Thought : Soal Kulit Putih...

“Enak ya kulitnya putih”

“Kamu pake apa sih kulitnya bisa putih gini?”

“Ini kulit asli ya putihnya?”

 “Keturunan chinese ya?”

“Gamau di pinggir Shintia ah. Keliatan banget item nya”

Kalimat diatas merupakan segelintir kalimat yang udah sering banget saya denger. Baik dari orang yang baru di kenal, pun orang yang udah lama kenal. Hal pertama yang orang fokuskan pada diri saya adalah warna kulit. And, to be honest, It makes me sad, really.
 
Saya sedih karena yang pertama. Kehadiran saya, seringkali, membuat saya merasa, teman sesama kaum hawa (yang warna kulitnya lebih gelap dari saya) tidak bersyukur atas dirinya. Memang tidak ada yang menyebutkan secara langsung akan ketidakbersyukuran ini dan mungkin banyak yang tidak menyadarinya. Tapi keinginan untuk memiliki warna kulit yang sama, secara tidak langsung mencerminkannya. Ketidakpercayaan diri ketika bersama saya, pun secara tidak langsung mencerminkannya.

Yang kedua, saya sedih, menyadari bahwa ternyata masih banyak yang termakan oleh kalimat-kalimat manis yang terpampang di media. Kulit yang cantik itu kulit yang putih, katanya. Dan hal ini –sedihnya- diakui bukan hanya oleh kaum hawa saja, tapi juga kaum adam. Maka berlomba-lombalah banyak orang untuk memiliki kulit yang putih.

Ketika orang-orang mulai mengungkit soal ‘kulit putih’. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam benak saya. Salah satunya: Sesukses inikah kaum kapitalis mempersepsikan masyarakat mengenai kulit putih?

“Mau jadi cantik itu mahal”, katanya.

”Cantik itu gampang, asal punya modal”, merupakan kalimat-kalimat yang sering saya dengar mengenai kecantikan.

Pernah terpikir darimana asalnya standar kecantikan itu?

Darimana asalnya standar kulit yang bagus untuk perempuan itu kulit yang berwarna putih?

Siapa yang pertama menyatakan, kalau kulit putih itu berarti cantik?

Ya, Kaum kapitalis.

Buat apa mereka buat statement kalau kulit putih itu bagus?

Mudah, sebagai produsen.. kaum kapitalis ingin masyarakat terus-menerus membeli produk skincare pemutih yang mereka produksi. Caranya dengan menentukan standar kecantikan yang ditampilkan via media.

Keren komunikasi pemasarannya.

Cara berpikir kita mengenai konsep ‘cantik’ nyatanya sudah disetir.. Berlandaskan ekonomi, agar mereka memperoleh untung.

Dan saya sedih, dicemburui dari suatu hal yang dikonsep seperti itu.

Yang kita butuhkan bukan kulit putih, tapi kulit yang sehat dan (menurut saya yang) bersih, karena yang bersih enak dilihat.  

Dulu, saya sempat terima-terima saja dilontarkan kalimat-kalimat pujian atas kulit putih. Namun, sekarang, saya kurang suka. Bukan karena saya tidak mensyukuri saya punya warna kulit yang begini, tapi karena alhamdulillah Allah membuat saya menyadari bahwa cara berpikir seperti ini -yang mendewakan kulit putih- terlalu tidak sehat untuk diterapkan.

Warna kulitnya apapun, buat apa dibandingkan? Toh semua dari Allah dan sama aja. Tidak menjadikan seseorang lantas menjadi superior pun sebaliknya. Bukankah seharusnya disyukuri, bukan dikritisi?

Memang di mata masyarakat masih saja banyak yang memandang unggul warna kulit putih. Namun, setelah merasakan sendiri dipuji-puji berdasarkan warna kulit, I wonder, what have I got actually? Hanya pujian, yang tidak berarti banyak bagi saya dalam menjalani kehidupan. Hanya pujian, yang bisa membuat diri sombong. Hanya pujian dan kesenangan sesaat.


Semu.

Fisik sebagus apapun, akhirnya akan berakhir juga di masa tua. Toh, semua ini cuma titipan dari Allah, yang mana anugerah (jika bisa mensyukuri) sekaligus ujian (ketika rasa sombong sudah menggerogoti). Memang menyenangkan sih dipuji, rasanya seperti disenangi oleh orang lain.

Tapi.. semakin kesini saya pikir ada pertanyaan mendasar yang seharusnya kita miliki: Whose pleasure am I seeking? People? For what? Kita gak pernah bisa membuat semua orang senang sama kita. Karena manusia selalu memiliki celah untuk ditunjuk. Karena tidak ada manusia yang sempurna. Dan hal ini berlaku juga ketika kita berusaha menyenangkan orang tertentu, sebaik apapun yang kita berikan, selalu ada celah. Apalagi dari fisik.. “Cantik-cantik tapi.....”.

It’s only weaken us, Dear.. So, whose pleasure are u seeking beside of Allah?

Buat apa cemburu?

Soal fisik yang tidak disyukuri, saya pernah merasakannya (ingin lebih berisi dan tinggi, tapi susahnya minta ampun) dan itu....begitu menyiksa. Apalagi ketika lingkungan tidak henti-henti nya mengomentari kekurangan fisik. Suka jadi lebih aware dan kurang percaya diri. That’s why Self-love-is-important! This is your life, dan mereka gak punya hak apapun untuk menentukan kita harus punya ini-itu sebagai standar kebahagiaan. Terutama kamu, wahai kaum hawa. U’re beautiful just the way you are. No matter what skin color you have. Berkulit putih, doesn’t make someone better than you.  

Di mata Allah semuanya sama aja.


Waktu kecil.. Saya sering mempertanyakan. Kenapa perempuan seringkali membanding-bandingkan warna kulit dengan mengulurkan tangan satu sama lain. Apa esensinya? Kepuasan batin? Atau kesombongan diri karena merasa ‘lebih’ dan merasa ‘sesuai’ dengan standar kecantikan yang nyatanya berlandaskan ekonomi?

Membanding-bandingkan ini terjadi bukan hanya terjadi diantara perempuan. Begitu juga dengan laki-laki. Bukan kepada dirinya sendiri. Tapi dalam menilai perempuan.

“Eh kamu kalah putih sama dia”

“Kamu sama dia kaya kopi sama susu *sambil ketawa*”

Sedih... Betapa tidak sehatnya pola pemikiran yang mendewakan kulit putih ini.

Saya menulis tulisan ini dengan harapan kedepannya baik perempuan maupun laki-laki tidak lagi membedakan orang berdasarkan appearance.  Berdasarkan warna kulit. Bentuk tubuh. Dan lainnya. Tidak ada yang unggul. Semua sama. Tidak lagi mengelu-ngelukan standar kecantikan yang menguntungkan perekonomian kaum tertentu.

Yang buat cantik itu mahal. Cantik itu ribet. Ya pemikiran kita sendiri yang terlena media. 

Semoga kedepannya tidak lagi memandang manusia lain sebagai objek yang konsepnya telah dibuat oleh kaum kapitalis. Dan lebih mensyukuri apa yang diberi oleh Allah. Lebih menghargai fisik sendiri pun oranglain. Lebih mencintai diri sendiri sebagaimana Allah menjadikan diri dengan sebaik-baiknya.
Aamiin Yarabal alamin.


2 comments:

  1. Da gimana atuh akumah eksotis jadi fun fun aja wkwkw

    ReplyDelete
  2. What a really nice article! Its been an issue for a veryyyy long time. And good thing that u write it here. I hope there would be more people who realized about this. And may be, it isnt only because of the capitalist, but also because of the colonialism concept --which devide us into three groups based on our skin colour--as well. It is still here, and continues to grow on our mind.

    ReplyDelete