Menikmati yang Biasa atau Mengacuhkan yang Biasa

Dalam seminggu, setiap harinya, aktivitas saya tidak lebih dari sebuah pengulangan. Sebagai mahasiswi, kalau bukan belajar, ya urusan organisasi. Meski hari demi hari dijalani berbeda, tapi entah kenapa tanpa disengaja semua tergeneralisir menjadi ‘biasa’. Mengulang dari hari sebelumnya atau dari minggu sebelumnya. Karena biasa, sebuah kesempatan bisa membuka mata di keesokan hari, rasanya seringkali terlupakan kenikmatannya.

Saya membayangkan, jika hari ini hidup saya normal--sehat wal-afiat. Namun keesokan harinya, kedua mata saya menjadi buta atau kedua kaki saya tidak lagi bisa digunakan (lumpuh). Saya pasti akan bersedih, bertanya-tanya mengapa, dan ingin kembali menjadi sehat. Lantas, sebuah pertanyaan muncul dalam benak. Apa sesuatu yang biasa ada harus terdistraksi terlebih dahulu, agar saya lebih banyak paham dan bersyukur?

Selain itu, rasanya, Yang dilakukan pertama kali, selalu mendapatkan apresiasi lebih, berbeda dengan pengulangan. Untuk pertama kali nya saya menginjakkan kaki di kampus sebagai mahasiswi, saya lebih aware terhadap tugas-tugas yang diberikan pun apa yang disampaikan oleh dosen. Namun semakin biasa saya pergi ke kampus, saya justru terjangkit penyakit malas bin mager. Dosen yang kehadirannya ditunggu-tunggu saat menjadi mahasiswa baru, menjadi ditunggu-tunggu ketidakhadirannya. Sedang, di sisi lain, banyak teman-teman yang terkendala oleh biaya sedang ingin masuk kuliah seperti ‘biasa’. Kembali muncul pertanyaan. Apa kebiasaan saya yang mendapatkan kenikmatan dan kemudahan dalam berkuliah ini harus terdistraksi terlebih dahulu (tersendat-sendat, kesulitan ini-itu) agar saya lebih menjalani keseharian dengan penuh syukur dan apresiasi?

Apa.. saya manusia itu--yang sangat kurang bersyukur?

Lantas, sampai kapan menjadi seperti ini terus?

No comments:

Post a Comment