Menurunkan Ego

cr: rakyatku

Dalam percakapan kemarin hari dengan seorang teman. Ia mengutarakan bahwa ia cukup merasa lelah. Orangtua dan adik-adiknya menjadi tanggungannya.
Di sisi lain, ia melihat teman-teman seumurannya bebas. Bisa meraih ini-itu. Bisa membeli ini-itu.
Sedangkan ia harus menurunkan ego nya. Uang hasil kerja kerasnya, tidak bisa digunakan seperti apa yang ia inginkan. Untuk makan enak pun, ia harus banyak berpikir. Demi melihat adik-adiknya sekolah. Demi melihat orangtuanya tidak berada dalam kesulitan.

Dalam diskusi dengan seorang sobat. Ia bercerita mengenai kakak sepupunya yang memiliki hobi mengoleksi mainan. Karena di usia muda nya, ia tidak sanggup membeli mainan tersebut. Setelah bekerja, kakak sepupunya itu memilih untuk menggunakan uangnya memenuhi egonya.
Tapi, pada akhirnya ia juga harus menurunkan egonya. Koleksi mainan-mainan tersebut, di jual. Untuk memenuhi salah satu kebutuhan hidupnya dalam berkeluarga.

Perempuan-perempuan di luar sana. Perempuan-perempuan yang memang fitrahnya menginginkan keindahan, termasuk dalam bentuk tubuhnya sendiri. Merelakan dirinya. Menurunkan ego nya untuk mengandung anaknya.
Menjadi gemuk. Kesulitan tidur. Memakai sepatu perlu perjuangan. Bahkan hidupnya sendiri bisa selesai karena kandungannya. Padahal, ia bisa saja memilih untuk tidak menjalani itu semua.

Perihal ego.
Semakin tumbuh besar, entah bagaimana, kita lebih banyak dituntut untuk menurunkan ego oleh kehidupan.

Saat kecil dulu, kita berpikir, mengasumsikan:
Semakin bertumbuh besarnya kita,
Semakin bebas untuk menjalani seseuatu,
Semakin mudah untuk meraih cita-cita,
Semakin mudah untuk meraih pencapaian-pencapaian (terutama dalam standar sosial: rumah, kendaraan, berlibur, dsb).

Pada akhirnya, alih-alih meraih.
Hidup banyak mengajarkan kita untuk merelakan.

Merelakan hal-hal yang kita pikir dulu luar biasa.
Merelakan mimpi-mimpi.
Merelakan waktu.
Bahkan merelakan nyawa.

Selamat belajar menurunkan ego.
Selamat belajar untuk berdamai dengan diri sendiri.
Selamat belajat dalam membentuk pribadi yang kuat untuk mengarungi kerasnya kehidupan! :)


Tentang Hijab: Bukan capaian kecantikan


kutipan artikel magdalene


Tidak pernah sama sekali terpikirkan olehku akan menggunakan hijab di umur enam belas tahun. Aku ingat sekali, pernah membenci hijab sebegitunya. Bagiku, hari-hari dimana sekolah tempatku mengenyam pendidikan mengharuskan murid-murid perempuannya berkerudung (bagi muslim) sangat menyebalkan.

Nanti aja deh pakai kerudung, kalau udah kuliah. Atau udah nikah aja kali ya? - Inner shintia, 12-15 tahun.

Entah ke-berapa kali nya, setiap aku mengucir kuda rambutku, anak-anak perempuan akan berusaha memegangnya. "Bagus ih rambutnya!", ujar mereka, memuji. Sebagaimana perempuan lainnya, kelemahan ku adalah pujian. Rasanya, jika dipuji apalagi berdasarkan penampilan fisik, waktu itu, begitu menyenangkan.

Berbeda di hari-hari dimana aku memakai kerudung di sekolah, selalu dihiasi dengan celetukan "Kamu lebih cantik gak pakai kerudung deh". Ucapan itu terus berulang, sejak aku duduk di kelas satu sampai tiga SMP. Bisa dibayangkan seberapa banyak ucapan sama yang kuterima?

Membaca artikel di magdalene.co, yang kutipannya ku taruh di atas. Sangat mengingatkanku akan hari-hari itu. Setelah mantap berhijab, aku sangat setuju karenanya. Terdapat pergeseran makna mengenai hijab. Komodifikasi agama yang menjadikan hijab sebagai komoditas bisnis (akan ku tulis di tulisan selanjutnya), dan lagi-lagi yang paling utama adalah perihal capaian kecantikan. 

"Lebih cantik berhijab deh" adalah cara yang menurut banyak dari kita baik untuk mendukung perempuan agar mantap berhijab.

Entah dari kapan, masyarakat kita memandang hijab 'wajar' menjadi capaian kecantikan seorang perempuan. Meski niat baik bisa berawal dari apa saja. Termasuk, merasa cantik dengan balutan hijab. Namun, rasanya, memaknai hijab 'hanya' untuk mengukur capaian kecantikan perempuan, baiknya dibenahi. 

Hijab memiliki makna yang berbeda-beda bagi setiap perempuan dan tidak melulu mengenai kecantikan. Begitupun bagiku.

Dibandingkan dipuji-puji, perjalanan dalam menggunakan hijab bagiku merupakan perjalanan dengan penolakan teman-teman yang mengukur kecantikan berdasarkan penggunaan hijab. Membuatku membenci hari-hari dimana aku harus mengenakan hijab. Tidak jarang, setelah sekolah selesai aku melepas kerudung yang kukenakan. Alasannya macam-macam, mulai dari; "panas", "pusing" dan sebagainya. Meski memang hal itu kurasakan, hal yang paling mendasar adalah aku tidak percaya diri. Aku malu memperlihatkan wajahku, yang disebut-sebut tidak cocok menggunakan hijab.

Allah akhirnya mengantarkanku pada titik dimana aku menyadari bahwa hijab bukanlah capaian kecantikan. Jika saja, hijab sebagai capaian kecantikan ini terus-menerus tertanam di otakku, mungkin sampai detik ini, aku tidak akan menggunakan hijab. Hijab is more than beauty. 

Aku mulai mengenakan hijab di kelas satu SMA, butuh penyesuaian berbulan-bulan bagiku dalam memantapkan hati untuk mengenakannya secara permanen. Berawal dari tidak melepaskan kerudung sampai pulang sekolah di hari Jum'at (karena hari Jum'at sekolah biasa berbusana muslim). Lalu, ditambah dengan membeli seragam berlengan panjang untuk ku pakai di hari senin, seiring berjalannya waktu, ditambah dengan hari selasa. Dan alhamdulillah proses itu mengantarkan ku sampai hari ini.

Percayalah dalam prosesnya, karena aku seringkali dibilang tidak cocok menggunakan hijab. Aku bahkan sempat takut tidak akan ada laki-laki yang tertarik padaku jika aku mengenakan hijab. Karena omongan itu, aku memiliki pandangan sempit akan hijab yaitu memandang hijab sebagai capaian kecantikan. Dan juga memandang laki-laki hanya akan tertarik dengan kecantikan rupa. Padahal  perihal jodoh sudah di atur oleh Sang Maha Kuasa.

Hijab adalah hubunganmu dengan Tuhanmu, jalannya, kesulitannya, maknanya berbeda-beda dan hanya kamu sendiri yang akan mendapatinya.

Keyakinanku tidak datang begitu saja. Banyak sekali orang-orang yang merangkulku dengan akhlak. Sampai di hari itu, aku membuka beranda Facebook, dan postingan yang kubaca adalah mengenai hijab pertama dan terakhir yang berasal dari kain kafan. Entah bagaimana, Allah menggerakan hatiku menjadi yakin. 

Tidak apa-apa dianggap tidak cantik dalam pandangan manusia. Kecantikan dalam ukuran manusia tidak dapat dibandingkan dengan sudut pandang Tuhanku, bukan?

Setelah aku memakai hijab. Tolak ukur hijab sebagai capaian kecantikan yang dilontarkan padaku tidak berhenti di situ. Di lain waktu, dalam perjalanan.. Ada yang memprotes "Kamu pakaian nya Syar'i sih coba kalo nggak, kan lebih cantik", "Kalau kamu gak pakai hijab dijamin deh gampang dapet pekerjaannya, percaya deh". atau sebaliknya "kamu cantikan pakai hijab syar'i deh, lebih anggun". Di sini, aku tidak ingin menjadi double standard. Nyatanya di kedua sisi, memakai hijab maupun tidak, syar'i maupun tidak selalu dikait-kaitkan sebagai capaian kecantikan. Aku mengerti,  masyarakat secara tidak sadar mengaitkan hijab dengan capaian kecantikan karena memang pada dasarnya tahu, bahwa perempuan senang menjadi cantik. Tapi percayalah, setelah mengobrol dengan teman-teman perempuan lainnya. Banyak perempuan yang malah menjadi ilfil, menjauh tidak ingin memakai hijab, tidak simpati, karena jujur saja bagi sebagian perempuan, kecantikan dan hijab merupakan hal yang sensitif untuk dikait-kaitkan.

Aku tidak menggunakan hijab untuk dipuji-puji sedemikian rupa. Aku memakai hijab bukan untuk menyenangkan mata orang lain. Aku memakai hijab bukan karena membutuhkan uang.

Rasanya, pandangan masyarakat dengan hijab sebagai capaian kecantikan ini justru menyetir hak perempuan untuk menggunakan hijab menjadi sekedar pandangan atas fisik (menjadi sempit sekali). Padahal hijab adalah hubungan antara kita dengan Tuhan. Berhijab adalah keputusan masing-masing individu yang karena merupakan bentuk komunikasi transedental, tidak seharusnya disamakan dengan pandangan horizontal. Bukankah, kita begitu merendahkan nilai hijab dengan menyamakan sudut pandang Tuhan sebagai sudut pandang manusia?

Selain kecantikan fisik, seseorang yang mengenakan hijab tidak berarti pasti berakhlak baik. Aku sangat malu, jika dengan hijab yang kupakai membuat orang-orang bersimpati, berpikir sedemikian rupa. Hijab ini bukan capaian kecantikan akhlak sebagaimana hijab bukan capaian kecantikan rupa. Banyak sekali yang mematok standar jika hijab syar'i maka orang tsb demikian, jika hijabnya tidak syar'i maka orang tsb begini, jika ia tidak memakai hijab maka orang yang bersangkutan begitu. Jika tidak memenuhi standar tsb, maka akan di cemooh, "Berhijab sih... tapi ..." Bukankah capaian kecantikan ini sangat tidak terdefinisikan? Baik-tidaknya seseorang hanya Tuhan yang tahu, maka berhentilah menjadi penilai karena manusia tidak memiliki kapasitas untuk menilai.

Bagiku, hijab adalah hubungan dengan Tuhanku. Hijab adalah pilihan hidupku. Yang tahu makna nya, rasa nya adalah diriku sendiri. Maka, tolong berhentilah mengaitkan hijab dengan standar kecantikan (rupa pun akhlak). Karena hijab terlalu luas untuk dimaknai sesempit itu.

Belajar Menjadi Manusia



"Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Tapi manusia kadang lupa, bahwa ia pun merupakan makhluk yang juga tidak sempurna. Sebuah kenyataan yang bertentangan dan membingungkan, sempurna tapi tidak sempurna"
Akhir-akhir ini aku sedang dalam usaha untuk lebih mencintai diri. Hal ini disebabkan beberapa bulan yang lalu aku sempat sakit. Bukan karena faktor eksternal melainkan faktor internal. Yaitu: cara diri menyikapi suatu persoalan.

Dulu aku sempat ragu, apa mungkin seseorang sakit hanya karena pikirannya? Dan... yap! siapa kira, aku akan mengalaminya. Hakikatnya manusia menyukai kelembutan, maka berbuat baik kepada orang lain adalah salah satu sikap yang sangat dianjurkan. Lantas, bagaimana jika kita berbuat baik kepada orang lain namun tidak berbuat baik kepada diri alias menyakiti diri sendiri?

Ada banyak cara seseorang menyikapi persoalan. Ketika merasa kecewa, beberapa orang melakukan evaluasi secara sehat dan yang lainnya tidak (menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain atau menyalahkan apapun itu). Aku adalah salah-satu orang yang melakukan evaluasi secara tidak sehat, terutama dengan self-blame. Aku selalu menyalahkan diri. Aku sangat kasar terhadap diriku-sendiri.

Setelah melakukan kontemplasi. Ternyata akar dari self-blame ini adalah aku yang lupa memanusiakan diri. 

Manusia diciptakan sebagai makhluk yang sempurna. Tapi manusia kadang lupa, bahwa ia pun merupakan makhluk yang juga tidak sempurna. Sebuah kenyataan yang bertentangan dan membingungkan, sempurna tapi tidak sempurna.

Namun banyak orang (aku) yang berusaha menjadi sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Lupa bahwa manusia pasti melakukan kesalahan dan jauh dari sempurna. Dan kunci dari semua ini adalah belajar memanusiakan diri (self-acceptance): Belajar mewajarkan ketika melakukan salah. Belajar memaafkan kesalahan yang dilakukan. Belajar menerima kegagalan diri.

Aku sering kali mengomeli diriku sendiri. Misalnya aku melakukan kesalahan seperti salah kirim file tugas. Seringnya ketika sudah ada di posisi tersebut, aku mulai menyalahkan diri. 'YaAllah Shin kok kamu bisa gitu? 'Kenapa sih kamu tuh gagal fokus melulu". Sekarang aku pelan-pelan belajar mengubahnya "It's okay, Shin. kamu manusia kamu melakukan kesalahan. Sekarang jalan keluarnya apa?"

Atau biasanya, ketika aku melakukan sebuah pekerjaan yang hasilnya tidak sebaik orang lain. "yaampun Shin begini aja gak bisa?", "Liat orang lain pada bisa, kamu engga?" sekarang harus diganti dengan lebih mengapresiasi diri "Ok, Shin. Good job. Kamu udah bisa segini" "It's okay, Shin. kamu udah bisa sampai sini. Semua orang punya kelebihannya masing-masing. Terus belajar ya!"

Seringkali aku merasa sedih ketika tidak mencapai goals yang seharusnya. Mulai dari hal-hal kecil seperti yang sudah ku tulis diatas. Sampai ke hal-hal yang sangat berdampak dalam diri (baik secara batin maupun secara fisik). 

Self-blame -yang aku rasakan- akan menjelma menjadi self-guilt dan self-shame karena saking toxic nya kebiasaan ini. Pernah suatu waktu, aku sangat kecewa akan suatu hal dan seperti biasa aku blaming diri sendiri. Aku sampai di titik tidak ingin bertemu banyak orang, kurang percaya diri dan jujur saja (waktu itu) jika aku diberi kesempatan untuk lahir kembali mungkin aku akan memilih jalan tersebut. Sayangnya, hidup tidak bisa begitu. Seberapa kecewa pun aku dengan diri, kehidupan tidak akan menungguku, hidup mesti harus berjalan. Dari situ aku belajar, selain self-acceptance yang seringkali aku lupakan adalah self-forgiveness.

Memaafkan diri ini....sangat membutuhkan kesabaran karena butuh waktu yang lama. Dan secara tidak sadar, seringkali kita kabur dari tanggungjawab memaafkan diri dengan menumpuk hal yang mengganggu dengan hal-hal lain yang diharap dapat mendistraksi keruwetan masalah (menonton, belanja, dsb). 

Masalahnya, masalah terus menerus datang, pun kekecewaan terus-menerus hadir. Maka self-forgiveness adalah kegiatan yang juga harus dilakukan berulang-ulang. 

Kita tidak bisa membiarkan keruwetan ini menumpuk begitu saja. Sampai akhirnya aku mengerti kunci dari self-forgiveness adalah ikhlas dan bertaubat. Ikhlas mengakui kesalahan diri yang menyebabkan efek besar pada diri sendiri, ikhlas menerima rasa sakit sebagai bentuk pembelajaran, ikhlas menerima konsekuensi yang akan hadir dimasa depan karena kesalahan diri, dan bertaubat karena selama ini seringkali merasa bisa melakukan sesuatu dengan baik dengan segala usaha diri yang lemah, tanpa melibatkan Yang Maha Kuasa, padahal karenaNya lah aku dapat melakukan sesuatu. 

Butuh waktu yang lama bagiku menyadari ada yang salah dalam diri ini. Aku harap sampainya diri pada titik realisasi ini, dapat membentukku menjadi pribadi yang lebih positif. Dan menerima segala yang hadir pada diri. Belajar mencintai diri berarti berdamai dengan diri dari sudut pandang lain. Mendewasakan diri agar terdorong mencari jalan keluar, instead of hurting my own self.

Semoga dengan membiasakan belajar memanusiakan diri ini selain manambah peduli terhadap diri sendiri. Pun menjadikan ku pribadi peduli terhadap orang lain dan (juga) lebih memanusiakan mereka. 

Yang memandang orang lain yang melakukan salah karena mereka pun pembelajar, mereka pun manusia. "Dia manusia bikin kesalahan juga, sama kayak kamu...". Dibanding menghabiskan tenaga, kesal sendiri (ini susah banget memang T_T tapi harus belajar), dan memiliki harapan yang tinggi terhadap orang lain (berharap mereka 'sempurna' dengan standar yang ada di otak kita, agar tidak selalu merasakan kecewa..

Tentang Perasaann Suka

Terkadang, kita harus banyak bertanya pada diri kita sendiri. 

Misalnya, ketika hati kita memiliki kecondongan pada seorang insan..

Apa kita benar menyukai sosoknya?
Atau kita menyukai sosoknya yang ada dalam pikiran kita?

Jangan-jangan kita hanya menyukai ekspektasi kita akan dirinya. Bukan menyukai dia yang sesungguhnya.

Kita membuat asumsi sedemikian rupa, berandai-andai masa depan yang akan dirakit dengannya.

Bukankah ekspektasi itu akan menghancurkan kita menjadi sosok penuntut?
Bagaimana jika sosoknya ternyata berbeda dengan ekspektasi.

Jika dia yang dimaksud ternyata tidak seperti ekspektasi, kenapa kita harus menyalahkannya?
Kenapa kita memaksa seseorang untuk menjadi dia yang ada dalam pikiran kita?

Jadi, kamu menyukai sosoknya?
Atau menyukai sosoknya yang kamu buat dalam pikiranmu?

Menyendiri

Semakin mendalami diri. Yang semakin terlihat adalah kekurangan. Banyak sekali. Malu rasanya, karena ada waktu-waktu di mana diri merasa cukup---cukup baik. Pun, ada waktu di mana diri melangit, merasa lebih dari siapapun.

Ketika menyendiri. Diam. Berdua dengan Sang Illah. Tabir itu terkuak. Diri yang rapuh. Diri yang bukanlah apa-apa.

Sisakanlah waktumu. Demi dirimu sendiri. Demi menyelami relung-relung yang tidak dilihat orang lain. Demi kesehatan mentalmu.

Karena pada akhirnya, dapat menumbuhkan keinginan untuk berbuat baik karena menyadari bahwa diri yang merasa baik itu palsu.

Cerpen: Tempat Menetap

Perempuan itu menggertakan gigi nya, menahan perasaan kecewa yang membuncah.


"Perempuan cantik mah banyak, bisa dicari. Aku cari yang akhlaknya cantik juga."


Air mata nya mengalir lembut. Lagi-lagi ia tidak bisa menahannya.


"Aku gak takut buat melepas kamu", lanjut laki-laki itu, mantap.


Sarah menatap langit-langit. Tidak ada apa pun di sana. Ia hanya ingin air mata nya berkurang dengan menegadahkan kepala nya ke atas. Entah ke berapa kali nya ia menangis hari ini. Hati nya benar-benar hancur. Kejadian kemarin sore, ucapan dari sang kekasih, terus-menerus terulang dalam benaknya.


"Tapi aku salah apa? Aku udah berusaha menjadi pasangan yang baik. Aku gak pernah minta dibelikan apapun. Aku gak melarangnya melakukan apa yang ia senangi. Aku cuma mau dia menetap ya Allah. Aku cuma minta sedikit" ucapnya, rapuh.

cr: hipwee

Kini ia memandang ke depan, ke arah cermin yang memantulkan bayangnya.


"Aku gak tau. Apa aku harus senang atau sedih karena memiliki ini." Isaknya.


"Memangnya aku mau punya wajah kayak gini? Kenapa ada saja yang menginginkan nya? Sedangkan hal ini selalu menjadi alasan bagi seseorang datang dan meninggalkanku"


Ia semakin tersedu.


"Apa yang dimaksud akhlak yang cantik? Maksudnya akhlak ku seburuk itu?" nada nya meninggi, kesedihan itu bercampur dengan amarah.


Sarah tahu benar dirinya begitu hina dan memang akhlaknya begitu buruk. Ia tahu dirinya tidak memiliki akhlak seperti sahabiyyah atau teman-teman shalihah lainnya.


Namun ia melempar dirinya begitu jauh. Hanya karena kalimat dari seseorang yang mengisi relung hatinya.  Ia merasa dirinya tidak lebih dari sekedar manusia sampah. Bahkan, merasa dalam dirinya tidak ada satupun kebaikan.


Ia melirik rak buku di bawah cermin tempat ia melihat pantulnya. Sebuah Al-Qur'an terpatri rapi di sana.

Tarikan nafasnya dalam. Ia masih tersedu-sedu. Tangannya meraih kitab suci itu.

"Seenggaknya.. Mungkin, jika manusia melihat kebaikan akhlak berdasarkan standar. Jika memang bukan manusia. Aku yang akhlaknya buruk ini. Aku yang dipenuhi keburukan ini. Aku yang gak lebih dari sekedar sampah ini. Memiliki tempat untuk kembali. Memiliki tempat untuk menetap."

(Bukan) Tujuan

cr:pxhere



Aku bukan tujuanmu.
Dan tidak menginginkan untuk dijadikan sebagai tujuan.


Jika kamu kemari, hanya karena tertarik pada apa yang ada pada diriku.
Aku tidak bisa menjamin ketertarikanmu, tidak akan berubah menjadi penyesalan.
Aku tau segala kebaikan dapat berawal dari hal-hal kecil yang begitu menarik.
Tapi jika itu landasanmu, siap-siaplah menyesal.


Jika kamu menghampiri karena ingin bahagia.
Aku tidak bisa memberi nya.
Karena kebahagiaan bukan berasal dariku.
Tapi dari persepsimu memandang rahmat Tuhan.


Jika kamu datang hanya ingin mendapatkan cinta dari ku.
Cepat atau lambat,
Aku dan kamu akan sama-sama menjadi makhluk egois.
Aku dengan semua perasaanku.
Dan kamu dengan segala logikamu.
Saling menuntut kasih sayang atas ekspektasi masing-masing.


Aku tidak ingin menjadi tujuanmu.
Karena memang tujuanmu seharusnya bukan aku.


Tujuanmu seharusnya lebih luas, dibanding sekedar seorang perempuan yang lemah, tidak bisa apa-apa.


Aku bukan tujuan.. karena di depan sana, ada hal yang lebih penting yang harus kamu dan aku raih sebagai manusia.


Pasangan, hanya satu dari sekian banyak orang yang hadir di hidupmu, ia bukan tujuan.
Yang dengannya, diambil keputusan untuk melangkah.
Beriringan searah, bukan untuk meringankan beban.
Melainkan sebagai teman untuk menuju tujuan yang seyogyanya adalah tujuan.


Maka, kemarilah jika kamu pikir aku dapat menemani perjalanan menuju tujuanmu berada di dunia ini.
Aku tidak akan menjanjikan segala yang dilalui akan menjadi mudah.
Sama sekali tidak.
Mungkin akan banyak sulit.
Apalagi, aku ini terlalu banyak cacatnya.


Tapi tujuanku satu, aku ingin pulang dengan keadaan baik dan menuju tempat yang baik.
Dan jika kamu pun sama, mungkin kamu bisa datang.
Mungkin kita dapat mengusahakannya bersama.

LGBT: Sebuah perspektif

cr: pxhere
“Kamu kan religius, kenapa ngambil topik skripsi semacam LGBT bahkan ini… transgender pengidap AIDS?” Tanya dosenku hari itu.

Aku diam.

Banyak hal yang harus aku jelaskan walaupun beliau hanya memberikanku satu pertanyaan. Dan aku rasa, aku harus menuliskan juga perpektifku terhadap isu yang sangat-sensitif ini.
-

Pertama, aku tidak religius.

Aku tidak mengerti apa yang dinilai dari diri seseorang sehingga ia bisa disebut sebagai religius. Jika religius berarti patuh dalam menjalankan aturan agama, jawabannya adalah tidak, aku tidak religius. Aku masih begitu banyak memiliki kecacatan dalam perjalanan mematuhkan diri dengan Sang Ilahi. Aku belum sepenuhnya patuh.

Mungkin, banyak yang menilai aku religius karena pakaianku. Tapi ada yang harus ku tekankan, pakaian hanyalah satu dari sekian banyak aspek yang ada dalam diri seseorang, oleh karena itu aku menolak digeneralisir dengan penilaian religius hanya karena pakaian.

Aku menolak disebut religius, karena aku sangat-belum-cukup untuk dikelompokkan ke dalam kelompok manusia-manusia baik. Aku hanyalah manusia, yang -berusaha- menjadi patuh. Mungkin lebih tepat, jika pertanyaannya ditambah, “Kamu kan orang yang berusaha menjadi religus”, aku baru akan menerimanya—Karena mungkin, orang yang melabeli aku sebagai “religius” adalah orang yang lebih “religus” (lebih taat, lebih patuh, lebih tinggi derajatnya di sisi Allah) daripada aku.


Kedua, aku tidak memandang kelompok LGBT sebagai kelompok yang mesti aku jauhi.

Beberapa orang menyalah-artikan maksudku ini sebagai….aku adalah orang yang menerima LGBT atau aku termasuk ke dalam kelompok islam liberal. Fyuh. Bismillah, semoga perpektif yang aku punya setidaknya sedikit menjelaskan maksudku yang sebenarnya.

Aku ingin menekankan dulu sebelumnya, aku tidak menerima LGBT. Karena nilai yang mereka punya sangat bertentangan dengan nilai yang aku punya. Aku heteroseksual dan agama ku melarang hubungan homoseksual/biseksual, pun merubah status kelamin sebagaimana ia dilahirkan adalah sesuatu yang dilarang atau bisa disebut sebagai “perilaku dosa”. Tapi aku tidak mau memusuhi mereka.

Pertama, dalam perspektif ku, meskipun mereka berbuat dosa bukan berarti derajatku lebih baik dibanding mereka di sisi Tuhan. Aku pun sama, melakukan dosa. Banyak? Ya, sangat-banyak-sekali. Hanya saja, perbedaannya, aku melakukan dosa secara sembunyi-sembunyi (kadang aku pun tidak merasa sedang melakukan dosa). Sedangkan mereka, lebih “terlihat”.

Ada beberapa orang yang mungkin akan menyanggahku dengan “Tapi mereka kan melakukan dosa besar”. Ya, aku setuju, tapi bukan berarti aku tidak melakukan dosa besar, jujur saja--kamu hanya tidak melihatnya. Selain itu, dosa-dosa kecil yang aku lakukan, aku tidak tau sudah seberapa besar jumlahnya, aku tidak tau apakah dosa-dosaku sudah diaampuni atau belum, yang bisa aku lakukan hanyalah berusaha bertaubat. Dosa kecil pun lama-lama akan menumpuk, itu sebabnya kita tidak boleh meremehkan dosa kecil bukan?

Dan karena segala tumpukkan dosa yang ku punya tidak bisa dibandingkan dengan dosa yang mereka punya, karena tidak terlihat, aku tidak bisa menghitungnya. Lantas, kenapa aku harus memposisikan diri menjadi sosok yang ‘lebih tinggi’ dibandingkan mereka?

cr: grid.id

Masih ada beberapa alasan lain.

Kedua, aku memandang mereka sebagai orang-orang yang harus berjuang dengan melawan nafsu nya, sama sepertiku. Bedanya, untuk yang homoseksual seperti lesbian dan gay, mereka harus berjuang melawan hawa nafsu kepada sesama jenis. Sedangkan aku, kepada lawan jenis. Apalagi bagi homoseksual yang sedari kecil, tidak pernah sama sekali merasakan perasaan suka kepada lawan jenis, dalam tanda kutip mereka disebut sebagai homoseksual karena hormon yang ia miliki (karena manusia lahir berbeda-beda), atau yang merasakan salahnya didikan orangtua sehingga tidak familiar dengan hubungan heteroseksual. Dan mungkin teman-teman biseksual, lebih berat lagi dalam melawan nafsunya.

Kenapa aku memiliki perspektif ini? Aku beberapa kali melakukan wawancara dengan yang bersangkutan. Dan beberapa dari mereka mengaku merasa ingin menjadi heteroseksual tapi tidak bisa. Mengerti bahwa agama melarang sehingga ingin menjadi heteroseksual. Berusaha sehingga mereka terkadang merasa diri mereka orang-yang-dilahirkan-dengan-sangat-buruk, frustasi bahkan depresi. Meski beberapa dari mereka pun, merasa tidak ada yang salah dengan diri mereka, itu adalah pilihan mereka bukan pilihanku jadi tidak berpengaruh apapun pada diriku.

Kembali fokus ke homoseksual yang ingin menjadi heteroseksual dan berjuang melawan hawa nafsunya. Aku pun sama, berjuang dengan hawa nafsuku. Ada beberapa waktu di mana aku tidak bisa menahan hawa nafsu ku kepada lawan jenis. Aku pernah sangat ingin memiliki seseorang. Pernah berusaha menjadikannya agar menjadi pasangan hidup dengan cara yang salah. Aku pun pernah merasa diri ini orang-yang-sangat-buruk karena tidak dapat mengontrolnya. Kita semua sama-sama berperang melawan hawa-nafsu.

Dan untuk transgender, keinginannya menjadi gender yang berlawanan. Mereka pun berjuang dengan keinginannya menjadi lawan jenis, memakai pakaian yang dinginkan, dan lainnya. Aku pun sama, meski tidak ada keinginan untuk berubah gender. Aku ada keinginan untuk memakai apa yang aku inginkan. Misalnya? pakaian pendek, dengan potongan yang lucu-lucu, modis nan trendy. Tapi aku mau-tidak-mau harus menahannya.

Aku tau betapa sulitnya mengontrol hawa nafsu ini, kenginan-keinginan yang tidak diperbolehkan, oleh karena itu, apa yang membuatku pantas merasa ‘lebih-baik’ sehingga aku ‘layak memusuhi’ mereka? Padahal aku sendiri berjuang melawan itu semua.

cr:tribunnews

Dan yang terakhir, poin yang paling inti. Aku tau mereka melakukan dosa besar. Jika aku memusuhinya, lantas apa peran dakwahku terhadap mereka? Dimana peranku padahal aku di tempatkan oleh Tuhannku berada di era di mana LGBT menjadi isu hangat. Bagaimana jika suatu hari nanti, di hari pertanggungjawaban, aku di tanya oleh Tuhan mengenai hal ini?

Aku tau, tidak semua dari mereka menginginkan untuk didakwahi. Menurutku, itu bukanlah sebuah masalah. Aku tidak ingin memaksa mereka. Peranku, adalah menghadirkan dengan akhlak (meski aku tau akhlak yang kumiliki sangat amburadul), bahwa menjadi beragama bukan berarti orang yang bersangkutan suci sehingga dapat merendahkan orang lain. Peranku adalah menghadirkan dakwah melalui obrolan dan perilaku. Meski aku tau beberapa orang dari mereka berpegang-teguh dengan nilai yang dipunya. Tidak apa-apa. Aku pun memiliki nilai yang ku pegang dan aku pun tidak ingin seseorang mengganggu nilai-nilai yang ku punya. Yang penting, aku sudah melakukan suatu ‘action’---kepada diriku sendiri untuk tidak menjadi sombong, dan kepada mereka. Soal hasilnya, kan bukan urusanku. Aku serahkan pada Tuhan. Aku yakin Tuhan hanya melihat usahaku. Aku tidak ingin memaksa karena setiap orang tidak suka keinginannya dipaksakan. Karena aku dihisab oleh apa yang aku kerjakan, bukan apa yang orang lain kerjakan.

Setidaknya, aku ingin menghadirkan “tempat-untuk-kembali” jika mereka ingin, meskipun aku tidak dapat begitu memfasilitasi, tapi aku ingin mengusahakannya. Karena aku juga ingin melakukan apa yang ingin aku dapatkan dari orang lain, yaitu, ketika aku melakukan sebuah dosa, aku tidak distigma, aku tidak dihindari, aku tidak dikucilkan melainkan dirangkul, melainkan aku-memiliki-orang-dimana-aku-bisa-kembali.

Aku terinspirasi dengan adanya pesantren Al-Fatah di Yogyakarta bagi waria atau pesantren “Senin-Kamis” untuk para homoseksual. Memang paradoks, antara agama dan apa yang dilabeli dengan ‘dosa’ disatukan. Tapi bagiku… semua orang memiliki hak untuk kembali pada Tuhannya. Tanpa terkecuali.

Itu sebabnya. Aku tidak setuju dengan pembatasan lapangan pekerjaan kepada kelompok LGBT., pembatasan fasilitas kesehatan, dan lainnya. Jika kamu adalah orang yang pernah membaca buku mengenai stigma kelompok LGBT, pasti kamu tau. Karena adanya diskriminasi yang diberikan, mereka tidak dapat hidup layak, mereka semakin terjerembab dalam jurang. Banyak lho dari mereka yang menjadi PSK karena tidak adanya lapangan pekerjaan yang diberikan. Kamu bisa baca buku-buku yang berkaitan dengan stigma untuk mengetahui lebih lanjut (uhuy yang lagi berusaha nyusun mah beda x’D) atau membuka diri dengan mengobrol dengan mereka yang kamu anggap berbeda. Aku tidak mau kehadiranku karena melakukan hal yang sama, alih-alih menyelamatkan mereka, malah semakin memperburuk keadaan yang mereka alami.

Menurutku, menghukumi seseorang atas perilakunya bukanlah tugasku, tugasku adalah melakukan sesuatu yang kuanggap benar untuk membantu mereka.

Sekian perspektif yang sangat panjangnya.

Jika ada perbedaan nilai, aku harap kamu sebagai pembaca dapat menghargai perspektif ku dengan tidak melakukan cancelling. Atau menghukumi ku sebagai liberal, karena pada kenyataannya aku tidak merubah satu pun aturan dari agama. Ini merupakan pilihan aksi yang ku pilih.
Terimakasih. <3


Kok Dia Bisa Gitu Ya? Munafik atau..


Pernah gak melihat seseorang yang kamu anggap sebagai “orang yang baik”, melakukan hal-yang-sangat-burukyang gak pernah terpikirkan bahwa orang seperti dia akan melakukannya? Misalnya, seorang ustadz di suatu daerah yang ku tahu, mengadakan pengajian untuk anak-anak agar lebih mendalami Al-Qur’an, eh, tapi malah.…menghamili salah satu muridnya. Atau kejadian serupa di Boston Amerika, yang diangkat menjadi film berjudul Spotlight (harus nonton), bahwa di tahun 2002 terungkap bahwa ratusan -bahkan berbentuk jaringan- pastor di AS melecehkan anak-anak.

Atau kamu pernah mendengar hal yang lebih mengagetkan lainnya?

Maka hari ini, ingin menulis mengenai.. Kok dia bisa gitu ya? Padahal kan….

Dari sini jelas bisa disimpulkan, bahwa dunia ini nggak cuma terdiri dari warna hitam dan putih. Semua manusia memiliki warna nya sendiri. Kita kerap kali merasa bisa menilai seseorang dengan baik, tapi sering kali penilaian itu gagal.

Hal ini dijelaskan oleh Prof. Deddy Mulyana dalam bukunya Pengantar Ilmu Komunikasi. Beliau menuliskan bahwa kesalahan persepsi terhadap seseorang ini disebut sebagai Halo Effect. Merujuk kepada fakta bahwa kita membentuk kesan menyeluruh karena sifat-sifat yang menonjol dari pribadi seseorang. Bila sifat negatif yang menonjol, kita sulit mengakui bahwa ia memiliki beberapa sifat positif. Pun, sebaliknya. Dengan kata lain, kita mengelompokkan sifat-sifat seseorang secara kaku.

Maksudnya, aku beri contoh seorang-yang-sepertinya-semua-orang-kenal: Awkarin. Dengan akun Instagramnya, ia menampilkan bahwa ia adalah seorang bad girl. Banyak hujatan mendatangi nya di kolom komentar. Bahkan seringkali ia di cap sebagai bad influencer.  Nah. Sekarang pertanyaannya.. apa dia benar-benar seburuk yang dipikirkan?

Beberapa waktu yang lalu, sosok Awkarin ini pergi ke Palu membantu korban gempa. Yang kemudian, menggetarkan (yaila?) jagat internet :p. Salah satu komentar yang ku baca (dan masih teringat) dari sebuah postingan, seperti ini: Awkarin udah berubah ya. Yups! Bisa jadi dia berubah, atau bisa jadi kita yang mengelompokkan dan menggeneralisir sifatnya secara kaku. Kalau yang kita lihat bernilai buruk, maka kita mempersepsikan ia orang yang seperti itu. Padahal belum tentu. Semua orang selalu punya sisi kebaikan dan keburukan. Dan kita nggak pernah tau, sebenarnya keburukan atau kebaikan yang mendominasi dalam diri seseorang itu.

Selain menggeneralisir seseorang melalui sikap nya yang kita lihat, Prof. Deddy Mulyana juga menyatakan bahwa kita mempunyai ekpektasi sifat seseorang melalui penampilannya. Yang ganteng dan cantik mah…dinilai punya kebaikan lebih.

Contoh nya, beberapa waktu yang lalu (bahkan sampai sekarang), dunia per-kpop-an heboh dengan kasus Burning Sun. Buat yang enggak tahu apa itu Burning Sun… Burning Sun ini nama sebuah club malam di Korea Selatan. Kasus ini rame banget karena yang punya club malam ini adalah salah-satu anggota Boyband terkenal Korea, Bigbang. Kasus ini menarik.. karena ternyata di dalamnya terdapat kasus penyuapan petinggi polisi Korea, pengedaran narkoba, penjualan perempuan dengan membiusnya, bahkan merekam hubungan seksual dengan diam-diam dan menyebarkannya! Makin gila nya lagi, setelah kasus semakin didalami, yang termasuk di dalam kasus ini bukan hanya pemilik club malam Burning Sun, tapi banyak nama idol lain yang terseret dalam kasus pelecehan seksual. Ah, panjang banget kalau diceritain, bisa klik di sini aja buat penjelasan lebih lengkapnya.

Yang bikin kagetnya, yah itu idol kan mukanya ganteng-ganteng.. bukan muka kriminal lah, siapa sangka. Nah, salah satu hal yang sering kita lupa adalah semua orang ingin menunjukkan sisi terbaiknya. Selain para idol yang secara manusiawi ingin menunjukkan sisi baik dirinya, dalam dunia entertainment, pasti seseorang dibuat sedemikian rupa agar ia terlihat memiliki sikap yang baik. Yah.. bak perfect. Bahkan salah satu idol yang terlibat kasus ini yang ku tahu, suka memberi donasi uang untuk yang membutuhkan (diluar variety shows). Ketika kasus ini pertama kali muncul, banyak orang yang nggak percaya idolnya melakukan hal buruk seeprti itu. Bahkan sempat masih mensupport idolnya.

Padahal kembali lagi manusia tetaplah manusia. Dia baik, tapi pasti selalu ada keburukan didalamnya. Dia buruk, tapi pasti selalu ada kebaikan didalamnya. Karena kita manusia, bukan setan pun malaikat. Dia cantik, pasti dia punya kebaikan dan keburukan. Dia ganteng, sama! Dia punya kebaikan dan keburukan. Karena kita semua manusia, bukan iblis pun bukan malaikat.

Manusia pasti melakukan salah dan pasti melakukan kebaikan. Soal derajat siapa yang lebih baik, kita tidak pernah tau. Karena kita bukan lah penilai yang baik---yang kita nilai baik ternyata buruk, yang buruk pun sebaliknya.  Dan tugas kita di dunia ini pun bukan untuk menjadi penilai. Hihi, kita adalah makhluk yang nggak tau apa-apa, tapi sering sok tau T__T.

Manusia dengan keunikannya membawa banyak kejutan. Seorang yang terlihat ahli di bidang agama, bisa jadi menipu banyak orang. Seorang yang periang, bisa jadi melakukan tindakan bunuh diri. Seorang pencuri, bisa saja melakukan tindak pencurian karena ingin membahagiakan anaknya. Seorang yang berpenampilan sederhana, bisa jadi adalah seorang miliyader. Seorang yang pemarah, bisa jadi adalah seorang yang penyayang. Singkat kata, karena keunikan yang terdapat pada masing-masing individu kita seyogyanya berhati-hati dalam mempersepsikan seseorang, karena Halo Effect ini dapat menipu setiap orang.

Pada akhirnya, aku ingin mengutip kalimat yang sangat terngiang dari Yasmin Mogahed, bahwa manusia yang baik bukanlah manusia yang nggak pernah melakukan kesalahan (keburukan). Tapi manusia yang melakukan kesalahan, namun menyesalinya dan bertaubat, serta terus-menerus berusaha memperbaiki dirinya. 

Dan karena kita tidak pernah tahu siapa itu orangnya, sudah sepantasnya kita tidak menilai orang lain. Karena kita -sebagai manusia- tidak memiliki kapasitas dalam melihat itu.


Tentang Memantaskan Diri

Kata ‘memantaskan diri’ erat dikaitkan dengan......jodoh. Yup, memang, pernikahan itu bukanlah sebuah jenjang yang bisa dilalui dengan mudah. Akan banyak tanggung jawab besar yang dihadapi ke depannya, maka banyak yang harus dipersiapkan dan prosesnya bisa disebut sebagai proses ‘memantaskan diri’.

Aku sangat setuju dengan pemaknaan di atas. Tapi, mungkin, aku memiliki pemaknaan lain dalam memaknai kata ‘memantaskan diri’.

Menurutku, memantaskan diri dapat dimaknai secara luas. Memantaskan diri adalah proses yang harus (karena mau-tidak-mau) dilakukan oleh semua manusia dalam segala aspek kehidupan.

Ketika aku mengajar, maka aku akan mencari bahan yang akan ku sampaikan. Aku tidak bisa datang ke kelas sekedarnya tanpa adanya persiapan. Jika aku datang tanpa belajar terlebih dahulu, bisa-bisa aku salah memberikan informasi. Bisa-bisa aku menyesatkan.. aku harus memantaskan diri menjadi soerang guru dalam versi terbaik. 

Ketika aku dihadapkan dengan seorang dosen. Maka aku harus mengerti bagaimana cara nya ia mengajar, agar aku dapat dengan maksimal menyerap materi yang beliau disampaikan. Aku juga harus mempelajari karakteristik dosen tersebut, bagaimana aku dapat memiliki hubungan yang baik dengannya. Bagaimana aku bisa berkonsultasi dengannya.. aku harus memantaskan diri menjadi mahasiswa yang baik.

Ketika aku menginginkan diri untuk lulus dengan nilai baik dan dalam tempo waktu yang cepat. Maka aku harus banyak belajar..banyak membaca. Aku mesti mendisiplinkan diri.. aku memantaskan diri untuk menjadi seorang sarjana.

Ketika aku menginginkan diri untuk bekerja disuatu tempat. Maka aku harus mengikuti segala rangkaian proses penerimaan. Aku harus mempersiapkan diri terlebih dahulu.. aku memantaskan diri agar 'pantas' diterima oleh tempat dimana aku ingin bekerja.

cr: islampos.com/7291-7291/

Segala proses yang dilalui dalam hidup ini adalah proses memantaskan-diri, memantaskan diri menurutku adalah segala proses yang dilalui dalam mencapai apa yang diinginkan.

Bahkan sedari kecil sebagai manusia, kita terbiasa memantaskan diri kita untuk mencapai sesuatu.

Misalnya, ketika dulu aku ingin sama seperti orang lain, bisa bermain sepeda, maka aku harus melalui proses jatuh, menabrak dan tidak menyerah dalam melatih diri.

Dari sudut pandang ini, aku menyadari semangat memantaskan diri sebenarnya sudah ditanamkan sejak lahir dalam diri setiap insan. Konteks memantaskan-diri menurutku bukanlah hanya terbatas dalam konteks pernikahan. Tetapi dalam segala konteks-kehidupan. Sesudah menikah pun, tetap harus memantaskan diri untuk menjadi pasangan yang baik, menjadi menantu yang baik, menjadi tetangga yang baik, menjadi orangtua yang baik dan terus berlanjut dalam segala detailnya sampai kematian menjemput.

Pada akhirnya, konsep memantaskan-diri adalah konsep besar dalam kehidupan. Sebuah konsep yang dihadirkan oleh Tuhan (pasti) dengan tidak sia-sia. Menurutmu apa maksud utama dalam memantaskan-diri? Menurutku, konsep memantaskan-diri dihadirkan agar kita terus-menerus berproses menjadi pribadi yang baik agar kelak dapat kembali menemui-Nya dalam keadaan yang sebaik-baiknya.

Hadiah

 
cr. outerbloom


 Semua orang suka sama hadiah. Tapi kadang, ehm, sering nya, saya lupa kasih hadiah ke orangtua. Kapan ya terakhir saya kasih hadiah ke orangtua? 

Yah, Mungkin karena saking baik dan tulusnya, mereka jadi gak mengharap imbalan apapun. Cukup liat saya tumbuh dan berkembang dengan baik, itu udah jadi hadiah tersendiri, katanya.

Omong-omong soal tumbuh dan berkembang, saya jadi kepikiran;

Apa… saya sudah tumbuh dan berkembang dengan baik? Apakah sudah sesuai dengan harapan dari orangtua saya?

Dan lagi-lagi muncul pertanyaan, apa mungkin selama ini saya keasyikan tumbuh dan berkembang? Sehingga terkadang saya terlena dengan keasyikan lingkungan dan sering secara sengaja maupun enggak, melupakan mereka karena saya lebih memprioritaskan hal lain?.

Apakah saya sudah menjadi hadiah yang baik?

Malu rasanya. Saya masih banyak banget kurangnya, apalagi dihadapan orangtua. Yang tau segala seluk-beluknya saya, tapi -anehnya- masih mencintai dan berusaha membuat saya bahagia.

Cuma hadiah doang, saya suka gak inget. Mereka susah payah kasih segala kebutuhan, cari nafkah walau capek, tapi menghadiahi mereka saja saya gak ingat.

Mereka memang gak minta hadiah sih, tapi bukan berarti juga mereka gak mau. Sekali-kali mungkin ada baiknya sebagai anak walaupun masih dapet uang jajan dari orangtua untuk mengembalikan uang itu dalam bentuk lain. Nabung buat orang yang memang dicinta. Memang gak cukup untuk membalas kebaikan mereka, tapi saya ingin membuat mereka senang, walaupun hanya sebuah letupan kecil dalam hati.

Apalagi Ibu. Sebagai seorang perempuan saya gak bisa menapik bahwa saya suka hadiah, dalam bentuk apapun. Perempuan pasti ngerasain hal ini. Dan laki-laki juga tau kalo perempuan suka banget sama hadiah. Makanya laki-laki seringkali ngasih gebetan/pacar nya sesuatu (hadiah) buat dapetin hatinya. Nah, tapi suka lupa kan, Ibu juga perempuan. Dan beliau juga suka hadiah.  Coba bayangin kalau kita punya anak (eh kejauhan), hm.. keponakan/adek deh yang sering maen sama kita. Dia tiba-tiba kasih kita hadiah, memang gak seberapa sih, kita gaminta juga, gausah beliin juga, tapi kita gak bisa menepis rasa senang itu. Rasa senang akan ia yang menunjukkan adanya kepedulian terhadap kita. Bayangkan, Apalagi kalau itu anak sendiri, apa gak bakal senang?

Saya masih suka malu buat bilang kalo saya sayang sama orangtua. Kadang saya berani, kadang ciut.

Hadiah berupa verbal gak bisa selalu saya berikan karena kalah melawan gengsi. Jika saya memberi sebuah hadiah berupa non-verbal, saya yakin mamah-bapak pasti tau bahwa hadiah yang gak seberapa itu merupakan bentuk kepedulian dan sayang yang gak bisa diucapkan secara langsung.

Saya ingin terus memberi mereka hadiah. Dalam hal apapun. Kabar, Do’a, maupun materil.
Semoga saya selalu bisa. Dan semoga Allah memudahkan saya untuk membahagiakan mereka.

Aamiin Yarabal Alamin.

 - was written on Tumbr

Tempat Berlindung


Beberapa waktu yang lalu, aku menonton liputan mengenai Sesar lembang.

"Bahaya nih", pikirku waktu itu.

Kemudian, sempat terpikir untuk mencari tempat kerja di luar Bandung. Rencananya, setelah lulus, (awalnya) aku ingin menetap di kota ini. Tapi setelah menonton liputan tsb. Ada keraguan, meski Bandung merupakan kota yang begitu nyaman. Apa artinya nyaman kan kalau hidup ada dalam bahaya?

Hmmm... Apa aku tinggal di Jakarta aja ya? atau di Jogja aja?

"Semuanya sama aja, Shin.. Dimana-mana itu bahaya.", Ujar temanku, lembut, mengingatkan.

Aku terdiam, lantas mengangguk tersadar.

YaAllah..

Aku merasa.. aku sama seperti orang yang takut untuk pergi menggunakan pesawat karena ada pemberitaan mengenai kecelakaan pesawat.

Yang karena ketakutannya akan berita kecelakaan pesawat tersebut, akhirnya memilih jalur darat untuk bepergian. Karena ber-'asumsi' akan lebih aman jika menggunakan jalur darat dibanding jalur udara.

Padahal... sama saja.
Berapa banyak kecelakaan darat yang menewaskan?




Pun, kalau aku tidak pergi kemana-mana dan hanya berdiam diri di rumah.

Sama saja. Bahaya itu bisa saja datang.

Nyatanya, rumah juga bukanlah tempat yang bisa disebut aman secara 'absolut'.

Meski rumah selalu diidentikan dengan tempat yang 'aman'.

Tidak ada yang menjamin keamanan 100 %.

Berapa banyak orang yang mati terkena reruntuhan atap rumahnya ketika terjadi gempa bumi? 

Berapa banyak orang yang mati di atas kasurnya?


Jadi, dimana pun aku. Bahaya bisa selalu mengintai.

Tidak ada tempat yang benar-benar aman.

Tidak ada tempat yang bisa betul-betul disebut sebagai tempat berlindung.

Karena dimana-mana ada bahaya.

Dan apapun dapat terjadi.

Kita selama ini dapat hidup dengan aman.

Bukan karena tempatnya yang membuat kita aman.

Dimanapun tempat yang melindungi hanya perantara.

Dari Tuhan yang Maha Pengasih.

Arti Kehadiran

Hari itu, sahabatku menangis tersedu di depan banyak orang. Aku diam seribu bahasa. Ya. Aku tahu apa-apa yang telah ia lalui. Dan aku tau betapa sulit untuknya melewati itu semua.

"Makasih, udah ada di kehidupan aku. Walaupun kalian gak tau apa-apa. Walaupun aku cuma cerita ke Shintia. Tapi justru dengan ke-enggak-tahuan kalian itu yang membantu aku." Ucapnya tersedu.

Mungkin, bagi sebagian orang ucapannya itu membingungkan. Tidak merasa telah membantu apapun, bahkan masalahnya pun tidak tahu, tapi merasa telah terbantu?

Namun, tidak bagiku.
Kalimat tersebut, merupakan kalimat yang manis. Begitu manis. Bagaimana dia terpikirkan untuk menghargai seseorang yang bisa dibilang tidak-peduli (karena tidak tahu apa yang dilewati) padanya?


Bagiku.. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Yang sudah mengenal aku dengan baik, pasti sering melihat sikap tidak percaya diriku saat menghadapi sesuatu. Aku terkadang melihat diri, tidak berarti di kehidupan orang lain. Melihat diri, tidak memiliki manfaat barang sedikitpun bagi orang lain. Melihat diri, tidak pantas berada disekitar orang lain.


"Justru karena kehadiran kalian yang gak tau apa-apa. Aku jadi teralihkan buat mikirin masalah aku. Kalo gak ada kalian aku gatau bakal gimana. Mungkin aku bakal sedih terus." Lanjutnya, masih tersedu.

Suasana hening. Beberapa orang ikut meneteskan air mata. Aku menarik nafas yang panjang, dan menghembuskannya dalam sekali hembusan. Sahabatku, orang yang paling tsundere yang pernah kutemui ini.. ternyata bisa mengungkapkan perasaannya dengan sedemikian apik.

Dan aku sangat berterimakasih, ucapannya telah membangunkanku dari tidur. 
Kehadiranku yang menurutku tidak penting bagi orang lain. Kehadiranku yang menurutku adalah beban untuk orang lain. Belum tentu seperti itu.


Bahkan dengan tidak melakukan apapun. Dengan ketidaktahuanku. Hanya dengan aku 'hadir' di kehidupan seseorang. Bisa menjadi kebaikan baginya. Bisa memberikan manfaat tanpa diketahui.

Dan bagi yang merasa sendirian.
Bagi yang merasa tidak berharga.
Bagi yang merasa eksistensi hidupnya tidak penting.

Ternyata tidak begitu, mungkin kehadiranmu berarti bagi seseorang. Tanpa ia ucapkan. Tanpa kamu ketahui.