Teknologi dan Kontemplasi Aib

Dengan cepat aku melangkahkan kaki diantara anak tangga darurat menuju kelas yang berada di lantai 6. Mampus, hari ini telat! Entah kenapa, beberapa hari ke belakang aku seringkali merasakan sakit di bagian pundak. Dan tidur-tiduran adalah obat yang -rasanya- sangat mujarab. Tapi, aku tidak sadar diri terlalu lama dalam posisi seperti itu. Mager, beginilah jadinya....


Kelas hari jum’at pagi di semester lima ini selalu menjadi kelas yang kutunggu-tunggu. Yap. Mata kuliah komunikasi online. Walaupun telat, aku lebih memilih masuk kelas dibanding bolos. Sayang kalau terlewatkan. Materi-materi yang relatable dengan kehidupan sehari-hari, tapi jarang orang yang mengetahuinya. Berasa benar-benar dididik jadi manusia cerdas bermedia. Alhamdulillah for this chance.. Givin’ you a big thanks, Pak Deni! ;’)


Ngos-ngosan, pintu kelas kubuka pelan-pelan. Ah, sudah ada dosen. Beliau sedang duduk sembari memainkan hp nya.

“Pak..” ucapku ramah sembari menganggukkan kepala.

Beliau membalas anggukan kepalaku dengan menganggukan kepala nya juga. Kulihat jajaran bangku mahasiswa, ternyata masih banyak yang belum datang. 

Tidak selang berapa lama, beberapa temanku datang, dan perkuliahan dimulai. 

Hari ini, kami belajar tentang mengidentifikasi dan memvalidasi konten dan foto yang seringkali dipelintir oleh banyak masyarakat maya. Selain itu, yang paling seru, kami belajar untuk mempreteli akun sosial media orang-orang. Bahasa ringannya, nge-kepo-in hal-hal yang tidak terungkap di permukaan. Bahasa kasarnya, merusak privasi orang lain dan menemukan aibnya!


“Kalian jangan pakai ilmu ini buat jadi pencipta hoax atau yang jelek-jelek ya. Saya ngajarin ini buat kalian pake di kebaikan.” Ujar Pak Deni di sela-sela perkuliahan.

Satu kata yang ingin ku deskripsikan setelah kelas hari ini adalah: Ngeri.

Aib seseorang ternyata semudah itu untuk di buka.

Beberapa kali aku hanya bisa geleng-geleng saat mempelajarinya. Kalau Allah berkehendak, Kun Fayakun! Dicenderungkan hati seseorang untuk kepo tentang diri. Terbukalah semua.

Preferensi politik. Grup yang diikuti. Foto yang disukai. Foto yang diminati. Jejak komentar yang tidak diketahui orang lain. Hubungan dengan orang lain. Dan sebagainya, mudah sekali... 


Sosial media diibaratkan sebagai ruang dengan sekat yang terbuat dari kaca dan sebagai pengguna kita berada didalam sekat itu. Dimana setiap orang akan memiliki ruang masing-masing, tidak berdesakkan, dan itu membuat kita nyaman. Tapi orang lain akan dengan bebas melihat apa yang kita lakukan.


Karena ini aku menjadi bertanya-tanya. 
Berapa banyak orang yang membuka aibnya sendiri di sosial media? 
Berapa banyak orang yang terbuka aibnya melalui sosial media?


Kengerian terbukanya aib ini baru aku lihat di sosial media. Di dunia nyata, betapa lebih banyak aib yang tertutupi dan bagaimana kiranya jika aib itu dibuka?

Tiba-tiba teringat aib-aib diri. Ehm. Banyak-sekali. Mungkin, beberapa orang disekitarku menganggap aku baik. Bisa jadi, salah satu nya kamu yang sedang membaca tulisan ini. Tapi sebenarnya, jujur saja, bukan merendahkan diri, aku tidak sebaik yang kamu kira. Hanya Allah saja yang hebat sekali dalam menutup aib ku. 

Kalau saja, sekarang, aib-aib ku terbuka. Aku tidak yakin, kamu akan tetap melanjutkan membaca tulisan ku ini.

Ah, kamu bisa jadi ilfil. Atau bisa jadi, untuk mengingatku saja rasanya jijik.


"Dan sungguh, Tuhanmu benar-benar memiliki karunia (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukurinya" - An-Naml:73


“Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat” – An-Naml:22






Tersadar, masih saja banyak kenikmatan dari Allah yang jarang sekali aku ingat, salah satunya yaitu tertutupnya aib. Tertutupnya isi hati yang seringkali kotor. Tertutupnya diri dari cerminan dosa-dosa yang telah diperbuat. 


Bodohnya, aku, sebagai manusia yang hina ini seringkali merasa tinggi, seringkali merasa sombong atau bahkan ujub. Padahal, mudah, tinggal dibuka saja aib yang selama ini Allah tutupi.. Aku mungkin sudah mabuk kepayang. 


Tidak terbayangkan. Kelak, aib-aib ini mau tidak-mau akan terbuka.. saat manusia, dibangkitkan dari kubur. Kelak, manusia akan melihat bentuk sebenarnya dari dirinya bukan pemberian. Lantas, bagaimana rupamu kelak, Sin? Bagaimana baumu? 


Dan kamu, masih banyak tidak bersyukur atas nikmat yang Allah beri sampai sekarang. Kamu masih sering lupa! Kamu, masih saja melihat aib orang lain besar dibandingkan dengan dirimu sendiri. Sin, tidak malukah kamu dengan Rabbmu?


Betapa baik Allah memberikan penampilan fisik yang tetap, tidak berubah setiap melakukan dosa. Tidak berbau karena kemunafikan.

Betapa baik Allah perubahan penampilan fisik yang normal hanyalah bertambah dewasa dan bertambah tua. Dan masih saja kamu protes atas fisik yang Allah beri. Padahal, Allah sudah menciptakan kamu dengan sebaik-baiknya.


Pikiran ku semakin melayang. Beberapa minggu yang lalu, aku mendapatkan tugas untuk menulis straight news. Dalam proses mengerjakannya, aku memutuskan untuk pergi ke pengadilan umum.

Hari itu, adalah pertama kalinya aku menginjakkan kaki di pengadilan dan aku datang sendirian. Sehingga aku mengikuti persidangan dengan khusyuk, tanpa adanya teman untuk mengobrol. Aku hanya fokus mendengarkan persidangan.


Saat sidang, satu-persatu rentetan peristiwa yang mesti dipertanggungjawabkan dibacakan. Aib-aib terbuka di depan banyak orang. Bukan saja di depan orang terdekat, tapi juga orang lain yang tidak dikenal sama sekali (banyak juga mahasiwa yang datang ke persidangan untuk belajar).

Sang tersangka hanya bisa menjawab, mengiyakan, sekali-sekali tertunduk, lesu. Ada pula, tersangka yang mengelak akan rentetan peristiwa yang dibacakan, tidak terima, merasa dibohongi. Yang mana kebenarannya? Banyak yang sulit terungkap sehingga sidang harus dipending, dan dilanjutkan dalam waktu yang lain. Kelak, manusia tidak dapat berbohong. Setiap bagian tubuh yang menjawabnya. 

Bagaimanakah kiranya aku di pengadilan Allah nanti?

Rangkaian peristiwa tertulis dengan sangat rapi, semuanya terekam, dalam persidangan yang seadil-adilnya. 

Satu pertanyaan dalam kubur saja, aku kian bertanya-tanya. “Man Robbuka?”, Allah... dapatkan aku menjawab dengan menyebut namaMu?

Ketika waktu pertanggungjawaban itu datang, apa yang akan aku jawab? 

Ketika waktu pertanggungjawaban itu menghampiri, kemanakah aku akan berlabuh dengan segala amalku?

No comments:

Post a Comment