Sebuah senyum dari wajah tidak asing kulihat dalam sebuah foto di timeline instagram. Dari caption, kusimpulkan sepertinya hari itu merupakan hari ulang tahun dari kakak teman masa kecilku yang ke 20. Aku yang waktu itu baru saja akan menginjak bangku SMA (15 tahun) berhenti sejenak memandangi raut wajahnya dalam foto. Menanyakan pada diri, bagaimana tampaknya raut wajahku ketika menginjak umur 20 tahun nanti? Akan menjadi seberapa tinggi tubuhku? Apa aku akan menjadi seorang mahasiswi? Dimana? Apa jurusan yang kupilih?
-
cr:acekntaufikhidayat |
Sekilas kenangan masa lalu
tiba-tiba datang, pada diri yang sudah berumur 20 tahun. Dulu, rasanya aku
sangat menunggu-nunggu saat dimana aku akan tampak dewasa. Orang dewasa itu
keren! Dasar shin, kamu korban tayangan tv :’).
Meski bisa dibilang begitu, aku
menulis ini bukan karena ingin mengeluhkan apa yang terjadi di kehidupanku
sekarang (yang sedikit kontras dengan tayangan tv) dengan kalimat receh seperti:
“Hidup itu gak seindah FTV” atau “Kuliah di FTV itu enak, main melulu.
Kenyataannya? Hadeuh”.
Aku justru bosan mendengar keluhan
itu. Walaupun hanya bentuk bercanda. Rasanya, banya orang yang menggunakan jokes itu -secara tidak sadar- menjadikan
tayangan tv seperti FTV, atau tayangan apapun itu menjadi ‘standar’ keindahan
dan kebahagiaan hidup: cinta mulus, duit lancar, dan main-main tanpa masalah. Yah, siapa yang tidak menginginkannya?
Tapi hidup tidak berjalan seperti
itu. Maka kebanyakan orang justru malah muak dengan tayangan tv yang anehnya
dianggap ‘indah’ (Padahal pantas skenarionya sederhana, karena ciptaan manusia
yang mengejar rating) dan malah menganggap hidup milik sendiri tidak indah
(padahal Tuhan yang Maha Tahu definisi dari indah, karena Dia menciptakan skenario hidup).
Jika keindahan hanya berarti
hidup dengan bunga-bunga tanpa masalah dan beban seperti FTV. Lantas apa bedanya dunia dengan surga? Oh,
Lalu omong-omong jika ‘enak’ dalam menginjak umur yang sudah masuk kepala dua
ini masih dilihat sebagai main melulu dan belajar dikategorikan sebagai sesuatu yang ‘tidak
enak’, lantas dimana letak keindahan dari kebodohan karena tidak belajar?
-
Kini, aku bebas memandangi raut
wajahku sendiri didepan kaca. Raut wajah yang kupertanyakan akan menjadi
seperti apa sudah terjawab, tinggi badanku, juga soal perkuliahan. Dan semua itu terjawab melalui waktu.
Tapi waktu menjawab yang kunanti
dengan tidak bertanggungjawab. Ia hanya menyeretku tanpa mengajariku untuk
menjadi dewasa seperti bagaimana aku tampak. Ia tidak mengajariku jawaban-jawaban atas segala persoalan
kehidupan.
Sharing dengan teman-teman seumuran, nampaknya menyadarkanku bahwa diumur ini, everybody is begin to face their own serious problems. Beberapa merasa diseret dalam proses pendewasaan dan beberapa belum. Beberapa dihentak dengan masalah yang ekstrim: perceraian orangtua, minimnya keuangan, mengalami gangguan kesehatan mental, ditinggal gebetan yang disukai 8 tahun menikah, pacaran 6 tahun yang berujung berbeda visi, dan lainnya. Meski nampak baik-baik saja. Kita sebagai manusia tidak pernah tahu, benang kusut apa yang ada dalam kepalanya.
Dengan persoalan-persoalan yang
mampir pada diri. Kali ini aku ingin menulis konten blog dalam bentuk lain.
Walau seperti biasanya aku akan menceritakan mengenai diri, kini aku ingin menulis
hasil kontemplasi dari keruwetan semenjak berganti umur menjadi kepala dua.
Aku kian bertanya soal hakikat
kehidupan, yang mungkin akan terus kupertanyakan sampai mati. Beberapa aku
temukan jawaban yang cocok terutama untuk diriku sendiri. Yang kuharap beberapa
pembaca akan juga terjawab pertanyaannya. Sebuah kontemplasi hidup, versiku: 20 tahun.
-
List Judul (akan berupa link jika available)
2. Membenci diri sendiri
3. Menguras Energi
4. Tentang Kebahagiaan
5. Sok Tahu
6. Teman dari Tuhan
7. (Merasa) tidak sombong
8. Gertakan
9. No Pain No Gain
10. Bodo Amat
11. Berhenti Menulis
12. Emotional Independent
13. Persepsi Hidup
14. Penantian
15. Toxic Circle
17. Mencintai Kehilangan
18. Belajar Darimu
No comments:
Post a Comment