Was written on tumblr,
Saya liat CNN News hari ini,
pemberitaannya tentang pengemis yang kaya.
Pengemis yang diberitakan di CNN ini
punya kekurangan secara fisik alias cacat. Mereka ada yang udah punya uang 16
juta rupiah, ada juga yang punya motor, mobil, bahkan rumah mewah.
Saya cuma
bisa geleng-geleng.
Kayaknya memang mengemis udah jadi lapangan pekerjaan baru
di Indonesia. Gak usah punya skill apapun, yang penting bisa berdandan dan
ber-acting menyedihkan biar bikin orang lain simpati (eh itu skill deng). Bahkan baru-baru ini tertangkap pengemis
yang pura-pura menjadi cacat oleh pak @ridwankamil, dan ternyata
penemuan pengemis yang berpura-pura cacat ini bukan cuma sekali.
Anehnya, yang menjadi pengemis itu mampu buat bekerja tapi memilih untuk menjadi pengemis.
Hal ini membuat saya
berpikir, waktu TK, SD, SMP, SMA seringkali kita ditekankan untuk menjadi
rendah hati bukan rendah diri karena gak baik. Tapi realitanya, ternyata
merendahkan diri malah berbuah kekayaan. Jadi orang kaya itu baik atau engga?
Merendah untuk meroket ternyata bukan berlaku cuma di conversation aja.
Beberapa hari yang lalu saya baru aja
selesai baca bukunya Pak Dahlan Iskan yang judulnya Ganti Hati Tantangan
Menjadi Menteri. Buku ini bagus banget, saya nyesel baru baca di tahun 2017 padahal
udah terbit dari tahun 2012.
Bukunya Pak Dahlan ini menceritakan bagaimana perjalanan
beliau transplantasi hati (liver) di Tiongkok. Ada banyak hal menarik, salah
satunya berkaitan tentang ngemis-mengemis di Tiongkok, yang beberapa informasinya saya akan tulis di post ini:
Kita
pastinya udah tau kalo Tiongkok mengalami kemajuan akhir-akhir ini.
Bank Dunia menyebutkan salah satu sumber kemajuan dari Tiongkok ini
adalah faktor social capital (modal sosial) disamping modal
finansialnya. Modal sosial disini maksudnya di Tiongkok banyak yang
miskin bahkan lebih miskin dari masyarakat Indonesia tapi mereka punya
harga diri yang lebih baik. Mereka ini gak rendah diri (malu) gitu
karena memiliki status sosialnya yang rendah.
Maksudnya harga
diri lebih baik,
mereka malunya kalo jadi pengemis. Mereka pikir walaupun mereka
berstatus rendah, mereka derajatnya sama dengan orang kaya. Sama-sama
bekerja dan uniknya pemikiran disana itu: selama mereka kerja, apapun
pekerjaannya, meski pekerjaan yang dilakoninya “rendahan” mereka gak
ogah-ogahan. Karena intinya mereka ingin dianggap sama dengan yang kaya. Miskin bukan berarti
harga dirinya rendah.
Kalo dipikir-pikir kok pola pikir society di Indonesia umumya jahat banget yah.
Misal
ada seorang anak yang ibunya kerja jadi TKI, secara gak sadar
lingkungan akan
merendahkan dia. Saya sendiri ngeliat dengan mata kepala saya sendiri,
bagaimana orang yang berpakaiannya sederhana, gak bermake up, gak punya
gadget bagus, direndahkan. Seakan berbeda dunia. Seakan gak level…
Padahal ibunya dia punya harga
diri, dia bekerja bukan dengan meminta-minta atau korupsi. Kenapa harus dianggap rendah? Justru menurut saya,
orang yang rendah itu orang yang merendahkan usaha orang lain padahal belum
tentu sendirinya mampu.
Maka dari itu sering dari kita yang melihat sosok social climber. Dimana seseorang ingin diakui secara sosial. Biasanya anak muda, dengan memaksakan budget yang dimiliki orangtuanya untuk beli ini-itu. Untuk terlihat lebih high level, lebih kekinian. Sedangkan orangtuanya banting-tulang setiap hari demi membahagiakan anak mereka.
Kita
gak bisa pura-pura nutup mata atas fenomena ini. Apalagi dengan adanya
instagram, rasanya gengsi manusia semakin tinggi aja. Yang kaya akan
terkenal. Yah, benar-benar karakteristik budaya popular media: meretas
dari atas.
Pola pikir dari masyarakat itu bisa membentuk kepribadian seseorang, bisa mendorong seseorang berbuat yang enggak-enggak..
Lucu nya ya,
Hal itu terjadi dari bagaimana manusia hanya memandang manusia lain hanya dari ‘uang’-nya.
Mungkin
terkesan sinetron abis sih, ya, adanya perbedaan level atas kekayaan
ini. Tapi sebenernya ini terjadi di sekitar kita, dalam bentuk yang
lebih halus.
Yang betul-betul miskin malu bila berhadapan
dengan yang kaya. Karena adanya kelas sosial. Padahal harga dirinya mah
sama aja, atau bisa jadi lebih tinggi. Orang kaya pun banyak yang
memiliki harga diri rendah; kaya tapi korupsi, kaya tapi nyogok, kaya
tapi ngemis, kaya tapi bunuh orang dan kaya beserta tapi-tapi lainnya.
Semangat bekerja karena adanya keinginan menjunjung harga diri merupakan salah satu faktor terbesar membuat Tiongkok lebih maju..
Pak Dahlan menyebut orang-orang
Tiongkok yang seperti saya tulis di atas itu dengan istilah “Kaya Bermanfaat
dan Miskin Bermartabat”.
Dan hal ini menurut Pak Dahlan (dan saya sangat
setuju) belum menjadi budaya di Indonesia.
Jadi di buku tersebut Pak Dahlan bercerita.
Waktu Pak Dahlan Iskan mulai
membenahi Jawa Pos di tahun 1982. Beliau liat pegawai percetakannya kurus-kurus, pucet,
loyo. Karena memang gajinya kecil. Mereka bahkan biasa minum air keran karena
Jawa Pos gak menyediakan air minum padahal bekerja sepanjang malam.
Nah
karena ingin membenahi akhirnya
beliau mengadakan program “susunisasi”. Jadi, tiap
malam, Akan ada jatah uang untuk karyawan-karyawan dibelikan satu kaleng
besar susu untuk mereka minum bersama sambil bekerja. Agar sehat-sehat,
agar kuat, dan semangat bekerja.
Suatu hari, setelah program susuniasai berjalan, di tengah malam, Pak
Dahlan datang ke percetakan. Beliau gak liat ada gelas bekas minum susu. Kemudian
beliau tanya: dimana susunya? Sambil takut, salah satu dari mereka menjawab.
Susunya dijual. Setiap hari. Dijual secara bergilir. Hari ini karyawan A, besok
B, lusa si C. Begitu seterusnya.
Padahal beliau sebagai bos,
sebagai orang kaya tidak merendahkan orang miskin, beliau malah
memandang mereka sebagai manusia yang memiliki semangat bekerja dan
sedang memperjuangkan harga dirinya. Tapi malah berakhir seperti itu.
Yang miskin, malah melunjak. Malah merendahkan harga dirinya sendiri.
Tapi berakhir seperti itu.
Terakhir, saya kadang
bertanya-tanya, apa yang salah dari kita warga Indonesia? Kita belajar tentang rendah
hati dan rendah diri sedari kecil dan diulang terus-menerus.
Tapi kenapa kita
gak bisa membedakan mana yang “rendah hati” dan yang mana yang “rendah diri”. Apa
pembelajaran moral kita sebegini gagalnya?
Kenapa di kepala
masyarakat kita tertanam untuk menghilangkan harga diri demi uang?
sedang yang di Tiongkok banyak yang lebih miskin pun memiliki semangat
juang? Apa yang salah dalam tataran sosial bermasyarakat ini?
Bikin cerita fiksi atuh mus
ReplyDeletewkwkwk buat apa dooo?
DeleteBuat dibaca atuh
Delete