Menengok ke Belakang


“Tengoklah ke belakang, Apa-apa yang membuatmu meminta dan tangisi sehingga kamu sampai di titik ini”


Kalimat di atas muncul dalam sebuah foto di timeline instagram saya, kemarin sore. Seperti sebuah kebetulan. Beberapa waktu ke belakang ini saya menyadari bahwa banyak hal yang berubah dalam hidup. Saking banyaknya, rasanya seperti sebuah keajaiban. Well, walaupun memang semua di kehidupan ini ajaib. Tapi saya benar-benar baru menyadari nya.

Beberapa orang yang asalnya jauh tiba-tiba didekatkan. Orang-orang yang sebelumnya tidak saya kenal sama sekali tiba-tiba datang. Aktivitas yang sebelumnya saya tidak pernah terpikirkan akan dilakoni, menjadi aktivitas harian. Tempat yang begitu asing menjadi sangat akrab.

Semua hal berubah. Begitu cepat.

source: in pict

Beberapa teman dekat mengomentari cerita saya ini dengan: memang udah jalannya.

Saya sebelumnya tidak pernah menyadari ini, bahwa.. Masing-masing dari kita saling terhubung satu sama lain. Tanpa disadari. Dan itu adalah takdir.

Selama ini, pikiran saya ketika membicarakan takdir, tidak lebih dari “orang-orang yang menetap dalam jangka waktu yang lama”. Ternyata, tidak se-simpel itu.

Kenapa dari sekian banyak orang di muka bumi ini. Saya harus dipertemukan dengan A, B, C? Kenapa bukan yang lain?

Orang-orang yang berlalu-lalang. Orang yang saya temui di suatu tempat. Orang yang sekarang berada di sekitar saya. Orang-orang yang memenuhi perasaan saya. Orang-orang datang dan pergi.  Semua terkait.

Salah satu tutor Bahasa Inggris ketika saya belajar di Pare pernah berujar: Kalian bertemu dan berpisah disini adalah karena takdir. Yang disatukan oleh dorongan hati yaitu cita-cita.

Setiap dorongan hati itu awalnya dari mana?

Stimulus yang ditangkap untuk menguatkan dorongan hati itu siapa  yang memberi?

Ya. Allah.

Takdir, ketentuan Allah.

Bukan hanya dorongan hati mengenai cita-cita. Ketika saya berpapasan dengan seseorang dijalan. Rasanya itu pun bukan hanya sebuah kebetulan belaka. Siapa yang menggerakan hati saya dan dia untuk pergi ke tempat yang dituju? Meski pun, tempat yang dituju oleh kami berbeda, siapa yang bisa menyocokkan waktu kami agar dapat berpapasan?

Kalau begitu saja diatur oleh Allah. Apalagi orang-orang yang berada dikeseharian... Memangnya ada yang dapat mengatur itu semua kecuali Allah?

Pikiran lantas melayang ke hari-hari dimana saya begitu meminta. Meminta yang terbaik sembari sesenggukan. Bulan-bulan yang dilalui dengan berat. Melepaskan banyak hal dalam satu waktu.

Yet now, Everything’s gettin’ better. And I don’t know how to explain it. I’m just...grateful.

Waktu itu, rasanya, saya adalah orang yang sangat miskin. Bukan dari harta. Tapi aspek lain yang tidak bisa dibeli menggunakan uang. Banyak hal yang jauh sekali dari keinginan. Banyak hal yang mengusik kedamaian hati.

Tapi ternyata, konsep miskin itu tidak ada. Selama yakin dan meminta pada Dzat yang Maha Kaya.

Apa saya bisa membeli teman-teman yang baik untuk tetap berada di sekitar saya?

Apa saya bisa membeli suatu momen atau situasi yang datang pada hidup saya?

“dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka. Walaupun kamu menginfakkan (semua) kekayaan yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana” [8:63]

Banyak sekali hal menentramkan yang datang pada saya akhir-akhir ini. Bukan karena saya baik. Saya tau jelas, betapa saya sudah banyak mengecewakan Allah. Betapa bobroknya hidup yang saya pilh untuk jalani. Hanya saja, Allah tidak memperlihatkan aib saya yang begitu banyak itu ke manusia lain. Padahal, Allah bisa aja menyingkap itu semua. Bisa saja Allah meninggalkan saya. Allah bisa aja menelantarkan saya. Tapi karena Allah Maha Baik. Allah masih saja berikan kenikmatan...

Dari sini, saya memahami bahwa konsep miskin yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak memiliki Allah. Karena sebagai manusia, pada akhirnya, yang bisa dilakukan hanyalah meminta yang terbaik. Meminta untuk dimudahkan dalam segala urusan. Karena jika bukan karena Allah, saya tidak akan sampai pada titik dimana saya berada sekarang ini.

Meski tidak instan. Justru rentetan proses denial, menyabarkan, menerima, dan mengikhlaskan menjadi terasa begitu indah, ketika pada akhirnya.. setelah luka kian mengering Allah berikan kejutan indah. Alhamdulillah.


“Tuhanmu tidak meninggalkan engkau dan tidak membencimu;
dan sungguh yang kemudian itu lebih baik daripada yang sekarang;
Dan sungguh, kelak TuhanMu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas” [93:3-5]

No comments:

Post a Comment