cr: pxhere |
Aku diam.
Banyak hal yang harus aku jelaskan walaupun
beliau hanya memberikanku satu pertanyaan. Dan aku rasa, aku harus menuliskan
juga perpektifku terhadap isu yang sangat-sensitif ini.
-
Pertama,
aku tidak religius.
Aku tidak mengerti apa yang dinilai dari diri
seseorang sehingga ia bisa disebut sebagai religius. Jika religius berarti
patuh dalam menjalankan aturan agama, jawabannya adalah tidak, aku tidak
religius. Aku masih begitu banyak memiliki kecacatan dalam perjalanan
mematuhkan diri dengan Sang Ilahi. Aku belum sepenuhnya patuh.
Mungkin, banyak yang menilai aku religius karena
pakaianku. Tapi ada yang harus ku tekankan, pakaian hanyalah satu dari sekian
banyak aspek yang ada dalam diri seseorang, oleh karena itu aku menolak
digeneralisir dengan penilaian religius hanya karena pakaian.
Aku menolak disebut religius, karena aku
sangat-belum-cukup untuk dikelompokkan ke dalam kelompok manusia-manusia baik.
Aku hanyalah manusia, yang -berusaha- menjadi patuh. Mungkin lebih tepat, jika
pertanyaannya ditambah, “Kamu kan orang yang berusaha menjadi religus”,
aku baru akan menerimanya—Karena mungkin, orang yang melabeli aku sebagai
“religius” adalah orang yang lebih “religus” (lebih taat, lebih patuh, lebih
tinggi derajatnya di sisi Allah) daripada aku.
Kedua,
aku tidak memandang kelompok LGBT sebagai kelompok yang mesti aku jauhi.
Beberapa orang menyalah-artikan maksudku ini
sebagai….aku adalah orang yang menerima LGBT atau aku termasuk ke dalam
kelompok islam liberal. Fyuh. Bismillah, semoga perpektif yang aku punya
setidaknya sedikit menjelaskan maksudku yang sebenarnya.
Aku ingin menekankan dulu sebelumnya, aku
tidak menerima LGBT. Karena nilai yang mereka punya sangat bertentangan
dengan nilai yang aku punya. Aku heteroseksual dan agama ku melarang hubungan
homoseksual/biseksual, pun merubah status kelamin sebagaimana ia dilahirkan
adalah sesuatu yang dilarang atau bisa disebut sebagai “perilaku dosa”. Tapi aku
tidak mau memusuhi mereka.
Pertama, dalam perspektif ku, meskipun mereka
berbuat dosa bukan berarti derajatku lebih baik dibanding mereka di sisi Tuhan.
Aku pun sama, melakukan dosa. Banyak? Ya, sangat-banyak-sekali. Hanya saja,
perbedaannya, aku melakukan dosa secara sembunyi-sembunyi (kadang aku
pun tidak merasa sedang melakukan dosa). Sedangkan mereka, lebih “terlihat”.
Ada beberapa orang yang mungkin akan menyanggahku
dengan “Tapi mereka kan melakukan dosa besar”. Ya, aku setuju,
tapi bukan berarti aku tidak melakukan dosa besar, jujur saja--kamu hanya tidak melihatnya. Selain
itu, dosa-dosa kecil yang aku lakukan, aku tidak tau sudah seberapa besar
jumlahnya, aku tidak tau apakah dosa-dosaku sudah diaampuni atau belum, yang
bisa aku lakukan hanyalah berusaha bertaubat. Dosa kecil pun lama-lama akan
menumpuk, itu sebabnya kita tidak boleh meremehkan dosa kecil bukan?
Dan karena segala tumpukkan dosa yang ku punya
tidak bisa dibandingkan dengan dosa yang mereka punya, karena tidak terlihat,
aku tidak bisa menghitungnya. Lantas, kenapa aku harus memposisikan diri
menjadi sosok yang ‘lebih tinggi’ dibandingkan mereka?
Masih ada beberapa alasan lain.
Kedua, aku memandang mereka sebagai orang-orang
yang harus berjuang dengan melawan nafsu nya, sama sepertiku. Bedanya,
untuk yang homoseksual seperti lesbian dan gay, mereka harus berjuang melawan
hawa nafsu kepada sesama jenis. Sedangkan aku, kepada lawan jenis. Apalagi bagi
homoseksual yang sedari kecil, tidak pernah sama sekali merasakan perasaan suka
kepada lawan jenis, dalam tanda kutip mereka disebut sebagai homoseksual karena
hormon yang ia miliki (karena manusia lahir berbeda-beda), atau yang merasakan
salahnya didikan orangtua sehingga tidak familiar dengan hubungan
heteroseksual. Dan mungkin teman-teman biseksual, lebih berat lagi dalam melawan
nafsunya.
Kenapa aku memiliki perspektif ini? Aku beberapa
kali melakukan wawancara dengan yang bersangkutan. Dan beberapa dari mereka
mengaku merasa ingin menjadi heteroseksual tapi tidak bisa. Mengerti bahwa
agama melarang sehingga ingin menjadi heteroseksual. Berusaha sehingga mereka
terkadang merasa diri mereka orang-yang-dilahirkan-dengan-sangat-buruk,
frustasi bahkan depresi. Meski beberapa dari mereka pun, merasa tidak ada yang
salah dengan diri mereka, itu adalah pilihan mereka bukan pilihanku jadi tidak
berpengaruh apapun pada diriku.
Kembali fokus ke homoseksual yang ingin menjadi
heteroseksual dan berjuang melawan hawa nafsunya. Aku pun sama, berjuang dengan
hawa nafsuku. Ada beberapa waktu di mana aku tidak bisa menahan hawa nafsu ku
kepada lawan jenis. Aku pernah sangat ingin memiliki seseorang. Pernah berusaha
menjadikannya agar menjadi pasangan hidup dengan cara yang salah. Aku pun
pernah merasa diri ini orang-yang-sangat-buruk karena tidak dapat mengontrolnya.
Kita semua sama-sama berperang melawan hawa-nafsu.
Dan untuk transgender, keinginannya menjadi
gender yang berlawanan. Mereka pun berjuang dengan keinginannya menjadi lawan
jenis, memakai pakaian yang dinginkan, dan lainnya. Aku pun sama, meski tidak
ada keinginan untuk berubah gender. Aku ada keinginan untuk memakai apa yang
aku inginkan. Misalnya? pakaian pendek, dengan potongan yang lucu-lucu, modis
nan trendy. Tapi aku mau-tidak-mau
harus menahannya.
Aku tau betapa sulitnya mengontrol hawa nafsu
ini, kenginan-keinginan yang tidak diperbolehkan, oleh karena itu, apa yang
membuatku pantas merasa ‘lebih-baik’ sehingga aku ‘layak memusuhi’ mereka?
Padahal aku sendiri berjuang melawan itu semua.
Dan yang terakhir, poin yang paling inti. Aku tau
mereka melakukan dosa besar. Jika aku memusuhinya, lantas apa peran dakwahku
terhadap mereka? Dimana peranku padahal aku di tempatkan oleh Tuhannku berada
di era di mana LGBT menjadi isu hangat. Bagaimana jika suatu hari nanti, di
hari pertanggungjawaban, aku di tanya oleh Tuhan mengenai hal ini?
Aku tau, tidak semua dari mereka menginginkan
untuk didakwahi. Menurutku, itu bukanlah sebuah masalah. Aku tidak ingin
memaksa mereka. Peranku, adalah menghadirkan dengan akhlak (meski aku tau
akhlak yang kumiliki sangat amburadul), bahwa menjadi beragama bukan berarti orang
yang bersangkutan suci sehingga dapat merendahkan orang lain. Peranku adalah
menghadirkan dakwah melalui obrolan dan perilaku. Meski aku tau beberapa orang
dari mereka berpegang-teguh dengan nilai yang dipunya. Tidak apa-apa. Aku pun
memiliki nilai yang ku pegang dan aku pun tidak ingin seseorang mengganggu
nilai-nilai yang ku punya. Yang penting, aku sudah melakukan suatu ‘action’---kepada diriku sendiri untuk
tidak menjadi sombong, dan kepada mereka. Soal hasilnya, kan bukan urusanku.
Aku serahkan pada Tuhan. Aku yakin Tuhan hanya melihat usahaku. Aku tidak ingin
memaksa karena setiap orang tidak suka keinginannya dipaksakan. Karena aku
dihisab oleh apa yang aku kerjakan, bukan apa yang orang lain kerjakan.
Setidaknya, aku ingin menghadirkan “tempat-untuk-kembali”
jika mereka ingin, meskipun aku tidak dapat begitu memfasilitasi, tapi aku
ingin mengusahakannya. Karena aku juga ingin melakukan apa yang ingin aku
dapatkan dari orang lain, yaitu, ketika aku melakukan sebuah dosa, aku tidak
distigma, aku tidak dihindari, aku tidak dikucilkan melainkan dirangkul,
melainkan aku-memiliki-orang-dimana-aku-bisa-kembali.
Aku terinspirasi dengan adanya pesantren Al-Fatah
di Yogyakarta bagi waria atau pesantren “Senin-Kamis” untuk para homoseksual. Memang
paradoks, antara agama dan apa yang dilabeli dengan ‘dosa’ disatukan. Tapi
bagiku… semua orang memiliki hak untuk kembali pada Tuhannya. Tanpa terkecuali.
Itu sebabnya. Aku tidak setuju dengan pembatasan
lapangan pekerjaan kepada kelompok LGBT., pembatasan fasilitas kesehatan, dan
lainnya. Jika kamu adalah orang yang pernah membaca buku mengenai stigma
kelompok LGBT, pasti kamu tau. Karena adanya diskriminasi yang diberikan,
mereka tidak dapat hidup layak, mereka semakin terjerembab dalam jurang. Banyak
lho dari mereka yang menjadi PSK karena tidak adanya lapangan pekerjaan yang
diberikan. Kamu bisa baca buku-buku yang berkaitan dengan stigma untuk
mengetahui lebih lanjut (uhuy yang lagi berusaha nyusun mah beda x’D) atau
membuka diri dengan mengobrol dengan mereka yang kamu anggap berbeda. Aku
tidak mau kehadiranku karena melakukan hal yang sama, alih-alih menyelamatkan
mereka, malah semakin memperburuk keadaan yang mereka alami.
Menurutku, menghukumi seseorang atas perilakunya
bukanlah tugasku, tugasku adalah melakukan sesuatu yang kuanggap benar untuk
membantu mereka.
Sekian perspektif yang sangat panjangnya.
Jika ada perbedaan nilai, aku harap kamu sebagai
pembaca dapat menghargai perspektif ku dengan tidak melakukan cancelling. Atau menghukumi ku sebagai
liberal, karena pada kenyataannya aku tidak merubah satu pun aturan dari agama.
Ini merupakan pilihan aksi yang ku pilih.
Terimakasih. <3