu persoalan.

Dulu aku sempat ragu, apa mungkin seseorang sakit hanya karena pikirannya? Dan... yap! siapa kira, aku akan mengalaminya. Hakikatnya manusia menyukai kelembutan, maka berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu sikap yang sangat dianjurkan. Lantas, bagaimana jika kita berbuat baik kepada orang lain namun tidak berbuat baik kepada diri alias menyakiti diri sendiri?

Ada banyak cara seseorang menyikapi persoalan. Ketika merasa kecewa, beberapa orang melakukan evaluasi secara sehat dan yang lainnya tidak (menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain atau menyalahkan apapun itu). Aku adalah salah-satu orang yang melakukan evaluasi secara tidak sehat, terutama dengan self-blame. Aku selalu menyalahkan diri. Aku sangat kasar terhadap diriku-sendiri.

Setelah melakukan kontemplasi. Ternyata akar dari self-blame ini adalah aku yang lupa memanusiakan diri. 

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Tapi manusia kadang lupa, bahwa ia pun merupakan makhluk yang juga tidak sempurna. Sebuah kenyataan yang bertentangan dan membingungkan, sempurna tapi tidak sempurna.

Namun banyak orang (aku) yang berusaha menjadi sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Lupa bahwa manusia pasti melakukan kesalahan dan jauh dari sempurna. Dan kunci dari semua ini adalah belajar memanusiakan diri (self-acceptance): Belajar mewajarkan ketika melakukan salah. Belajar memaafkan kesalahan yang dilakukan. Belajar menerima kegagalan diri.

Aku sering kali mengomeli diriku sendiri. Misalnya aku melakukan kesalahan seperti salah kirim file tugas. Seringnya ketika sudah ada di posisi tersebut, aku mulai menyalahkan diri. 'YaAllah Shin kok kamu bisa gitu? 'Kenapa sih kamu tuh gagal fokus melulu". Sekarang aku pelan-pelan belajar mengubahnya "It's okay, Shin. kamu manusia kamu melakukan kesalahan. Sekarang jalan keluarnya apa?"

Atau biasanya, ketika aku melakukan sebuah pekerjaan yang hasilnya tidak sebaik orang lain. "yaampun Shin begini aja gak bisa?", "Liat orang lain pada bisa, kamu engga?" sekarang harus diganti dengan lebih mengapresiasi diri "Ok, Shin. Good job. Kamu udah bisa segini" "It's okay, Shin. kamu udah bisa sampai sini. Semua orang punya kelebihannya masing-masing. Terus belajar ya!"

Seringkali aku merasa sedih ketika tidak mencapai goals yang seharusnya. Mulai dari hal-hal kecil seperti yang sudah ku tulis diatas. Sampai ke hal-hal yang sangat berdampak dalam diri (baik secara batin maupun secara fisik). 

Self-blame -yang aku rasakan- akan menjelma menjadi self-guilt dan self-shame karena saking toxic nya kebiasaan ini. Pernah suatu waktu, aku sangat kecewa akan suatu hal dan seperti biasa aku blaming diri sendiri. Aku sampai di titik tidak ingin bertemu banyak orang, kurang percaya diri dan jujur saja (waktu itu) jika aku diberi kesempatan untuk lahir kembali mungkin aku akan memilih jalan tersebut. Sayangnya, hidup tidak bisa begitu. Seberapa kecewa pun aku dengan diri, kehidupan tidak akan menungguku, hidup mesti harus berjalan. Dari situ aku belajar, selain self-acceptance yang seringkali aku lupakan adalah self-forgiveness.

Memaafkan diri ini....sangat membutuhkan kesabaran karena butuh waktu yang lama. Dan secara tidak sadar, seringkali kita kabur dari tanggungjawab memaafkan diri dengan menumpuk hal yang mengganggu dengan hal-hal lain yang diharap dapat mendistraksi keruwetan masalah (menonton, belanja, dsb). 

Masalahnya, masalah terus menerus datang, pun kekecewaan terus-menerus hadir. Maka self-forgiveness adalah kegiatan yang juga harus dilakukan berulang-ulang. 

Kita tidak bisa membiarkan keruwetan ini menumpuk begitu saja. Sampai akhirnya aku mengerti kunci dari self-forgiveness adalah ikhlas dan bertaubat. Ikhlas mengakui kesalahan diri yang menyebabkan efek besar pada diri sendiri, ikhlas menerima rasa sakit sebagai bentuk pembelajaran, ikhlas menerima konsekuensi yang akan hadir dimasa depan karena kesalahan diri, dan bertaubat karena selama ini seringkali merasa bisa melakukan sesuatu dengan baik dengan segala usaha diri yang lemah, tanpa melibatkan Yang Maha Kuasa, padahal karenaNya lah aku dapat melakukan sesuatu. 

Butuh waktu yang lama bagiku menyadari ada yang salah dalam diri ini. Aku harap sampainya diri pada titik realisasi ini, dapat membentukku menjadi pribadi yang lebih positif. Dan menerima segala yang hadir pada diri. Belajar mencintai diri berarti berdamai dengan diri dari sudut pandang lain. Mendewasakan diri agar terdorong mencari jalan keluar, instead of hurting my own self.

Semoga dengan membiasakan belajar memanusiakan diri ini selain manambah peduli terhadap diri sendiri. Pun menjadikan ku pribadi peduli terhadap orang lain dan (juga) lebih memanusiakan mereka. 

Yang memandang orang lain yang melakukan salah karena mereka pun pembelajar, mereka pun manusia. "Dia manusia bikin kesalahan juga, sama kayak kamu...". Dibanding menghabiskan tenaga, kesal sendiri (ini susah banget memang T_T tapi harus belajar), dan memiliki harapan yang tinggi terhadap orang lain (berharap mereka 'sempurna' dengan standar yang ada di otak kita, agar tidak selalu merasakan kecewa..

No comments:

Post a Comment