Kebiasaan

“Teh mau nyumbang untuk bencana gunung sinabungnya?” Tanya seorang perempuan yang membawa kardus besar berisi donasi warga kampus dipelukannya, tersenyum.

Saya yang kala itu sedang mengobrol cantik di selasar Mesjid Al-Furqon sambil menikmati semilir angin lembut dengan teman dekat saya terhenyak karena kedatangan si teteh yang begitu tiba-tiba, kemudian mengangguk pelan bersama.

‘ah kapan lagi bisa bantu orang’ pikir saya kala itu. Kami berdua segera membuka tas masing-masing dan merogoh isi dompet. 

Ketika saya membuka isi dompet, saya syok sendiri.
Bukan karena saya kere (walaupun memang kere sih :’)). Tapi karena dompet isinya hanyalah uang ratusan ribu rupiah dan yang paling kecil lima puluh ribu rupiah. Saya menelan ludah. Ini mau akhir bulan loh. Kemana larinya uang ribuan kecil yang biasa berada di sana? 

Saya memang gak berpikir panjang sebelum mengangguk, hanya ada rasa ingin membantu, dan merasa kebetulan memiliki rezeki lebih, tapi gak terpikir nominalnya akan diantara uang lima puluh atau seratus ribu rupiah. Gak inget bentuk uang apa yang masih tersimpan di dompet.

Setelah mengangguk, sambil membuka tas, yang ada dipikiran saya hanyalah memberi antara uang dua puluh atau sepuluh ribu rupiah (karena saya sadar, saya gak sering memberi, jadi ingin memberi yang agak besar tapi masih dalam kategori mampu hidup di akhir bulan).

Akhirnya, dengan berat hati saya ambil si biru. 

Bukan. Bukan karena saya masih punya banyak duit, wong uang saya pas-pasan. Bukan juga karena sebenarnya saya ini anak orang kaya jadi bisa minta dan hidup dengan tenang sampai akhir bulan---saya dari keluarga sederhana. Apalagi karena saya dermawan.

Bukan.

Tapi. Karena saya terpaksa. 

Sejujurnya, gak pernah ada di benak saya untuk memberikan uang lima puluh ribu rupiah, apalagi seratus ribu untuk sekarang ini. Pasalnya, saya masih sangat bergantung sama orangtua, belum punya penghasilan sendiri. Ditambah kalau dihitung-hitung uangnya pas-pasan sampai ke akhir bulan, kalau nyumbang kebesaran, gimana hidup saya nanti.

Tapi,

Masa saya yang udah ngangguk tiba-tiba bilang gajadi setelah liat dompet, malu.
Masa saya minta kembalian ke tetehnya----emangnya di warung, malu.
Maka dengan berat hati -untuk menyelamatkan muka- si biru keluar dari sarangnya.
Memang bagi beberapa orang nominal uang si biru termasuk kecil, ada juga yang menganggap nominal itu besar (termasuk saya).  

Hari itu, saya bersedekah. Sedekah yang didasari dengan (secara gak langsung) keterpaksaan----untuk menyelamatkan muka. Bukan untuk di tiru. Jangan sampai ditiru.

Hari-hari selanjutnya, saya lebih mengirit pengeluaran saya. Takut gak cukup sampai di akhir bulan. Kebetulan bulan itu lagi banyak-banyaknya pengeluaran. Malu, jangan sampai minta lagi ke orangtua.

Kadang, masih terbayang, andaikan waktu itu ada uang dua puluh atau sepuluh ribu. Andaikan. Saya mungkin akan lebih leluasa dalam membeli sesuatu.

-
Sampai ke hari dimana saya harus menginap di kosan teman untuk mengerjakan tugas. Kebetulan di kosan teman saya ini, ada TV. Tiba-tiba channel yang sedang ditonton memberitakan pemberitaan mengenai kemiskinan.

Saya yang menonton berbisik dalam hati ‘Ah andai saya bisa bantu’. Beberapa detik kemudian langsung teringat, menyadari bahwa saya pernah membisikkan kalimat yang sama saat mengikuti kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat (P2M) yang diadakan Himpunan Jurusan saya. 

-

Saat itu, untuk pertama kalinya saya melihat dengan mata kepala saya sendiri apa itu kemiskinan. Bahkan merasakan. Bagaimana rasanya tinggal di mana kamar mandi yang hanya memiliki pintu dengan tinggi setengah dari seharusnya atau kamar mandi yang hanya tertutup dengan dikelilingi terpal biru tua---yang ketika ada angin berhembus kencang terpal itu akan melambai cantik. Melihat sendiri bagaimana anak-anak disana hanya sibuk bermain karena orangtua gak sanggup membiayai sekolah, mendengar sendiri keluhan warga disana yang satu bulan hanya memiliki gaji paling besar hanya 350 ribu rupiah, merasakan bagaimana rasanya datang ke rumah yang lantai nya sudah reyot, dsb.

‘Ah andai saya bisa bantu’ 

‘Kalau udah punya uang sendiri, kepingin deh bantu’ 

-

Mengingatnya timbul pertanyaan bagi saya, apa kalimat yang saya bisikkan pada diri saya sendiri itu akan saya realisasikan ketika saya sudah bekerja nanti? Berapa? Atau saya kelak pun akan terus mengelak dengan menunda? “kalau udah..” - dan - “kalau udah...” lainnya?

Di titik ini, saya merasa sangat malu dengan sendiri. Yang bisa dibilang beberapa hari sangat perhitungan hanya karena uang biru dikeluarkan untuk berdonasi---Keinginan aja tinggi. Mengapa bisa saya merasa seberat itu?

Lima puluh ribu bisa di pakai buat beli ini, ini, atau itu...

Hhhhh.

Berbicara masalah uang, sepertinya sebagai manusia, saya gak akan pernah merasa cukup dengan itu. Masalah uang akan terus-menerus saya rasakan. Karena semakin besar penghasilan atau uang yang saya pegang, maka semakin besar pula pengeluaran karena meningkatnya gaya hidup baik disadari maupun nggak. Balik ke masalah bagaimana diri mengatur dan memprioritaskan keuangan.

Sama seperti melaksanakan Sholat atau mengaji, kita akan terus-menerus merasakan gak punya waktu kalau gak menyempatkan diri untuk melaksanakannya. Balik ke bagaimana kita mengatur dan memprioritaskan waktu.

Kita bukannya gak punya, hanya gak memprioritaskan sesuatu dalam kehidupan kita.

Kalau dipikir-pikir, Gimana bisa ada orang yang bisa menyumbang sampai 50 juta rupiah?

50 Juta kan bisa di pakai buat beli ini, ini, atau itu.... Uuuh sayang... Kalau hanya dipakai untuk berdonasi, sekali ludes.

YaAllah..

Kebiasaan.

Kebiasaan menyempatkan di kala susah.

Kebiasaan memprioritaskan walau terlihat masih bisa di lain waktu.

Gimana bisa orang menyumbang 50 juta rupiah, kalau Lima puluh ribu aja gak terbiasa?
Yang dipikirin pasti gak jauh-jauh dari sayang uangnya...

“Sedikit-sedikit dari sekarang, Sin. Gimana kita bisa bantu pakai uang yang memang gede kalau punya nanti, kalau gak biasa?” Ucap Lisa, salah satu teman dekat saya ketika saya bercerita kekesalan pada diri.

Bukan pada nominal sebenernya, tapi kebiasaan.
Bukan nanti "kalau udah.." tapi lakukan aja yang sekiranya sekarang bisa dilakukan.

Kalau keinginan saya menolong mereka yang kurang mampu, maka keinginan itu harus didasari dari kebiasaan.

Biasa ikhlas..

Merasa tertampar, malu sama diri-sendiri, malu sama Allah.
Sebegitunya kamu gak ikhlas, Tia.
Sebegitu egoisnya kamu berpikir bisa beli ini itu dengan uang segitu, padahal buat main, nonton, makan, uang segitu gak berasa besarnya.

Yang saya punya (saat itu dan) sekarang ini bahkan lebih dari cukup, tapi sering merasa kurang: mungkin karena kurang bersyukurnya,kurang sedekahnya.

Saya baru sadar, besarnya uang pun bagaimana kita mempersepsikannya.

Kalau gak biasa, bisa-bisa mungkin ke orangtua pun kita akan menjadi perhitungan.

Naudzubillahimindzalik.. YaAllah..


“Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dengan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas Karunianya lagi maha mengetahui.” 2:268

No comments:

Post a Comment