Mengenal Homoseksual Lebih Dalam Melalui Persepsi Ilmu Psikologi

cr: evolverinc

Hidup sebagai seorang LGBT di Indonesia sering berarti hidup di dalam ketidaknyamanan. Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) masyarakat dalam seri monitor dan dokumentasi 2018 yang berjudul Bahaya Akut Persekusi LGBT tercatat LGBT seringkali dibedakan dalam hak-hak yang seharusnya didapatkan sebagai seorang manusia. Mereka yang cenderung coming out atas seksualitasnya, dalam fase hidupnya mengalami persekusi hingga pembunuhan. Hal ini membuat banyak LGBT mengalami depresi akibat tidak bisa melela (mengungkapkan jati dirinya). Bahkan sebuah studi yang diterbitkan jurnal ilmiah JAMA Pediatrics mengungkapkan remaja LGBT hampir enam kali lebih mungkin melakukan percobaan bunuh diri.

Tingginya sentimen publik dan gencarnya penolakan atas LGBT dengan mengeluarkan gerakan dan berdemo untuk memperkecil jumlah LGBT justru tidak relevan dengan realitas pertumbuhan komunitas ini meski banyak dari mereka yang mengalami tekanan hingga depresi. Di Cianjur Komisi Penanggulangan Aids (KPA) mencatat jumlah gay atau lelaki suka lelaki (LSL) terus meningkat, hingga pertengahan tahun 2017 mencapai 2000 orang. Pertumbuhan ini cukup tinggi karena ditahun sebelumnya tercatat gay di Cianjur berdasarkan data jumlahnya 1.030 orang. Data-data tersebut masih dapat dipertanyakan karena diperkirakan masih banyak yang menyembunyikan diri. Beberapa waktu yang lalu juga, terungkap Grup Gay Pelajar SMP Garut di Facebook, yang menunjukkan meningkatnya jumlah LGBT. 

Mif Baihaqi M.Si, Dosen Prodi Psikologi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menerangkan ada perbedaan persepsi diantara masyarakat dan komunitas LGBT yang menyebabkan tidak adanya titik temu diantara keduanya. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai apa itu LGBT dari aspek keilmuan sehingga pendekatan yang dilakukan tidak menghasilkan apa yang diinginkan oleh masyarakat.
  



Apa LGBT itu penyakit?
Kalau dilihat dari kacamata psikologi, LGBT itu bukan penyakit. LGBT itu sebenarnya merupakan salah satu bentuk orientasi seksual. Orientasi itu artinya arah, biasanya berawal dari rasa kagum. Kalau seseorang sering berjalan dengan temannya, secara naluriah lama-lama akan ada yang dikagumi. Entah bentuk alis, cara bicara, ataupun kebiasaan. Dan itu bisa terjadi ke jenis kelamin apapun. Rasa kagum itu seperti ada hal yang membuat tertarik dari diri seseorang. Ungkapan-ungkapan seperti: “alis kamu bagus”, “rambut kamu fresh, potong di salon mana?” sebetulnya sudah menunjukkan rasa kagum. 


Bagaimana rasa kagum tersebut bisa melebihi rasa kagum kepada lawan jenis?
Tergantung tingkat keintiman diantara keduanya. Jika sering bertemu, bercerita, kebersamaan tersebut akan menimbulkan rasa nyaman dan kecocokan. Saking besar intensitasnya, lama-lama akan melupakan rasa kagum ke lawan jenis dan akhirnya masuk ke keintiman. Maka dari itu, harus dibedakan orientasi kedekatan dan orientasi seksual.  Orientasi seksual itu bagaimana kita menyukai seseorang secara seksual. Tapi seksual disini bukan berarti berhubungan badan, perilaku seksual bisa diartikan lebih luas dari itu.


Apa saja yang bisa dikategorikan sebagai perilaku seksual?
Ada tujuh perilaku yang bisa dikategorikan sebagai perilaku seksual. Dalam keseharian, bergandengan tangan sebetulnya sudah masuk ke perilaku seksual tapi kita umumnya memandang itu sebagai hal biasa, hanya sebatas interaksi. Begitu juga dengan memeluk yang sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kepada teman maupun pasangan. Sampai yang biasanya dilakukan dengan orang-orang yang memang intim seperti mencium pipi dan bibir, mencium kening, meraba, berhubungan badan tanpa penetrasi, sampai berhubungan badan dengan penetrasi. Jadi ada tahap, tapi kebanyakan orang melihat perilaku seksual hanya di hubungan yang terakhir. Padahal dalam hubungan dua orang belum tentu sampai yang terakhir.


Lantas semua orang punya kemungkinan yang sama dalam menyukai sesama jenis?
Iya, karena semua orang punya kemungkinan yang sama untuk berdekatan, cocok, saling berbagi persoalan, saling percaya, hingga yang intim (dalam interaksi). Betapa banyak yang seperti itu dan hal ini wajar. Namun, orang-orang yang sampai ke intim tentunya akan semakin pribadi hubungannya. Sampai pada ke hubungan tersebut, baru ada label: L-lesbian, G-gay, dan B-biseksual. Biseksual sendiri memiliki ketertarikan kepada dua gender, yang mana biasanya bisa dikatakan sebagai biseksual bila ia telah melakukan hubungan seks dengan keduanya.


Apakah homoseksual bisa kembali menjadi heteroseksual?
Tergantung penyebabnya, ada beberapa penyebab seseorang menjadi homoseksual: Pertama, karena unsur genetik dan hormon yang dominan, sehingga sangat susah untuk ditolak. Perempuan yang hormon kelaki-lakiannya banyak akan bertingkah seperti laki-laki, dan merepresentasikan dirinya seperti laki-laki. Kita mengenalnya dengan sebutan tomboy. Laki-laki yang kurang hormon kelaki-lakiannya dikenal menjadi laki-laki yang kemayu, bertingkah kewanitaan, biasanya ia kurang terlihat kegagahannya. Kalau penyebab berasal dari genetik susah untuk menjadi heteroseksual. Karena mereka sendiri tidak menginginkannya, bahkan sebenarnya ada perang-batin dalam dirinya. Masyarakat sering menyalah-artikan hal ini, tidak semua penyebab karena pergaulan, banyak dari homoseksual yang ingin menjadi heteroseksual. 
Kedua, akibat lingkungan biasanya terpengaruh oleh teman. Ketika seseorang melihat temannya lesbian dan tidak bermasalah, bisa jadi ia akan meniru perilaku tersebut. Homoseksual karena pengaruh lingkungan bisa kembali menjadi heteroseksual. Ketika ia berpindah dari lingkungan tersebut dan kembali beradaptasi. 
Ketiga, karena trend atau mode. Ketika ia berada pada lingkungan komunitas homoseksual, semisal semuanya lesbian sedangkan dia tidak. Dia akan merasa bukan hidup di zaman yang seharusnya, karena sudah masa nya untuk menjadi homoseksual. Sama seperti trend baju, trend kerudung, yang seperti ini disebut terbawa trend pergaulan. Bisa diubah dengan merubah cara pikirnya atau trend yang berubah bisa merubah dirinya juga.


Apa sikap tomboy dan kemayu bukan lifestyle?
Sebenarnya, hal ini bukan sekedar gaya hidup yang dipilih, melainkan ada hormon yang mendorong dibelakangnya. Dalam tubuh manusia, ada hormon yang membuat otot-otot yang membuat seseorang terlihat gagah, ada hormon yang membuat seseorang bertindak ketakutan atau cemas, ada hormon yang membuat memiliki ketertarikan seksual dan lainnya. Ketika hormon seimbang maka ia akan menjadi laki-laki atau perempuan biasa yang umumnya kita lihat.

cr: liputan6.com



Kebanyakan masyarakat Indonesia, kontra dengan kehadiran LGBT. Bahkan beberapa kelompok/ormas seringkali berdemo untuk menolak LGBT, apakah ini langkah yang tepat untuk menghadapi isu ini?
Sulit untuk menilai ini. Dalam sudut pandang psikologi, ketika kita berdemo pada LGBT. Justru komunitas LGBT sendiri tidak merasa melakukan kesalahan karena hanya menyalurkan dorongan diri melalui kedekatan. Mereka merasa nyaman dengan dirinya; bertemu, menonton, makan bersama. Jikapun masyarakat berteriak-teriak untuk memisahkan mereka. Dari diri mereka sendiri mempertanyakan kesalahan yang mereka lakukan. Karena mereka tidak mengancam publik seperti tidak merusak tempat peribadatan, mencuri, ataupun membuat keonaran. Tapi berbeda dengan sudut pandang agama. Hubungan keintiman yang normal adalah heteroseksual, laki-laki dengan perempuan, hubungan diluar itu (homoseksual) dosa. Jadi ketika masyarakat berteriak-teriak bisa dimengerti. Namun, ada ketidak sejalanan antara keduanya, tidak ada titik temu karena aspek yang mendominasi seseorang bisa berbeda. Ketika masyarakat memandang dari sudut pandang agama berdemo, hal ini justru tidak berdampak kepada komunitas LGBT karena secara psikologi tidak merasa bersalah.


Apa sikap kontra seperti itu dapat mengakibatkan sikap agresif dari komunitas LGBT? 
Iya, karena yang pertama mereka merasa sudah melakukan hal yang benar. Mereka berpikir hanya hidup secara naturalis. Kedua, hak asasi. Dua orang berteman dekat, makan bersama, nonton bersama, dan sebagainya. Secara psikologis, lalu dosen sebagai orang ketiga ingin memisahkan mereka berdua, hal ini tidak bisa. Lagipula, tahap keintiman (dalam interaksi) seseorang tidak terlihat secara kasat mata. Kita bisa melihat homoseksual hanya sebatas teman atau hanya dengan mengira-ngira, padahal belum tentu mereka sama-sama memiliki orientasi seksual yang sama, bisa jadi mereka hanya memiliki orientasi kedekatan. 


Apa mereka yang tidak berani coming out atas orientasi seksualnya karena lingkungan yang tidak mendukung akan merasakan tekanan dan berakhir depresi?
Depresi itu terjadi karena tumpukan stres-stres kecil untuk memenuhi kebutuhan. Stres kecil bukan terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tanpa terasa. Misalnya, jika seseorang hanya memiliki uang dengan nominal Rp.20.000, uang tersebut harus dipakai untuk ongkos pulang dan makan, namun tiba-tiba ada keharusan untuk fotocopy tugas dadakan hari itu juga. Dia harus memilih merelakan salah satu karena uangnya tidak cukup. Hal seperti ini bisa disebut stres kecil dan semua orang mengalaminya. Ketika seseorang tertekan karena banyaknya stres kecil ini bisa mengakibatkan depresi. Seseorang homoseksual akan mengidentifikasi perbedaan yang ada dalam dirinya seringkali merasakan keanehan dan membutuhkan kenyamanan, lantas ada keinginan untuk bercerita dengan seseorang. Dengan tumpukan-tumpukan stres yang dialaminya ditambah tekanan kebutuhan kenyamanan bisa jadi menyebabkannya menjadi depresi. 


Berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan Aids (KPA) di Cianjur jumlah gay atau lelaki suka lelaki (LSL) terus meningkat dari 1.030 di tahun 2016 hingga mencapai 2000 orang di pertengahan tahun 2017. Beberapa waktu yang lalu, viral pemberitaan adanya Grup gay pelajar di Garut. Jumlah Homoseksual terus meningkat, kenapa hal ini bisa terjadi?
Berangkat dari dorongan secara seksual yang dirasakan manusia saat menginjak remaja. Pertama, banyak yang ingin berpacaran namun tidak memiliki keberanian. Bisa jadi karena ketampanan, kekayaan, kepintaran yang menyebabkan seseorang tidak berani mengutarakan dorongan nya ini, ada pula yang minder karena takut diolok-olok. Jadi jalan pintas untuk mengatasi hal ini adalah dengan berkumpul bersama laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Dengan cara ini dorongannya tersalurkan, tanpa merasa minder ataupun olok-olok.
Yang kedua, ia mengetahui konsep pacaran didalamnya terdapat dorongan menggebu-gebu. Hubungan diluar nikah, ada resiko besar yaitu hamil. Masalah akan ditambah lagi dengan keluarga pasangan, keluarga sendiri dan lainnya. Mereka yang menginjak usia remaja, kalau sampai memiliki anak, mesti dibesarkan. Namun di sisi lain, umur sendiri masih terlalu muda, hal ini menyebabkan kebingungan. Hal seperti ini muncul dalam pemikiran kelompok-kelompok tersebut. Ketika ingin menyalurkan dorongan tapi tidak berani menanggung resiko. Salah satu jalan keluarnya yaitu dengan berhubungan sesama jenis.
Yang ketiga, adanya media sosial. Kalau dulu, ingin mengetahui sesuatu selalu berjenjang ada tahapan-tahapannya. A diketahui setelah lulus SD, B saat SMP, dan C setelah SMA. Namun sekarang semuanya terpampang didepan mata. Tanpa orangtua tahu, tanpa guru tahu. Dan  pemikiran mereka yang belum kritis, belum tahu resiko mengonsumsi konten media sosial begitu saja. Yang menyebabkan mereka meniru begitu saja apa yang dilihatnya.


cr: nadia_bormotova/iStock



Apa dorongan yang biasa ada pada lawan jenis bisa disalurkan begitu saja kepada sesama jenis?
Seorang laki-laki bertemu dengan perempuan cantik dan mengakui kecantikannya sebetulnya hal itu sudah bisa dibilang dorongan. Dan walaupun seorang laki-laki tidak bertemu dengan perempuan, dorongan hasrat itu setiap hari ada. Tergantung ingin menyalurkan dorongan tersebut atau tidak.


Apa perilaku yang berawal dari dorongan seperti itu bisa menjadi homoseksual berkelanjutan?
Ada orang-orang yang karena rekam jejak di masa lalu, ketika kecil berhubungan, dicabuli, dan sudah merasa adiktif bisa berkelanjutan menjadi homoseksual. Tapi bisa berbeda juga ketika dorongan seperti kasus pelajar SMP di Garut karena masih mencari jati diri, meniru-niru, istilahnya angin-anginan.


Bagaimana harus menyikapi isu tersebut?
Sebaiknya KOMINFO dengan tegas memblokir situs-situs porno, situs film yang mengandung unsur-unsur yang bisa memunculkan dorongan sedari awal internet menjamur. Meski telat, hal ini tetap harus dilakukan. Dibantu dengan diawasinya remaja oleh guru dan orangtua, pemberian penyuluhan terus-menerus, dan dikawalnya oleh agama, saya kira tidak akan memunculkan jumlah homoseksual dengan jumlah yang besar. Karena banyak yang belajar untuk menjadi homoseksual dari media sosial dan lingkungan dibanding homoseksual yang genetik. Dan akan sulit untuk kembali ketika sudah kecanduan bertahun-tahun. Homoseksual dengan motif trend seperti ini yang harus dicegah sedini mungkin. Namun, bila berbicara mengenai homoseksual genetik memang sampai sekarang penanganannya masih sulit, meski bukan berarti tidak mungkin ia menjadi heteroseksual. 

No comments:

Post a Comment