Ramadhan Journey: Manusia Seperti Keris

Setelah menginjak bangku perkuliahan saya jadi lebih mengenal dunia perempuan, salah satu nya make up. Walau bisa nya ya begitu-begitu aja, tapi seenggaknya saya jadi kenal. Waktu SMA, saya mana tau, gak kenal barang-barang yang identik dengan cewek ini. 

Karena memang ada beberapa juga mata kuliah yang mengharuskan pakai make up, jadi saya belajar. Temen-temen juga kebetulan suka ngobrolin make up, saya jadi paham dan kadang ikut-ikutan ngobrolin (hehehe). Ternyata, bukan saya aja yang mengalami hal ini. Banyak perempuan. Dan katanya, wajar.

Selain make up, fashion pun menyokong penampilan perempuan. Walaupun saya gak gitu ngerti soal fashion, tapi saya cukup paham apa-apa yang sekiranya cocok untuk saya pakai. 

Sebenernya ada satu hal yang saya rasakan dan pertanyakan. Saya rasa, semakin besar seorang perempuan, ternyata perempuan makin dinilai dari fisiknya. Ditambah lagi kalau pulang, ketemu temen-temen dari orangtua atau keluarga besar. Kalimat yang pertama kali keluar dari mulut orang-orang sekitar pasti tentang fisik, puji ini atau itu, komentar ini atau itu. Ada yang salah, kenapa concern orang-orang selalu berpaku pada fisik?

Tentunya, yap, saya gak bisa memungkiri, dipuji berdasar fisik memang menyenangkan, tapi (saya sendiri) sering lupa kalau pujian adalah ujian. Dari kata nya pun, jelas, pujian merupakan ujian yang cuma di tambah huruf "P". Perempuan berlomba-lomba mempercantik diri dengan rangkaian skincare dan make up nya. Namun, ada sesuatu yang sering dilupakan..

 “Manusia itu kayak keris” ucap salah satu ustad, menyampaikan ceramahnya saat hendak melaksanakan solat terawih di masjid yang kebetulan saya datangi.

“Keris punya penutup, biasanya sering di lap sama pemiliknya, biar mengkilat, biar keliatan kegagahan dari keris itu.”

“Tapi fungsi keris ada di dalamnya, pisaunya. Kalau pisaunya nggak di asah, dia akan berkarat, dia akan tumpul.” Lanjutnya.

“Boleh jadi dari luar keris ini terlihat gagah karena sering di lap, tapi ketika dicabut oleh pemiliknya susah. Karena berkarat, gak diasah, jadi tumpul. Susah buat dicabut”

“Begitu juga dengan manusia, fisik di rawat, di reka. Tapi bagian dalam juga harus diasah, harus dirawat. Jangan sampai ketika Pemilik dari manusia, Allah, mencabut ruh, magol, susah, kayak keris yang berkarat tadi.”

Inalillahi, Ngeri.

Ngeri, membayangkan kematian.

Proses sakaratul maut saya gimana ya? Rasulullah aja yang bersih merasakan sakit sebegitu nya. Apalagi saya yang kotor... T_T

Ngeri, gimana nanti kalau ruh saya sulit dicabut. Naudzubillahimindzalik, YaAllah..

Bukan berarti mempercantik diri, merawat fisik itu salah. Tapi karena bagian dalam gak terlihat, bagian dalam jarang sekali dikomentari orang lain. Jadi jarang ngeh, suka lupa, buat mempercantik akhlak, mempercantik diri di depan Allah. Suka merasa udah baik, padahal masih jauuuh dari kata baik. Padahal bukan udah baik, tapi Allah yang Maha baik, yang menutupi aib, sebegitu hebatnya menutupi, sampai aib sendiri pun sering gak keliatan.

Untuk teman-teman satu kaum, wahai kaum hawa. It’ll be hard for us. Cause we should look beautiful in both.. Semoga fokus pada penilaian manusia semakin berkurang dan lebih berfokus pada penilaian Allah. Bismillah, semangat memperbaiki diri lillahitaala teman-teman, mari berproses.

اَللَّهُـمَّ كَمَا حَسَّـنْتَ خَلْقِـيْ فَحَسِّـنْ خُلُقِـيْ
Allaahumma kamaa hassanta kholqii fa hassin khuluqii 
Ya Allah, sebagaimana Engkau ciptakan baik rupaku. Maka perbaiki pula akhlakku.



-
-
-
-



Ramadhan Journey: Ramadhan 1939 H, sangat berkesan bagi saya. Bulan Ramadhan yang produktif, alhamdulillah Allah memberikan saya kesibukan dan di dalamnya banyak pelajaran yang bisa di ambil. Saya banyak belajar dari orang-orang yang saya temui secara sengaja maupun gak di sengaja. Banyak juga punya waktu me-time. Perjalanan fisik dan pikiran, yang ingin saya bagikan. Semoga bermanfaat. Semoga bisa bertemu Ramadhan berikutnya, aamiin yarabal alamin.

No comments:

Post a Comment